Alex duduk dengan kasar di sofa berwarna merah. Mension tempatnya berkumpul bersama para mafia menjadi memanas.
“Aku tidak mau mendengar kabar buruk lagi. Pokoknya, kalian harus menemukan pacar Ailyn secepatnya!” Alex menaikkan kaki ke atas meja.“Baik, Bos.” Anak buahnya yang hendak pergi, terpaksa kembali saat Alex mengatakan ada hal lain yang perlu dibicarakan.“Awasi juga anak Kusuma. Dia baru datang. Sialnya, aku lupa kalau Marina punya anak.” Alex mengambil cerutu dari saku jaket, hanya memerhatikannya.“Aku dengar dari informan, dia yang akan menjadi penerus K2 Company, Bos. Apa kita harus bertindak?” tanya Gandhi, selaku kaki tangan sekaligus orang kepercayaan Alex.“Sabar dulu. Aku masih ingin tahu, apa dia ingat kejadian 10 tahun lalu. Kalau dia ingat dan memberitahu Marina, habis aku,” katanya, meletakkan cerutu.Alex memang masih mencintai Marina, bahkan sejak dia pertama bertemu. Sayang, kehadiran Ailyn mKaran baru saja tiba di kediaman keluarga Kusuma. Matanya langsung memerhatikan seluruh kawasan luas itu. “Banyak sekali perubahan,” lirihnya, membiarkan pengawal membawakan kopernya. Pria itu melangkah mendekati pintu utama. Belum sempat mengetuk pintu, ternyata pintu dibuka lebih dulu. Seorang wanita berbaju merah berdiri di depan pintu dengan tatapan tak suka. Siapa lagi kalau bukan ibu tirinya, Yunita. “Apa aku harus meminta izin untuk masuk?” Karan lebih dulu bicara saat Yunita hanya mematung sambil melipat kedua tangannya. “Apa perlu kupersilakan? Kau bukan anak ingusan itu lagi, kan?” Sudut bibir Yunita terangkat. ‘Dasar!’ rutuk Karan dalam hati. Wanita penggoda itu malah bicara seolah-olah rumah itu miliknya. Tangan Karan yang mengepal, sedikit terangkat. Namun, ia harus diam mengingat baru saja tiba. “Siapa, Sayang?” Suara seseorang membuat Yunita langsung berubah. Kalau sampai suaminya tahu apa yang tadi ia
[Hentikan, Om! Selama aku masih bernapas, aku tidak butuh uangmu!] Ailyn membalas dengan memberikan tambahan emoticon pisau. Alex sudah bertindak di luar batas. “Kalau dibiarkan, dia pasti akan semakin menjadi-jadi,” keluh Ailyn. Tanpa diduga, Alex membalas dengan mengirim foto pistol di atas meja. Tanpa dijelaskan pun Ailyn paham maksudnya. Alex akan membunuh siapa pun yang tak menurutinya. Selang beberapa waktu, Ailyn sampai di depan kantor K2 Company. Ia turun setelah membayar ongkos taksi. Pikirannya berkecamuk. Dirapikannya rambut dan baju, lalu melangkah menuju ke satpam yang berdiri di depan gerbang. “Semoga berhasil,” lirihnya. “Selamat pagi, Pak,” sapa Ailyn. “Pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” Satpam berkumis tipis itu memerhatikan seluruh tubuh Ailyn yang mengenakan kemeja putih dan rok cokelat selutut. “Ah, saya dapat tawaran casting iklan produk terbaru di sini. Apa masih ada lowongan? Soalnya baru
Ailyn hanya bisa diam saat menunggu di ruang Anggrek. Sesuai namanya, ruangan itu dipenuhi ornamen anggrek yang indah. “Eh, bukannya dia model itu?” Seorang wanita dengan rok mini berwarna putih berbisik, tapi masih bisa didengar Ailyn yang duduk tak jauh darinya. “Iya, ya. Dulu dia terlibat skandal sama produsernya, kalau aku tidak salah dengar. Dia masih berani menunjukkan wajah?” balas temannya. Ailyn mulai memanas. Ia mengibaskan map yang dibawa karena keringat mendadak mengucur deras di keningnya. Pembahasan tentang masa lalunya ternyata masih belum selesai. “Lama sekali,” keluh Ailyn. Ia merasa gerah, padahal ruangan itu ber-AC. “Kau ... model sampo itu, kan? Yang pernah viral itu?” tanya wanita yang tadi berbisik. “Kalau memang iya, kenapa? Toh, itu sudah berlalu sangat lama. Tak ada gunanya diungkit,” ketus Ailyn. Ia pura-pura memeriksa ponsel, padahal tidak ada pesan apa pun. Pandangannya fokus, se
Waktu berlalu dengan cepat. Tahu-tahu Ailyn sudah keluar dari perusahaan. Disekanya keringat di dahi. “Hufftt! Hari yang melelahkan!” “Taksi! Taksi!” Ailyn menghentikan taksi untuk pulang. Hari sudah sore saat ia menyelesaikan syuting pertamanya yang berjalan lancar. Bahkan bisa dibilang sangat lancar sebab beberapa karyawan memuji penampilannya yang tak perlu banyak pengarahan. Didekatinya taksi yang berhenti. “Maaf, Mbak. Lagi ada aksi mogok kerja. Kami akan kembali beroperasi besok,” ujar sopir taksi, lantas meninggalkan Ailyn. “Aih? Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?” Ailyn terpaksa berjalan kaki. Rasanya berat untuk melangkah, tapi tak ada pilihan. "Aku akan pulang dan memberi tahu Ayah, kalau aku sudah dapat pekerjaan,” katanya. Senyum lebarnya seketika sirna melihat beberapa orang berdiri tak jauh darinya. “Bukannya mereka ... anak buah Om Alex?” Langkah Ailyn berhenti. Ia bermaksud untuk berbal
Alex dengan kesal memasuki rumah. Ia pura-pura tersenyum saat Kiran mendekat dan memeluknya. “Papa dari mana?” tanyanya. “Papa ada urusan sekejap. Mama sudah tidur?” Alex menaiki tangga sembari menggendong Kiran. Anaknya hanya mengangguk. Sampai di depan pintu, diperhatikan olehnya Marina tertidur. “Kau mau makan malam bersama Papa?” Alex mencubit pipi tambun anaknya yang menggemaskan. Perlahan ia menuruni tangga lagi tanpa ada niatan menutup pintu. Kiran langsung mengangguk, membiarkan sang papa membawanya masuk ke dapur. Keduanya pun makan malam bersama. “Kau—“ Karan yang menyusul, terhenti melihat ayah dan adik tirinya tengah makan sambil bercanda. “Jangan bertengkar denganku di depan Kiran. Kau tentu mengerti. Tunggu dulu sebentar.” Tanpa menoleh dan terus menyuapi Kiran, Alex bicara. Karan mendengus kasar. Berbalik ia menuju ke kamar Marina untuk memeriksa keadaannya. Wajah pucat itu membuatnya merasa sedih.
"Ailyn belum bisa dihubungi. Aku jadi tak bisa berpikir. Huhh!” Karan menyisir rambut, lantas becermin sekali lagi sebelum berangkat. Seluruh ruangan yang pernah dipenuhi poster superhero kini sudah bersih. Rupanya pelayan di rumah itu sudah membersihkannya tanpa diminta. Yakin penampilannya sudah sempurna, ia keluar menuju ke dapur untuk sarapan bersama. Dilihatnya Kusuma, Yunita, juga Farel sudah menunggu. “Selamat pagi,” sapanya. “Pagi,” jawab mereka bersamaan. Tanpa banyak kata, mereka mulai menikmati sarapan. Terasa aneh di lidah Karan yang belum terbiasa. “Pa, apa Papa sudah memikirkan tentang Jovan? Kalau dia tidak bisa menjadi Sekretaris, bagaimana kalau jadi sopir pribadi Karan?” usulnya di sela-sela makan. “Mama setuju. Semalam kami sudah membicarakannya saat kau belum pulang. Farel yang akan menjadi Sekretarisnya,” tukas Yunita. Karan berdecak tanpa suara. Siapa yang ditanya, malah orang lain yan
“Jelaskan semuanya padaku, Ailyn. Kenapa kau bisa terluka? Siapa yang melakukan ini? Om Alex itu?” Karan memberondong dengan berbagai pertanyaan. Mengingat semalam ia bertengkar dengan ayah tirinya itu, Karan yakin dialah pelakunya. “Banyak sekali pertanyaanmu.” Ailyn menatap sinis. Ia tak memerhatikan Jovan yang sesekali melirik dari kaca spion. “Aku cemas.” Karan menggenggam tangan itu dengan lembut. “Tidak perlu seperti ini.” Aliyn menarik tangannya perlahan. Bisa copot jantungnya kalau tangan itu terus digenggam. Debaran yang ia rasakan terasa menyulitkannya untuk bernapas. “Kemarin saat aku diantar pulang sopirmu, aku melihat banyak daging buah semangka bertaburan, jadi aku mengikutinya.” Ailyn pun menceritakan tentang apa yang terjadi padanya hingga berakhir di rumah sakit dan dijaga Alex. Ia juga tak menyangka ayahnya akan tega melakukan itu. “Makanya, aku ingin segera membantumu. Namun .... “ K
Ailyn sampai di depan perusahaan. Ia bergegas masuk, melewati beberapa orang yang langsung menatapnya penasaran. “Tuan!” panggilnya saat Geri baru saja keluar. “Kau dari mana? Kok lama sekali? Eh?” Geri terkejut melihat wanita itu dibalut perban. “Kecelakaan, Tuan. Sedikit luka, jangan khawatir.” Ailyn berusaha terlihat kuat. Ia menampilkan senyum termanis. “Ya ampun! Kenapa kau ke sini kalau terluka?” Geri menarik tangannya agar duduk. Hal itu menjadi pusat perhatian para calon model yang menunggu sejak tadi. “Aku tidak selemah itu. Hari ini ada syuting? Aku rasa, tidak bisa kalau seperti ini.” Ailyn meringis. Tentu tidak akan bisa syuting dengan kepala diperban. “Tidak masalah. Tuan Muda juga belum memeriksa para model. Kau istirahat saja sana. Besok baru kerja.” Geri menyentuh dagu Ailyn, memeriksa layaknya dokter. “Tidak!” Ailyn berteriak, membuat Geri terkejut. “Ah, maksudku ... aku tidak mau semakin le