Share

Bab 5

Author: Felix Harrington
Jadi, jika tugas ini diserahkan ke Ryan, pasti bisa diselesaikan dengan mudah. Dengan begitu, Haikal juga tidak perlu lagi bersusah payah bekerja di cabang. Sebentar lagi pimpinan besar akan memindahkannya ke kantor pusat. Begitu masuk ke kantor pusat dan menjadi orang kepercayaan pimpinan, masa depannya akan cerah.

Karena itu, kali ini Haikal menurunkan gengsinya sebagai manajer, lalu kembali mencari Ryan untuk berbicara.

"Ryan, tadi kata-kataku memang agak keras, tapi semua demi kebaikanmu. Aku jamin, kalau kamu mau turun tangan, Ivy pasti nggak bisa menolak. Kesempatan bagus begini harus kamu genggam baik-baik."

Haikal menepuk-nepuk perut buncitnya. Kedua matanya menyipit penuh kelicikan, senyumannya menjilat sekaligus cabul.

"Kamu kebanyakan mikir. Kak Ivy itu orangnya ramah ke siapa pun." Mata Ryan penuh rasa muak. "Sore nanti setelah aku antar pesanan terakhir buat Kak Ivy, aku langsung resign."

"Nggak tahu diri!" Wajah Haikal langsung kelam. Tanpa banyak berbicara, dia berbalik dan masuk ke kantornya. Tak lama kemudian, terdengar sumpah serapah dari dalam. "Bodoh! Dengan sikap begitu, seumur hidup jangan harap bisa berhasil!"

Sore hari saat gudang mengeluarkan barang, Ryan mengendarai truk perusahaan menuju vila Ivy. Dia menekan bel pintu beberapa kali. Tidak ada jawaban. Jadi, Ryan memakai kartu akses yang diberikan Ivy, membuka pintu, dan masuk ke ruang tamu.

Namun, yang dia lihat membuatnya terkejut. Di sofa ruang tamu, Ivy sedang berbaring dengan pose menggoda, seolah-olah tertidur.

Televisi menyala dengan suara keras, jadi Ivy tidak mendengar bel pintu. Saat ini, dia pun berbaring miring laksana "putri tidur".

Tali gaun tidur hitamnya melorot hingga ke siku, menampakkan tulang selangka yang indah dan bahu mulus bagaikan giok. Dari bawah rok pendek hitamnya, dua kaki jenjang dan lurus bersilang anggun. Rambut panjang bergelombang menutupi hidung mancungnya, berantakan tetapi seksi.

Ryan menjadi kikuk. Dia buru-buru menoleh, berniat diam-diam pergi. Namun kebetulan, embusan angin menutup pintu berat itu dengan keras.

Brak! Suara benturan pintu menggema di dalam vila, jauh lebih keras daripada suara TV.

"Ah!" Ivy terbangun kaget. Ketika melihat Ryan berdiri di sana menatapnya, tubuhnya seolah-olah tersengat listrik.

Pakaian tidurnya agak berantakan .... Dalam sekejap, wajah Ivy memerah karena rasa malu dan canggung yang belum pernah dia rasakan.

"Kapan kamu sampai?"

"Barusan." Ryan menggaruk kepala, dengan canggung menjelaskan, "Kak Ivy, aku antar barang. Aku pencet bel, tapi nggak ada jawaban, jadi aku pakai kartu akses yang kamu kasih ...."

"Kamu ... sudah lihat semua?" Wajah Ivy merona.

"Lihat apa?"

"Tadi aku seperti itu ... kamu lihat?"

Ryan tidak ingin berbohong. Dia pun mengangguk. "Ya, lihat." Dia buru-buru menambahkan, "Tapi nggak ada apa-apa kok ...."

"Pergilah." Ivy menutupi wajah dengan kedua tangan, rambut panjangnya terurai menutupi paha, tampak penuh penyesalan dan malu.

"Baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu. Oh ya, kartu akses aku taruh di meja." Ryan menahan napas, menaruh kartu di meja, lalu berjalan perlahan menuju pintu.

"Tunggu!" Ivy mendongak. Wajahnya kembali tenang, tatapannya tajam. "Aku mau tanya sesuatu."

"Silakan." Ryan berhenti.

"Menurutmu, aku ini perempuan nggak tahu malu ya?"

Sulit dipercaya, wanita dewasa yang biasanya penuh wibawa itu malah melontarkan pertanyaan seperti ini. Jelas, hatinya rapuh sekali.

"Kak Ivy, kenapa bicara begitu? Nggak ada yang aneh kok. Lagi pula ...." Ryan hampir saja bilang Ivy sudah lama sendiri, pasti punya kebutuhan biologis. Namun, dia sadar tidak pantas, jadi buru-buru menahan diri.

"Aku punya rahasia yang sulit diungkapkan." Ivy menyibakkan rambut dari dahinya. "Kalau kamu nggak keberatan, aku bisa cerita."

"Tentu saja aku nggak keberatan. Silakan saja, kebetulan aku punya waktu."

Ivy tersenyum samar, menepuk sofa di sampingnya. "Duduk sini."

Ryan agak kikuk, tetapi tetap duduk. Aroma tubuh Ivy menyeruak, membuatnya tubuhnya semakin kaku dan tegak.

Ivy mendekat, berbisik di telinganya. "Aku kena penyakit wanita."

"Hah?" Ryan kaget.

Ivy menghela napas. "Aku sudah berobat ke beberapa rumah sakit besar di Kota Shein, minum banyak obat juga, tapi selalu kambuh."

"Penyakit apa sih? Kok sulit sembuh?" tanya Ryan.

Ivy tersipu, wajahnya semakin merah. "Aku nggak mau jelaskan detailnya. Aku menjaga diri, sangat memperhatikan kebersihan, tapi tetap kena penyakit ini."

"Kasih aku tanganmu," kata Ryan.

"Hah?"

"Kasih tanganmu!"

Tanpa menunggu, Ryan menggenggam tangan Ivy. Jari telunjuk dan tengah diletakkan di pergelangan tangan Ivy. Beberapa saat kemudian, Ryan berkata, "Ini bukan penyakit wanita."

"Kamu ... bisa mengobati orang?" Mata Ivy membelalak, penuh keterkejutan.

"Keluargaku turun-temurun belajar ilmu pengobatan tradisional. Dari kecil aku sering ikut ayahku mengobati orang," jelas Ryan. "Dari nadi Kak Ivy, terlihat ada gangguan panas dan lembap di meridian hati. Tubuh kekurangan yin, darah kering memicu panas, kulit kehilangan nutrisi, api mengganggu bagian bawah. Itu membuat sistem reproduksi lemah, makanya muncul gejala."

"Ini bukan penyakit serius, nggak berpengaruh pada kesehatan atau kebersihan, hanya saja .... "

"Hanya saja apa?" Tatapan Ivy penuh rasa ingin tahu.

"Ya ... hanya membuat kebutuhan biologis lebih kuat." Ryan agak malu. Kalau bagian bawah terganggu, tubuh akan gelisah dan orang menjadi sulit menahan diri.

"Diagnosismu tepat sekali." Ivy menunduk, wajahnya merah bagaikan buah persik matang. Suaranya lirih seperti bisikan nyamuk. "Karena itu, aku sering bermimpi aneh saat tidur."

Ryan tersenyum. Wajahnya tidak lagi seperti sales kecil yang pasrah, melainkan penuh keyakinan. "Masalah ini mudah diatasi. Hanya perlu ramuan herbal dan bisa sembuh."

Keluarga Owais menyimpan ratusan resep turun-temurun, termasuk ramuan khusus untuk masalah ini.

"Aku nggak nyangka kamu punya kemampuan seperti ini." Wajah Ivy berseri-seri, kegembiraannya membuatnya tampak jauh lebih lembut, seperti kakak perempuan yang penuh kasih. "Ryan, kalau kamu bisa sembuhkan aku, urusan target penjualanmu biar aku yang urus."

Wajah Ryan muram. Dia menghela napas. "Kak Ivy, terima kasih, tapi nggak perlu. Urusan penjualan nggak usah dipikirkan. Aku baru saja dipecat."

"Hah? Kenapa?" Ivy terkejut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 160

    "Benar, sihir!" Ryan menurunkan suaranya. "Sihir Harry Potter! Wuu, wuu, wuu!""Enyah sana!""Siap!"Ryan pun kembali ke kamar dengan riang, bersiap mematikan ponsel dan tidur. Namun, tiba-tiba muncul satu pesan dari nomor tak dikenal.Pesannya singkat saja, hanya satu kalimat.[ Ryan, aku ingin bicara denganmu. ]Ryan tertegun. Orang ini bisa langsung memanggil namanya, berarti pasti seseorang yang dia kenal. Siapa ya?Dia membalas.[ Kamu siapa? ]Beberapa saat kemudian, balasan masuk.[ Saskia. ]....Malam berikutnya, di Bar Starry.Bar ini merupakan salah satu bisnis milik keluarga Kenny. Malam itu, Kenny mengundang Ryan untuk bersenang-senang di bar milik keluarganya, menjanjikan akan memberinya "kenikmatan kelas raja".Sebenarnya Ryan sempat menolak, tetapi karena tak enak hati, akhirnya dia tetap datang.Bar Starry punya suasana yang romantis. Di lantai satu, bartender cantik sibuk membuat berbagai koktail sambil memainkan atraksi api yang berwarna-warni. Orang-orang duduk di m

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 159

    Zio tertegun sejenak.Detik berikutnya, Ryan berkata, "Eh, aku baru ingat. Kamu 'kan nggak sudi makan di kantin. Ya sudah, nggak usah ikut."Lucya langsung mengerutkan kening. "Ryan!" Dia tidak ingin klien melihat keributan internal di divisinya.Di luar dugaan, Tania justru tertawa karena gaya Ryan yang sedikit usil itu.Zio berkata, "Ryan, cuma makan bareng klien saja, nggak perlu sombong begitu. Nanti juga kamu bakal kena batunya."Ryan tertawa lebar. "Oke, aku tunggu ya! Oh ya, ngomong-ngomong soal makan, tadi kamu bilang mau traktir semua orang, 'kan? Jangan bohong lho! Aku sudah kosongin perut dari siang, nanti malam harus makan dari traktiranmu! Hahaha!"Ryan berjalan keluar dari kantor dengan wajah ceria.Tania tersenyum geli dan berkata dengan nada lembut, "Kamu ini cerewet juga ternyata.""Padahal aslinya aku polos lho," sahut Ryan. "Dia yang sering cari masalah sama aku.""Hahaha!" Tania tertawa lagi. Entah kenapa setiap kali melihat Ryan, dia selalu merasa lucu. Ini seperti

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 158

    "Karena Bu Tania sudah memercayaiku, aku juga ingin memberi janji. Selama masa kerja sama, kalau ada masalah yang disebabkan oleh kesalahan pihak EPS, aku akan segera turun tangan secara langsung untuk menyelesaikannya.""Selain itu, kalau selama proses kerja sama ada hal yang membuat Bu Tania kurang nyaman, silakan langsung menghubungiku. Aku akan segera mengoordinasikan dan menyelesaikannya.""Semua yang kulakukan ini hanya demi satu tujuan. Sentosa Media sudah memberikan kepercayaan pada EPS, maka kami juga harus layak mendapatkan kepercayaan itu dan memastikan Sentosa Media nggak punya kekhawatiran apa pun di kemudian hari.""Bagus!" Tania bertepuk tangan sambil tersenyum puas.Lucya dan yang lain tertegun. Apa yang baru saja disampaikan Ryan benar-benar seperti penampilan kelas atas dalam dunia penjualan. Dia mampu menangkap inti dari kebutuhan klien dengan sangat tajam, berbicara tepat pada sasaran, dan memberikan rasa aman melalui komitmen yang kuat. Inilah tipe sales yang benar

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 157

    Zio tahu bahwa semuanya sudah terbongkar. Dengan wajah pasrah, dia berkata, "Bu Lucya, aku salah."Wajah Lucya langsung dipenuhi amarah. Sungguh memalukan. Urusan internal divisinya malah terbongkar di depan klien!Tania berkata, "Bu Lucya, menurut pandanganku, manajer penjualanmu ini baik dari sisi moral, etika profesional, maupun kemampuan pribadi, semuanya bermasalah. Kalau dia yang mewakili EPS untuk menandatangani kontrak, kami nggak akan setuju."Kalimat itu membuat hati Zio langsung tenggelam ke dasar. Sementara Lucya hanya bisa menarik napas panjang. Kerja sama besar yang sudah hampir selesai, malah berantakan begitu saja.Tepat pada saat itu, terdengar ketukan di pintu."Siapa?" tanya Lucya dengan nada jengkel."Aku, Ryan!" Terdengar suara dari luar."Ada apa?" tanya Lucya segera."Aku boleh masuk sebentar untuk bicara?" tanya Ryan balik.Lucya merasa semakin kesal. Dua manajer penjualan ini benar-benar membuat kepalanya pusing. Namun, Tania justru tersenyum tipis dan berucap,

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 156

    Dalam dunia penjualan, cara untuk mendapatkan klien itu bermacam-macam. Kadang memberikan sedikit hadiah atau suap kecil dianggap hal yang biasa. Tentu saja, dari sisi tim penjualan, itu dianggap wajar. Namun, kalau sampai pihak klien menyadarinya, itu bisa menjadi masalah besar.Klien tidak akan membiarkan orang dari pihak mereka menerima suap, karena itu bisa memengaruhi kerja sama. Kalau hari ini Tania datang dengan membawa alasan suap untuk menghentikan penandatanganan kontrak kerja sama, masalahnya bisa menjadi serius.Lucya langsung menatap tajam ke arah Zio dan membentak, "Zio, apa maksudnya ini?"Zio buru-buru menjawab, "Bu Lucya, aku cuma memberikan klien sepasang kenari hias. Cuma hadiah kecil saja. Nggak bisa disebut sebagai suap, 'kan?"Tania langsung menyela, "Frandy bilang nilainya 36 juta! Nilai segitu bisa disebut hadiah kecil?"Zio langsung terdiam.Lucya tahu jelas, pihak lawan sedang mencari-cari celah. Kalau tidak hati-hati, kerja sama ini bisa gagal total. Karena k

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 155

    "Pak Frandy? Dia sudah keluar dari tim proyek ini," sahut Taro."Apa?" Zio tertegun. Firasat buruk langsung menyergap hatinya."Pak Zio, kenapa bengong saja? Cepat antar klien ke ruang Bu Lucya. Beliau pasti sebentar lagi kembali," kata Poppy."Oh, oh, baik!" Zio buru-buru berkata, "Silakan lewat sini. Aku antar ke ruang Bu Lucya. Beliau sebenarnya mau turun langsung menjemput kalian, tapi tiba-tiba ada rapat penting. Sebentar lagi juga kembali.""Nggak masalah," jawab Tania dengan senyuman profesional, lalu mengikuti Poppy dan Zio menuju divisi pemasaran.Sementara itu, dari jendela lantai delapan, pemandangan itu terlihat jelas oleh Ryan. Sudut bibirnya perlahan terangkat membentuk senyuman kecil."Bu Tania, lama nggak bertemu. Kamu masih sama seperti dulu, cantik dan berwibawa." Begitu tiba di divisi pemasaran, Lucya juga kebetulan baru saja kembali. Pertemuan kerja sama pun dilakukan di ruang kantornya yang luas.Lucya dan Tania saling berjabat tangan. Dua wanita cantik dan berkari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status