Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika?
“Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya.Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi.“Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.”Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap.“Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega.Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga.Sesampainya di rumah sakit ....“SelamAilyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
“Ayah, lepaskan aku! Aku tidak mau kencan lagi! Ayah, aku mohon!” Seorang wanita menyentak tangannya yang ditarik paksa keluar rumah. Sang ayah menatapnya berang, lantas mengusap wajah. Tangannya berkacak pinggang, merutuki kelakuan anaknya. Entah sudah berapa kali kencan buta, tetap tak ada hasil. “Kau—“ Pria bernama Mohan itu menunjuk wajah sang anak yang memelas. “Sudah, ikut saja!” titahnya. “Hei, Ailyn! Kau mau kencan lagi, ya? Tidak bosan?” Tetangga sebelah menyapa sembari bersandar pada dinding rumahnya. “Berhenti berkencan, tapi menikahlah. Mau sampai kapan kau menjadi perawan tua?” Wanita di sisi kanannya ikut menimpali. “Menikahlah. Jangan jadi beban Ayahmu terlalu lama,” imbuhnya, membuat hati Ailyn memanas. Mendengar ocehan tetangga yang selalu saja mengganggunya, Ailyn meremas jemari. Kalimat-kalimat tadi bahkan sudah ia dengar sejak 10 tahun lalu. Membosankan sekaligus menyebalkan. “Urus saja urusan kalian sendiri! Ikut campur urusan orang melulu!” Wanita bernama
Seorang pria keluar dari pesawat sembari membuka kacamata. Bibirnya menguntum senyum. “Indonesia, akhirnya aku kembali padamu,” lirihnya menuruni tangga.Langkahnya santai, mendorong koper melewati banyak orang tanpa peduli. “Di mana pengawalku?” Baru saja bertanya pada diri sendiri, dilihatnya beberapa orang berlari mendekat.“Selamat datang kembali, Tuan Muda.” Tiga orang berpakaian rapi menyapa, lantas membungkuk hormat.Pria itu adalah Karan Pradipta Kusuma yang baru pulang dari luar negeri setelah 10 tahun lebih sekolah bisnis di Amerika.“Bawakan koperku! Aku sangat lelah.” Karan menyerahkan koper, lalu beranjak pergi lebih dulu.“Baik, Tuan!” Seorang pengawal menjawab, bergegas mengikuti sembari menarik koper.“Tuan Kusuma sudah menunggu. Apa kita langsung pulang?” tanya pengawal berkumis tebal.“Tidak. Aku malas melihat Papa bersama penyihir itu. Belum lagi si nakal yang pasti sudah seusiaku.” Karan memasukkan kacamata ke dalam saku jas.“Apa Tuan mau ke rumah Nyonya? Beliau
Karan termangu, menatap wanita asing yang kini terisak. Ia penasaran pada pria tadi yang diyakininya sebagai seseorang di masa lalu.“Siapa ... nama pria itu?” tanyanya.Ailyn menoleh sembari menyeka air mata. “Om Alex,” jawabnya.Sontak hal itu membuat Karan melotot. Ia menoleh pada pengawal yang duduk di belakangnya. “Apa nama panjangnya Alex Brawijaya?”“Kata Ayah sih, begitu. Dari mana kau tahu? Huaaaahhh! Kenapa aku malah menangis?” Ailyn histeris mengingat dirinya yang sudah memaksakan diri untuk tegar, tapi akhirnya menangis juga.“Sttt!! Diam! Sudah masuk mobil orang sembarangan malah berteriak,” tegur Karan, menoleh ke arah belakang, takut diikuti.“Maaf,” lirih Ailyn. Ia merapikan gaunnya yang sobek setelah menyeka keringat.Ia merutuki diri yang meminta bantuan tanpa memikirkan konsekuensinya.“Tak salah lagi. Sialan itu masih suka bermain wanita. Apa dia tidak memikirkan Mama?” Karan bicara pada diri sendiri, semakin yakin.“Apa katamu tadi?” Ailyn merapikan rambutnya.
“Ailyn! Apa yang terjadi? Bagaimana kencannya?” Seorang pria mengikuti Ailyn yang duduk tanpa permisi. “Gatot! Gagal total! Si om brengsek itu malah membawaku ke hotel.” Ailyn melepaskan jas milik Karan, lalu meletakkannya di sofa. “Sudah kuduga! Untung saja aku membuang obat tidur itu. Kalau tidak ... habis kau!” Pria itu duduk di depan Ailyn, menyodorkan botol air mineral. Ternyata dia adalah pelayan restoran yang waktu itu melayani Ailyn. “Lalu, apa rencanamu sekarang?” tanyanya. Pria itu bernama Hadid. “Aku boleh menginap di sini, tidak? Aku takut Ayah marah atau si Om Alex akan datang lagi.” Ailyn meminum air mineral sedikit, lalu meletakkannya di atas meja. Hadid mempersilakan Ailyn untuk menginap sekaligus tidur di kamarnya. lagi pula, dia dan wanita itu sudah bersahabat sejak lama. Tak akan terjadi apa-apa. “Terima kasih banyak. Untung aku punya sahabat yang masih jomblo sepertimu, jadi bisa menginap. Hehe.” Hadid hanya berdecak, membiarkan Ailyn beranjak menuju ke kama
Karan masih mematung, sampai Marina menyentuh lengannya. Wanita itu menyerahkan segelas jus padanya, lantas meminta agar sang anak duduk. “Mama mengadopsi anak?" Karan tertawa sambil menggeleng. Ia yakin si kecil berbaju putih itu anak angkat mamanya. Dia berpikir Marina kesepian karena suaminya jarang pulang, lantas mengadopsi anak.“Tidak, Karan. Dia anak Mama. Adikmu.” Marina menuntun anak kecil yang diakuinya sebagai anak. Wanita itu mengelus rambutnya dengan penuh perhatian. “Anak bagaimana?” Karan duduk, masih dengan tangan memegang gelas. Tak ada niatan untuk meminumnya. Yang ada hanya rasa penasaran memenuhi pikirannya. Marina menarik napas dalam-dalam, berat untuk bercerita. Maklum, dia dan Karan sudah 10 tahun tak bertemu. Selain agak aneh, waktunya dirasa tidak pas. “Ma?” Karan meletakkan gelas di depannya. Tatapan mata Karan seolah menegaskan ia ingin tahu cerita sebenarnya. “Kau ingat hari saat Mama dipaksa menikah dengan Alex setelah Papa menuntut cerai?” ungkit Mar