Share

Bab 6

Author: Felix Harrington
Ryan juga tidak tahu harus bagaimana menjelaskan. Sampai sekarang pun dia tidak paham, kenapa pimpinan besar di kantor pusat memberikan tugas semacam itu?

Dia pun hanya bisa menebak, mungkin pimpinan besar itu adalah musuh Ivy, jadi ingin menjebak Ivy dengan cara ini.

"Kak Ivy, apa kamu punya musuh di kantor pusat EPS Group?" tanya Ryan.

Ivy mengerutkan alis tipisnya, berpikir sejenak, lalu menyahut, "Aku memang kenal beberapa orang, tapi nggak ada musuh deh."

Tatapannya menatap Ryan lekat-lekat. "Kenapa kamu tiba-tiba tanya seperti itu? Apa pengunduran dirimu ada hubungannya denganku?"

Hati Ryan bergetar. Ivy memang pintar. Hanya dengan sepatah kalimat, dia bisa langsung menyadari ada yang tidak beres.

"Oh, nggak kok! Jangan salah paham." Ryan buru-buru menutupi.

Melihat Ryan tidak mau menjelaskan lebih banyak, Ivy pun tidak melanjutkan pertanyaan.

"Kalau begitu, resign juga nggak masalah!" Ivy menepuk pelan bahu Ryan dan tersenyum hangat. "Kamu masih muda, dan punya keahlian medis sehebat itu. Jadi sales obat-obatan terlalu menyia-nyiakan bakatmu. Kalau jadi dokter, masa depanmu akan jauh lebih baik."

Ryan merentangkan kedua tangan. "Ada aturan keluarga, kami nggak boleh jadi dokter."

"Hah? Kenapa bisa begitu?" Ivy tampak sangat terkejut.

Ryan mengangkat alis. "Itu cerita panjang, nanti kapan-kapan aku ceritakan lebih detail."

"Baiklah." Ivy semakin merasa tertarik pada Ryan. "Ryan, karena sudah resign, kamu 'kan nggak perlu lagi ke kantor. Kebetulan malam ini aku ada acara kumpul dengan sahabat-sahabatku, ikut aku saja!"

Ryan menggaruk kepala, agak canggung. "Itu 'kan acaramu dengan sahabat-sahabat. Kalau aku ikut ... apa pantas?"

"Kenapa nggak pantas? Kamu harus ikut." Ivy tersenyum misterius. "Para sahabatku itu semuanya sosialita muda dan cantik lho!"

Hati Ryan agak tergoda, tetapi dia juga bingung. Kenapa Ivy ingin membawanya? Apa Ivy berniat menjodohkannya? Tidak mungkin, 'kan? Kesenjangan di antara mereka jelas-jelas sangat besar!

Meskipun masih bingung, bisa masuk ke lingkaran sosial Ivy yang kelas atas itu jelas kesempatan langka.

"Baiklah. Asal kamu nggak keberatan, aku ikut."

"Dasar kamu ini! Aku sampai kasih kamu kartu akses rumahku, mana mungkin aku keberatan?" Ivy tersenyum lembut.

....

Malam itu, di Klub Horse, Ryan mengikuti Ivy masuk ke klub. Dia belum pernah menginjakkan kaki di tempat seperti ini, apalagi yang semewah ini. Sepanjang jalan, matanya sibuk melirik ke sana sini.

Melihat tingkah Ryan, Ivy hanya tersenyum kecil, tidak berkata apa-apa. Tak lama kemudian, mereka tiba di ruang VIP yang sudah dipesan.

Ruangan itu sangat mewah. Dindingnya dilapisi marmer alami dengan ukiran indah, lampu berkilau menembus marmer, menciptakan suasana misterius sekaligus glamor. Dari langit-langit, lampu kristal bergantungan, berkilau terang sampai menyilaukan mata.

Ruangan itu juga luas. Ada area makan, area hiburan, bahkan beberapa kamar pribadi. Ketika mereka masuk, beberapa sahabat Ivy sudah hadir lebih dulu. Mereka duduk di area makan, menikmati hidangan sambil bercakap-cakap dan menunggu Ivy. Dua pelayan muda dan tampan sibuk melayani mereka.

"Kak Ivy, kenapa kamu baru datang?" Seorang wanita berpenampilan mewah dengan riasan tegas dan mengenakan gaun bertali rendah, melirik ke arah Ivy.

"Macet!" jawab Ivy dengan santai. "Semuanya sudah datang, 'kan?"

"Tentu saja, tinggal kamu! Cepat sini!" Wanita itu melambaikan tangan, lalu melirik Ryan yang berada di belakang Ivy. "Eh? Siapa itu?"

Sekejap, semua wanita di meja itu menoleh ke arah Ryan.

"Adikku," jawab Ivy. Kemudian dia menggandeng Ryan untuk membawanya duduk.

Ryan sempat melirik meja makan. Hidangan yang tersaji luar biasa mewah, taplak meja bahkan bersulam benang emas. Semua makanan terlihat lebih mirip karya seni daripada sekadar makanan.

Namun, yang membuat Ryan kikuk, dia tidak mengenali satu pun makanan mahal di meja itu. Satu-satunya yang dia tahu hanyalah sebotol Louis XIII. Dulu mantan pacarnya, Alisha, pernah menjelaskan soal itu. Katanya harganya bisa sebanding dengan sebuah mobil kecil.

Kini, Ryan seperti duduk di istana yang penuh kemewahan. Jelas, dia merasa sangat canggung.

Saat ini, seorang wanita cantik yang duduk di seberang Ryan berdiri. Wanita itu tinggi dan ramping, rambut panjangnya terurai indah, kulitnya seputih salju, lekuk tubuhnya tak kalah dengan Ivy. Dia sedikit membungkuk untuk mengambil buah di dekat Ryan, sehingga belahan dadanya terpampang jelas di depan mata Ryan.

Ryan langsung merasa tenggorokannya kering. Dia buru-buru mengalihkan pandangan.

"Hahaha! Si Ganteng malu tuh!" goda wanita dengan riasan tegas tadi.

"Duh, Susan, kamu ini, sengaja banget goda anak orang ya?" sahut seorang sosialita yang tubuhnya agak berisi sambil tertawa.

Wanita cantik yang dipanggil Susan itu pun memutar bola matanya. "Astaga, Kak Laura, jangan sembarangan bicara. Aku nggak senakal itu, tahu!"

Dia lalu kembali ke tempat duduknya sambil menatap Ivy. "Kak Ivy, aku kenal kamu sudah lama. Kok nggak pernah dengar kamu punya adik?"

"Halah, masa kamu percaya begitu saja?" Laura menatap Ryan dengan senyuman nakal. "Anak muda ini lumayan sih, kelihatannya tahan banting! Hahaha!"

"Hahaha! Kak Laura, kamu nakal banget!" Meja langsung dipenuhi tawa.

"Sudahlah, jangan keterlaluan!" tegur Ivy sambil tersenyum.

"Ivy, kenapa kamu jadi tegang begitu?" Laura menatap Ryan dengan tatapan menggoda. "Dik, siapa namamu?"

"Ryan Owais."

"Eh, marga kalian nggak sama. Dia jelas bukan adikmu!"

"Terus? Nggak boleh jadi adik angkat?" Wajah Ivy memerah saat menjelaskan.

"Adik angkat? Yakin cuma adik angkat?" Laura menyeringai nakal. "Ryan, kamu siap menerima badai dari Ivy?"

"Hahaha!" Tawa kembali pecah.

Ryan semakin salah tingkah. Walaupun digoda oleh sekelompok wanita cantik seperti ini terasa menyenangkan, sifat pemalunya membuatnya merasa sangat gelisah.

Melihat itu, Ivy buru-buru menjelaskan, "Ryan, jangan salah paham. Mereka biasanya nggak begini, cuma di lingkaran ini saja mereka suka bercanda begini."

"Nggak apa-apa, aku nggak keberatan," jawab Ryan.

"Biar aku kenalkan satu-satu," ujar Ivy dengan serius. Dia menunjuk wanita dengan gaun bertali yang paling dekat dengan mereka. "Si cantik ini namanya Tania, Presdir Sentosa Media. Kekayaannya miliaran. Sentosa Media sendiri adalah setengah perusahaan negara dan termasuk perusahaan 500 di besar dunia."

Ryan merasa terkejut dalam hati. Wanita yang kelihatan muda ini ternyata adalah pengusaha kelas kakap!

Ivy lalu menunjuk ke arah wanita yang agak gendut. "Ini sahabat kecilku, Laurania, panggil saja Kak Laura. Dia juga super kaya. Dia punya lebih dari 100 apartemen di Kota Shein, plus tiga gedung perkantoran."

"Hah?" Ryan semakin terperanjat. Dengan harga properti Kota Shein yang mahal, total kekayaannya bahkan melebihi Tania.

Laura berkedip nakal ke Ryan. "Ganteng, mau nggak aku biayai hidupmu dari uang sewa properti? Hahaha!"

"Kamu ini ya, nggak ada seriusnya!" Ivy menggoda balik, lalu menunjuk seorang wanita muda lagi. "Ini Susan, dia direktur regional BR Group untuk seluruh wilayah Velaria. Kamu pernah kerja di EPS, jadi pasti tahu BR itu raksasa farmasi dunia. Seluruh kawasan di Velaria dipegang Susan sepenuhnya!"

Ryan benar-benar terdiam karena syok. Orang-orang di sini semuanya adalah bos besar kelas dunia. Mereka bahkan cantik-cantik! Benar-benar lingkaran kelas atas!

Sesaat kemudian, Ivy mengangkat gelas anggur dan berkata, "Sahabat-sahabatku tersayang, adikku ini masih jomblo. Aku bawa dia malam ini karena ingin minta bantuan kalian!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 100

    Keduanya minum sambil berbincang, mengenang pertemuan awal dan perjalanan yang telah mereka lalui. Ada tawa, ada haru, juga ada rasa enggan berpisah.Saat suasana memanas, Ivy bergeser ke sisi Ryan dan berbisik pelan, "Ryan, sebenarnya setiap kali kamu menyelesaikan sendiri, Kakak selalu tahu.""Ah?" Ryan terkejut. "Kenapa Kakak bisa tahu?""Memangnya kamu nggak pakai tisu?" Ivy tersenyum misterius. "Tapi aku harus menegur kamu ya. Meski kamu masih muda dan badanmu kuat, kamu nggak boleh terlalu boros begitu. Dua tiga hari sekali itu terlalu sering.""Hehehe, aku nggak bisa menahan diri 'kan karena tinggal sama cewek cantik seperti Kakak?" jawab Ryan malu-malu."Kasihan kamu," Ivy menghela napas, lalu tiba-tiba berdiri dan duduk di pangkuannya. "Malam ini kamu nggak perlu menahan diri lagi. Kakak akan menghadiahkan diriku sendiri untukmu.""Kak Ivy ...."Ryan yang sudah setengah mabuk, tidak lagi menahan diri. Dia mengangkat tangannya dan mengusap wajah Ivy dengan lembut.Mereka pun be

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 99

    Ternyata, malam sebelumnya saat Eric dan Peter pergi menemui Ivy dengan dalih mengantarkan Ivy berangkat ke Amrik, sebenarnya ada tujuan lain.Keduanya memulai pembicaraan dengan kata-kata manis dan rayuan, membahas kenangan saat mereka masih keluarga kecil, memakai sentimen membuat Ivy lengah, lalu menenggak beberapa gelas.Dalam suasana yang mulai mabuk itu, Peter diam-diam memperbanyak salinan kunci vila Ivy dengan cetakan. Sementara Eric sedang berbicara dengan Ivy, Peter sempat ke halaman untuk memeriksa kamera pengawas, lalu membuat kamera itu rusak.Setelah mereka pulang, Peter memakai cetakan tadi untuk membuat sebuah kunci duplikat. Tentu saja, Eric dan Peter memiliki hak untuk meminta satu kunci vila. Hanya saja, kalau langsung memintanya tentu akan ketahuan.Saat ini hanya Ivy yang memiliki kunci. Bila terjadi sesuatu pada Ryan, kecurigaan akan jatuh pada Ivy. Eric sama sekali tidak khawatir hal itu akan menyeret nama Ivy. Di dalam hatinya, dia sangat membenci Ivy. Jika kasu

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 98

    Eric berkata, "Orang yang kusuruh kamu habisi itu adalah anak muda berusia 20-an, baru lulus kuliah, namanya Ryan. Dia membuat keluargaku hancur, aku harus melenyapkannya!"Davin merasa waswas dalam hati. "Pak Eric, menghabisi orang itu urusan besar. Risikonya sangat tinggi. Kalau nggak terpaksa sekali, aku nggak menyarankanmu melakukan itu."Perlu diingat, kalau menyuruhnya berkelahi atau melukai seseorang itu masih bukan masalah besar. Bahkan, kalaupun harus membuat lawan lumpuh, dia masih berani melakukannya. Bagaimanapun, masih ada jalan keluarnya untuk semua hal itu. Namun kalau sudah sampai membunuh seseorang, dia sendiri juga bisa dalam bahaya kalau ketahuan.Davin merasa gelisah, dia mencoba untuk membujuk Eric agar membatalkan niatnya. Eric menatapnya dengan dingin. "Kenapa, Davin? Jangan bilang kamu takut.""Takut? Jangan bercanda." Davin menggertakkan giginya berkata, "Hidup di dunia preman gini, nyawaku memang sudah di ujung tanduk setiap hari. Semua tinggal menunggu waktu

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 97

    Tak lama kemudian, keduanya beres-beres dan sarapan bersama, lalu berangkat kerja. Sehari pun berlalu dengan cepat.Malamnya, Ryan kembali ke vila. Dia mendapati Ivy sudah menyuruh orang membereskan banyak barang-barangnya di sana. Mengingat Ivy hanya punya beberapa hari lagi sebelum berangkat ke Amrik, Ryan merasa berat hati."Ryan, ke mana kamu semalam? Kenapa nggak pulang semalaman?" tanya Ivy."Aku pergi bantu seorang teman. Sudah terlalu malam, jadi nggak sempat balik," jawab Ryan."Oh begitu." Ivy tidak mencurigainya, lalu melanjutkan, "Vila ini 'kan sebenarnya juga termasuk harta bersama setelah menikah, meskipun Eric punya sedikit bagian. Jadi setelah aku pindah ke Amrik, vila ini tetap akan kujual.""Aku sudah siapkan sebagian uang untukmu. Setelah aku pergi, gunakan uang itu untuk menyewa rumah yang lebih kecil. Supaya kamu nggak usah repot-repot bersihinnya."Itu adalah bentuk perlindungan dari Ivy untuk Ryan. Dia tahu Eric dan Peter menyimpan dendam besar terhadap Ryan. Jik

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 96

    Bianca menatap tubuh bagian atas Ryan yang kekar, jantungnya langsung berdebar kencang. "Aduh ... kenapa kamu keluar hanya dengan begitu?"Ryan menjawab santai, "Aku nggak bawa baju tidur, badanku masih agak basah. Jadi sekalian keluar biar kering."Bianca menunduk, wajahnya yang merah merona terlihat semakin menawan. "A ... aku juga mau mandi dulu!" katanya gugup, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi.Selama bertahun-tahun hidup sendiri, gairahnya tiba-tiba terusik oleh pesona maskulin Ryan. Dia berusaha keras menekan rasa berdebar itu, lalu bersiap mandi. Namun begitu matanya tertuju pada gantungan baju di atas, wajahnya langsung memanas dan merasa malu bukan main.'Ya ampun, pasti Ryan sudah lihat semuanya!' pikir Bianca panik.Di antara pakaian itu ada satu set pakaian dalam khusus yang hanya dia miliki. Sebenarnya, Bianca punya pemikiran yang cukup konservatif. Namun di era media sosial sekarang, melihat banyak wanita tampil percaya diri, dia pun tergoda untuk mencoba.Apalagi dia

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 95

    "Masih mikir apa lagi?" Ryan berdiri di depan Saskia, lalu menunduk menatap dari atas."Ah?"Saskia baru benar-benar tersadar, kedua kakinya gemetar hebat. Dia ingin lari, tetapi jelas tidak mungkin bisa. "Aku salah!" Saskia langsung mengaku salah.Ryan menunjuk kantong sampah di dalam rumah. "Tadi kamu ingin aku makan pembalutmu, ya?""Nggak, nggak! Sama sekali nggak!" Saskia buru-buru melambaikan tangan. Dalam hati dia mengutuk Davin yang kabur di saat genting ... benar-benar bajingan."Kak, aku benar-benar minta maaf, mulai sekarang aku nggak akan berani lagi!" Saskia memohon.Alasan sebenarnya Saskia selalu menindas Bianca adalah karena Bianca terlalu cantik dan menonjol. Dia merasa iri. Bahkan sebagai seorang wanita, Saskia sendiri punya dorongan aneh terhadap Bianca.Memang, Saskia adalah seorang biseksual. Dia bisa tertarik pada pria maskulin, tapi juga punya ketertarikan pada wanita cantik. Karenanya, perilaku mengganggu Bianca muncul dari perasaan campur aduk itu, sama seperti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status