“Siaaaalllll!” Naura mengamuk setibanya di kamar hotel. Semua barang yang ada di hadapannya dilempar ke segala arah, termasuk tasnya.
Pyaaarrr!!! Naura yang sudah dipenuhi emosi, memecahkan kaca meja rias dengan melempar high heels sekuat tenaga. “Beraninya dia masuk ke dalam kehidupan rumah tanggaku! Aku tidak akan memaafkannya. Aaaaaaaa!!!!” Naura melampiaskan kebencian dengan berteriak keras. Tentu saja dia berhasil menipu semua orang dengan aktingnya sebab Naura adalah artis papan atas. Mudah baginya berlakon seperti orang menderita. Teringat ia bagaimana Gerald berhasil membujuknya untuk dimadu. Pria itu kembali membujuk setelah sang istri tersadar dari pingsan. “Sayang, aku janji akan tetap mengutamakan dirimu.” Naura melepaskan genggaman tangan Gerald seketika. Selain tak sanggup berbagi, Naura juga memikirkan kariernya. “Aku tidak bisa, Mas. Film-ku tengah tayang. Bagaimana kalau dihentikan karena masalah ini?” Naura menahan isak. “Justru itu, pernikahan harus diadakan. Popularitasmu akan semakin terkenal. Semua akan bersimpati dan menjadikanmu panutan.” “Kau mau aku dipenjara karena masalah ini? Kau tega membiarkan suamimu kedinginan di dalam sel?” Tak mau menyerah, Gerald tetap memaksa. “Tidak, tidak! Kau tidak boleh dipenjara. Namun, aku juga tak bisa membiarkanmu dengannya. Satu rumah, satu kamar .... “ Naura mulai membayangkan yang tidak-tidak. “Dia tidak akan berani mendekati kita. Kau kan tahu, Melinda baru saja kehilangan tunangan. Mustahil dia akan menggodaku.” Gerald gigih untuk membuat istrinya menuruti. Beberapa saat Naura terdiam. Berpikir dengan keras, sampai akhirnya menjawab, “Baiklah, aku setuju dengan usulmu. Kau akan menepati janji, kan?” Naura terisak. “Aku janji.” Gerald memeluk erat istrinya, mengeluarkan kata-kata indah yang memabukkan. "Aku tidak akan membiarkan semua ini. Akan aku hancurkan siapa pun yang berani mengambil alih peranku sebagai istri Mas Gerald." Naura kembali pada dunianya. Dunia yang mulai membuat darahnya mendidih. Kehadiran Melinda tentu menjadi hal yang patut diwaspadai. "Aku juga akan menemukan siapa yang berani mengancamku. Aku takut dia sampai tahu lebih banyak," ujarnya, teringat surat misterius dari orang yang belum ia ketahui dengan pasti.*** Gerald keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapi. Dipasangnya kancing pada lengan kemeja putih yang dikenakan. Pandangannya tertuju pada sesosok tubuh meringkuk di sudut ruangan dengan tangan memeluk lutut, masih mengenakan gaun pengantin. “Aku bahkan tidak melakukan apa pun padanya.” Pria berusia 35 tahun itu duduk di sofa, mengenakan jas hitam. Semalam ia hanya berniat menakut-nakuti Melinda dengan pura-pura ingin memukul menggunakan ikat pinggang. Bukannya takut, Melinda malah sangat berani mengumpulkan kelopak mawar dari lantai, lantas melemparnya ke wajah Gerald. Menantang pria itu untuk benar-benar memukulnya. “Kalau kau masih ingin menginap di sini, tidak masalah. Aku akan pulang.” Gerald menyisir rambut dengan tangan, sedikit mengacak-acak hingga tatanannya cukup menarik. Melinda mendongak. Wajahnya sayu, dengan kelopak mata lumayan menghitam gara-gara semalaman menangisi hidup. “Tinggalkan saja. Saya akan pulang,” katanya, mulai bangkit. “Pulang? Ke mana? Bukannya Bibimu mengajukan syarat bahwa setelah pernikahan kau tidak boleh kembali?” Diingatkan olehnya apa yang sempat Irma ucapkan. Melinda menarik napas panjang. Tangannya yang semula mengepal, kini bergerak menunjuk wajah sang suami yang terlihat meremehkan. “Tu—“ “Bersihkan dirimu sekarang juga! Kini kau istriku. Apa pun yang kuperintah, harus segera kau turuti!” Gerald mengambil paper bag di atas meja. Dilemparnya benda itu pada Melinda. “Dasar!” Dengan kesal, Melinda terpaksa menuruti perintah suaminya yang memasukkan surat kontrak pernikahan yang sudah ia remas semalam ke dalam map. Beberapa saat kemudian .... Mobil sedan hitam berhenti di depan rumah mewah milik Gerald. Tampak pria itu keluar dari mobil diikuti Naura dan Melinda. Beberapa orang sudah pun menunggu untuk menyambut kedatangan mereka. “Selamat datang, Tuan, Nyonya, Nona Muda.” Semua menyapa seraya membungkuk. Baik Gerald maupun Naura, keduanya hanya menebar senyum, saling bergandengan tangan. Berbeda dengan Melinda yang malah terpaku menatap rumah mewah di depannya. Alih-alih merasa bahagia, Melinda malah cemas. Bukan melihat surga, tapi ia seperti akan memasuki neraka yang setiap saat dapat membakar diri. “Ayo, Mel! Masuklah. Sekarang kau bagian dari rumah ini juga,” ajak Naura, menarik tangannya yang semula saling bertaut. “Tapi, Nyonya, bagaimana dengan semua pakaian saya?” Ditolehnya dress berwarna cream pemberian Gerald yang tentunya mahal. “Bibimu berbaik hati mengirim semuanya tadi pagi. Aku pun sudah menyiapkan semua.” Naura menarik tangan ‘madu’ yang bahkan mulai semakin tak tenang. ‘Itu bukan baik hati, tapi mengusir dengan halus,’ batin Melinda. Saat memasuki rumah, Melinda dibuat menganga. Dia merasa sangat kerdil di dalam ruangan luas itu. “Selamat datang. Karena ini hari pertamamu, biar aku jelaskan semua peraturan yang ada di sini.” Wanita dengan rok merah itu memberi isyarat semua pelayan untuk mendekat dengan menepuk tangan. “Sambut Nona Muda baru kalian,” ujar Naura. “Selamat datang, Nona Muda.” Kompak mereka berujar. Melinda hanya tersenyum, sedikit mengangkat tangan, risih dipanggil Nona Muda. “Ini adalah Suzy, asisten pribadiku, yang ini Jiddan, orang kepercayaan Mas Gerald, ini Rina, .... “ Naura memperkenalkan semua. Tampak Suzy menatap dengan ketidaksukaan. Bibirnya samar-samar bergerak bagai mengejek. “Lanjutkan pekerjaan kalian!” titah Gerald, duduk dengan kaki menyilang setelah sekilas pengenalan. Spontan semua meninggalkan ruangan, kecuali Jiddan. “Aku mengatur semua hal di rumah ini. Pertama .... “ Naura berbalik menatap Jiddan yang bergerak mundur, memberi jarak bagi mereka. “Tidak boleh ada yang mengganggu aktivitas pemilik rumah saat beristirahat. Kalaupun penting, mereka hanya boleh menunggu dari jarak 10 meter. Tidak boleh lebih!” Gerakan jari Naura seolah mempertegas bahwa peraturannya adalah hukum di rumah ini. Ia juga menerangkan apa saja yang boleh dan terlarang di rumahnya. Gerald hanya menjadi pengamat, malas ikut campur. “Kau boleh ke area mana pun di rumah ini, kecuali ruang kerja Mas Gerald, ruang pribadiku, kamar kami, juga taman samping.” “Sebab kau sekarang istri muda sekaligus pengantin baru, semua peraturan di rumah ini juga berlaku untukmu,” sambungnya. Melinda hanya mengangguk. Selain tak tahu harus bicara apa, dia juga malas membicarakan sesuatu yang sebenarnya tak penting. “Jiddan, antar Melinda ke kamarnya!” titah Naura. “Baik, Nyonya.” Jiddan sigap menarik koper, lalu mengajak Melinda menuju ke kamarnya. “Terima kasih, Nyonya, Tuan.” Melinda mengikuti Jiddan dengan terpaksa. “Kau tidak perlu melakukan ini, Sayang.” Gerald menghampiri istrinya yang mengamati Melinda. “Apa salahnya berbuat baik? Hidupnya pasti sangat sulit,” ujar Naura, bersandar pada lengan suaminya. ‘Dan mulai sekarang, hidupnya yang sulit akan kubuat semakin sulit sampai dia tidak punya sekat untuk bernapas!’ batin Naura. “Di kamar mana dia akan tinggal?” tanya Gerald. “Kamar sebelah ruang pribadiku.” Naura menatap sang suami. “Loh, kenapa di sana?” Tampak keterkejutan di wajah Gerald, sementara istrinya terdiam, memandangi punggung Melinda yang kian menjauh. Apa yang sebenarnya Naura rencanakan? Kenapa dia menempatkan Melinda di dekat ruang pribadinya?****Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”