Setelah sekian lama hidup dalam kesulitan dan tekanan, akhirnya aku bisa mendapatkan kembali makna dari kedamaian yang selama ini kucari. Hidup kami berjalan normal, bahagia meski sederhana. Memang kami tidak makan daging dan ikan setiap hari, tapi berkat ketentraman hati, aku dan suami kini menikmati hari hari dengan canda dan kebahagiaan kami."Apakah tinggal di sini lebih menyenangkan?""Iya, Alhamdulillah, aku merasa tenang Mas.""Syukurlah, Dik. Rima sepertinya juga ceria juga, dia makin gemuk dan sehat.""Inaq juga tampak sangat gembira sejak kedatangan kita. Syukurlah," imbuhku."Bulan depan kita kunjungi Ibu, mau?""Uhm, tidak masalah selagi situasinya kondusif.""Baiklah kalau begitu Kakak akan semakin giat bekerja agar kita bisa menabung untuk bekal pulang nanti. Setidaknya kita tidak mempermalukan diri dengan pulang tanpa membawa apapun, sedikit terlihat lebih baik dari sebelumnya akan melegakan hati ibu.""Aku setuju." Malam itu aku dan Kak Aidil tidur dengan pulas, melepa
Pukul tiga sore kedua kakak iparku berpamitan pulang. Kupikir akan menahan mereka untuk menginap karena hari sudah sore dan perjalanan yang cukup panjang tapi Kak Yanto dan Mbak Devi bersikukuh untuk segera kembali."Mendung dan sore Kak, Kenapa tidak menginap saja?""Bukannya kami tidak mau tapi aku ada pekerjaan yang harus kulakukan esok pagi, dan juga bagaimana pula kami akan menginap sementara tidak ada tempat yang tersisa di dalam rumah kecil ini._"Aku tertunduk mendengarnya karena memang demikian adanya rumah kecil milik Inaq hanya terdiri dari 2 kamar dan itu pun masih berlantai tanah. Di manakah aku aku akan menyuruh kedua kakak iparku yang notabene selalu hidup dengan nyaman untuk berbaring dan istirahat?"Kalau begitu Terima kasih atas kedatangannya Kak," jawabku."Sama-sama, aku datang kemari untuk memperbaiki keadaan." Kak Yanto mengulurkan tangannya untuk menyalamiku sebenernya dada ini berdesir dan masih ketakutan tersisa di dalam benakku. Tapi aku berusaha bersikap nor
Melihat tangisan anggota keluarga yang pilu membuat hati ini terenyuh dan tidak tega, aku benar benar melihat penderitaan dan kesengsaraan di mata mereka. Rumah Kak Yanto agak berdekatan dengan rumah ibu, andai tidak tidak segera dipadamkan mungkin api akan melalap rumah orang tua mereka sampai habis."Ya Tuhan, kebakaran semalam menyisakan trauma mendalam.""Ibu di mana?""Di rumahnya," jawab Mbak Devi."Permisi sebentar ya ...."Kususuri jalan menuju rumah ibu dan mengetuknya perlahan. Kudapati beliau terbujur di kasurnya tanpa bergerak sedikit pun. Melihatku datang beliau hanya melirik, mungkin karena menyaksikan ekspresi iba dari wajahku wanita itu melelehkan air mata. "Ibu ya Allah ...." Aku mendekat dan mencium tangannya lalu memeluknya. Wanita dengan bibir dan wajah sedikit meleyot miring itu tersedu dengan suara tertahan. Ucapannya tidak jelas serupa erangan dan keluhan."Ibu, apa ibu merasa kesakitan," tanyaku pelan."Ti-tidak ha-ha-hanha nye-nye-rrii.""Biar saya pijitan
Tentu saja, melihat kekacauan yang terjadi kami langsung panik. Segera aku dan semua yang ada di sana memberikan pertolongan pada kakak iparku yang tubuhnya gosong setengahnya. Kami angkat dia, aroma nanah dan darah menyeruak anyir membuatku mual tapi aku menahannya. Tubuh kak Yanto lengket dan meninggalkan lendir di tanganku yang telah mengangkatnya tadi membuatku merasa ingin cuci tangan, tapi tidak ada wastafel, lagi pula waktunya darurat dan mendesak. Pria itu sudah menangis, melenguh dan merintih-rintih."Ayo bawa masuk lagi," ujar petugas medis."Tidak, aku mau pulang," sela Kak Yanto dengan wajah pucat dan pilu sekali."Luka Anda harus dibersihkan, karena sudah jatuh, dan selang infus harus diperbaiki," ucap perawat tadi."Tidak mau, meski aku harus meregang nyawa detik ini juga, aku ingin hal itu terjadi di rumahku, aku tidak mau mati di rumah sakit!"Mendengar pernyataan Kak Yanto, jangankan kami petugas medis, dokter jaga pun kehilangan kata-kata bahkan Dokter sendiri
Waktu telah menunjukkan pukul 10.00 malam, semua orang di rumah induk sudah terlelap, tinggallah aku sendirian yang masih mondar-mandir memastikan bahwa anggota keluargaku sudah baik-baik saja dan tidak membutuhkan apa-apa lagi. Ku selimuti ibu dan memastikan Kak Yanto telah memakai di tempat tidurnya. Ku matikan tv dan lampu utama lalu menutup pintunya dan beralih ke rumah.Ku buka pintu rumahku dan kudapati suamiku telah tertidur di ranjang kami yang dulu. Tidak banyak perabot yang tersisa di sana karena aku sudah membawanya pulang ke desa nenekku. Hanya tinggal beberapa barang dan meja serta kursi.Kurbankan diri di sisinya lalu menghela nafas dan mencoba tertidur. Halo tiba-tiba terbesit sebuah ingatan tentang bagaimana jahatnya Kak Yanto dulu. Cepat teringat Bagaimana aku selalu merutuki dan membencinya. Pokoknya dia adalah sumber masalah utama yang selalu membuatku kerepotan dan bersedih.Aku tidak yakin Apakah saat itu aku pernah mengutuknya untuk mendapatkan musibah sepahit in
Tak kusangka, jam tiga pagi aku mendengar suara tangis histeris yang sangat memilukan, karena penasaran dan heran aku segara membuka jendela dan nampak beberapa anggota keluarga masuk ke rumah induk."Kak, kak, bangun Kak," ucapku pada suami."Kenapa Dik?" Tanya Kak Aidil sambil mengucek mata."Ada yang nangis Kak, kurasa ada sesuatu," jawabku."Ya Allah ..." Suamiku langsung bergegas bangkit dan mengambil sarung lalu tak lama ia keluar."Kau mau ikut?""Tidak usah, aku akan menjaga Rima," jawabku yang kebetulan sangat lelah dari pagi tadi dengan pekerjaan yang sudah menumpuk tanpa akhir.Kak Aidil bergegas pergi rumah induk yang Lamat lamat terdengar tangisan yang makin keras dengan tangisan pilu."Dik, segera ke rumah ibu," panggil kak Aidil yang tiba tiba membuatku kaget. Dia terdengar panik dan setengah berlari."Kenapa?"Kak Aidil tak menjawab, mungkin dia sudah terburu lari dari rumah kami. Aku segera mengambil jilbab dan menyusul ke rumah ibu mertua. Alangkah terkejutnya set
Kami kembali dari kuburan dan menemukan Mbak Devi sudah terduduk sedih di ruang tamu sambil mencium bekas pakaian suaminya. Wanita itu tergugu dengan bahu berguncang dan kelihatan hancur sekali.Kami para anggota keluarga dan saudara iparnya hanya bisa saling memandang dan menatapnya dengan penuh rasa bisa dibayangkan Ketika seseorang wanita kehilangan suaminya itu rasanya seperti kehilangan separuh hidup dan semangat jiwa. Sungguh aku sangat prihatin sekali dengan apa yang menimpa kakak iparku.Di sudut lain ketika kami hendak ke dapur, ada ibu yang masih lemas, kata sepupu, tiba tiba beliau demam dan muntah muntah, aku agak kaget, mungkin rasa syok yang memicu asam lambungnya naik sehingga membuat beliau tidak bisa menerima makanan apapun masuk ke dalam mulutnya."Aku akan buatkan bubur," ucapku pada salah seorang kerabat."Sebaiknya sebelum masak dan berkegiatan kau harusnya mandi agar terlihat bersih dan rapi, kau kan baru dari kuburan.""Iya Bi.""Memangnya kenapa kalau dari kub
"Sini kau! Mengapa anakku sampai menilai kau sumber masalah dalam kehidupannya, apa yang sudah kau lakukan?""Saya tidak tahu saya juga tidak paham mengapa mereka semua menyalahkan saya padahal saya tidak pernah ikut campur atau merasik mereka semua.""Mengapa mereka menyebutmu sebagai sumber masalah?""Tidak tahu." Aku bersikeras dengan pendapatku karena memang aku tak tahu apa apa tentang ini. Mengapa juga aku yang disalahkan atas kematian seseorang padahal aku tak membunuh?"Mbak Devi hanya terbawa emosi, Zahra adalah adik ipar kami yang bungsu. Dia anak yang baik dan rajin," ucap kakTania sambil membelaku.Kupandangi wanita itu sementara dia mengangguk menandakan bahwa dia tulus mengatakannya, tidak ada dendam sedikitpun tersisa di hatinya lantaran aku sudah membuat suaminya terjatuh dari motor dan pincang."Tidak mungkin ada asap tanpa api, tidak mungkin Devi menyalahkannya, jika dia tidak bersalah.""Mbak Devi masih terguncang dan dalam keadaan berduka, dia bisa berlantur atau