Karan masih mematung, sampai Marina menyentuh lengannya. Wanita itu menyerahkan segelas jus padanya, lantas meminta agar sang anak duduk.
“Mama mengadopsi anak?" Karan tertawa sambil menggeleng. Ia yakin si kecil berbaju putih itu anak angkat mamanya. Dia berpikir Marina kesepian karena suaminya jarang pulang, lantas mengadopsi anak.“Tidak, Karan. Dia anak Mama. Adikmu.” Marina menuntun anak kecil yang diakuinya sebagai anak. Wanita itu mengelus rambutnya dengan penuh perhatian.“Anak bagaimana?” Karan duduk, masih dengan tangan memegang gelas. Tak ada niatan untuk meminumnya. Yang ada hanya rasa penasaran memenuhi pikirannya.Marina menarik napas dalam-dalam, berat untuk bercerita. Maklum, dia dan Karan sudah 10 tahun tak bertemu. Selain agak aneh, waktunya dirasa tidak pas.“Ma?” Karan meletakkan gelas di depannya. Tatapan mata Karan seolah menegaskan ia ingin tahu cerita sebenarnya.“Kau ingat hari saat Mama dipaksa menikah dengan Alex setelah Papa menuntut cerai?” ungkit Marina, membiarkan anaknya duduk di pangkuan.Karan mengangguk. Tentu saja ingat. Itu adalah hari di mana dia melihat Marina menjerit meminta kembali pada suaminya, tapi Alex berhasil membawanya kabur.“Bukankah Mama akhirnya menikahi pria itu? Apa dia punya anak sebelumnya? Dia ... Adik tiri Karan, begitu?” Karan masih belum sepenuhnya mengerti.Marina menggeleng. “Setelah Alex dan anak buahnya menculik Mama, dia melecehkan Mama. Inilah hasilnya. Adikmu,” ulas Marina.Karan terperanjat, langsung terbelalak. Dia tak pernah tahu ada kejadian itu. Yang dia tahu mamanya diculik, lalu melangsungkan pernikahan di rumah itu seminggu kemudian.“Jadi dia .... “ Karan membekap mulutnya, lantas mengusap wajah. Hari di mana mamanya menikah adalah hari kehancurannya.Setelah Alex menikahi Marina, Karan tinggal bersama papa dan ibu tiri beserta adik tirinya. Ia diperlakukan dengan buruk dan dilarang bertemu Marina.“Sapalah Adikmu, Karan. Namanya Kiran. Kirana Brawijaya. Jangan membencinya, Mama mohon.” Marina tersenyum getir.“Aku tak menyangka punya adik.” Karan tersenyum, merentangkan kedua tangan agar dipeluk. Walau bagaimanapun, Kiran tidak bersalah.Adiknya hadir memang karena hasil hubungan terlarang, tapi dia dan mamanya tidak bersalah.Kiran yang baru tahu punya kakak, antusias menghampiri. “Kakak,” lirihnya, memeluk erat.“Mama hamil sebelum kau pergi. Awalnya, Mama ingin memberitahumu, tapi Mama takut kau semakin membenci suami Mama,” lirih Marina.‘Tentu saja aku sangat membencinya. Bukan karena apa yang sudah dia lakukan, tapi karena dia mengancam akan membunuhku dan Mama ,' batin Karan.Ia sengaja tak melupakan peristiwa saat Alex menodongkan senjata padanya 10 tahun lalu. Hari itu Alex memaksanya pergi agar Marina tak bisa kembali.“Berapa umur Kiran?” Karan merasa kikuk saat menyebut nama adik yang mirip namanya.“Sepuluh tahun, sama seperti kepergianmu,” jawab Marina. Karan mengangguk. Tentu saja. Sepuluh tahun ia menjauhkan diri dari mamanya karena ancaman Alex.“Kau baik-baik saja?” Marina heran mendapati Karan terdiam. Anaknya hanya tersenyum, menepis angan yang tak akan ia lupakan sekaligus tak akan diceritakan.“Papa mana?” Kiran mendongak, bertanya pada Karan yang dikira pergi bersama papanya.“Nanti juga pulang.” Baru saja mengatakan itu, Marina mendapati sang suami datang diikuti beberapa anak buah seperti biasanya.“Itu Papa!” tunjuknya. Sontak Karan berdiri, membiarkan adik tirinya berhambur memeluk pria yang sudah lama dibencinya.Dan benar saja. Pria berkemeja putih itu adalah pria semalam. Pantas Karan merasa De Javu saat Ailyn meminta tolong. Rupanya memang dulu kejadian yang sama berlaku pada Marina.“Sayangnya Papa!” Alex mengangkat tubuh Kiran, mengecup pipi dan keningnya.“Mas, kepalamu kenapa? Kok diperban? Kau berkelahi lagi, ya? Duh, Gusti!” Marina kaget mendapati suaminya pulang dalam keadaan terluka.“Tidak. Aku semalam kecelakaan di jalan. Jangan khawatir, aku baik-baik saja, kok.” Alex mengecup kening Marina, tampak perhatian.‘Kecelakaan? Cih! Ailyn yang sudah melukaimu. Dasar pembohong! Masih sama seperti masa lalu,' batin Karan.Melihat seseorang berdiri menatapnya, Alex merasa heran. Diperhatikan seluruh tubuh Karan yang tampak asing di matanya.“Dia siapa, Sayang?” tanyanya, membiarkan Kiran turun dari gendongan dan berlarian keluar dikejar anak buah Alex.“Karan, Anakku. Dia pulang semalam. Baru juga sampai.” Mendengar itu, Alex terpaku. Deg! Seperti ada batu menghujam keras ke dadanya.Anak itu telah kembali. Sudah dewasa dan mirip dengan mantan suami dari wanita yang ia rebut. Alex memaksakan diri tersenyum, berharap Karan melupakan peristiwa yang lalu.Karan mengepalkan tangannya di balik punggung. Ia ingin sekali memukul pria yang sudah menghancurkan hidupnya dan sang mama. Sayang, waktu belum berpihak padanya.“Hai, Nak. Kau sudah dewasa, ya? Bagaimana perjalananmu?” Alex merangkul lebih dulu, menepuk pundak Karan cukup keras. Ia bersikap seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan.“Cukup melelahkan.” Dicobanya untuk tersenyum dan sebisa mungkin segera melepaskan rangkulan.“Istirahatlah! Kau pasti lelah. Anggap saja rumah sendiri. Kita kan keluarga.” Alex mengedipkan sebelah matanya, lantas merangkul Marina menaiki tangga.“Kau istirahat di kamar atas saja, Nak,” kata Marina.“Tidak usah, Ma. Karan akan segera pergi. Papa pasti menunggu. Lain kali saja.” Karan tersenyum paksa.Marina hanya mengangguk, meminta izin untuk mengantar anaknya keluar. Alex mengiyakan tanpa banyak bicara. Ia kaget dan tak menduga dengan pertemuan itu.Bisa dibilang, ia juga lupa akan kenyataan istrinya memiliki anak laki-laki yang kini sudah dewasa.***Sudah seharian Ailyn mencari pekerjaan. Wanita itu mengusap keringat di wajah. Sukar baginya untuk mendapat pekerjaan.“Kenapa mereka malah mengungkit skandal masa laluku?” Ailyn duduk di bangku taman sekolah TK yang sepi. Ia kesal sebab tiga perusahaan menolaknya lantaran skandal yang dulu sempat ramai disiarkan.Mereka tidak ingin memiliki karyawan atau rekan kerja yang memiliki catatan hitam. Perusahaan juga menuntut kesempurnaan. Ailyn yang hanya lulusan SMA, tak banyak memiliki kemampuan.“Apa aku coba lamar pekerjaan ke K2 Company saja, ya? Dulu kan aku sempat ditawari kerja di sana.” Ailyn mengibaskan dokumen lamaran kerja pada wajah.Ia ingat tahun lalu ada karyawan K2 Company yang memintanya ikut casting iklan parfum terbaru. Namun, Ailyn menolak dengan alasan masih malu tampil di TV.“Aku harus mencoba ke sana,” ujarnya. Setelah yakin, dibawanya kaki melangkah menelusuri jalanan sembari mencari taksi.“Taksi!” Ailyn melambaikan tangan. Ketika taksi berhenti di dekatnya, sebuah tangan mencegahnya yang hendak membuka pintu.Ditolehnya seseorang itu. Ailyn terkejut mendapati Mohan menarik tangannya menjauh. “Ayah! Ada apa, sih!” Ailyn menyentak tangan itu dengan wajah kesal.“Kau mau ke mana? Belum dapat kerja, ya?” Mohan menyelidiki seluruh wajah letih yang kini tertunduk. Ailyn malas menjawab.“Sudah, ikut Ayah. Tadi Ayah sudah menghubungi Tuan Alex. Dia meminta kita bertemu di depan KUA siang ini,” kata Mohan, membuat Ailyn terkesiap.“KUA? Untuk apa?” Mula ada rasa curiga tercipta ketika senyum licik terukir di bibir ayahnya.“Bodoh! Untuk mendaftarkan pernikahanmu, apa lagi? Ayah sudah sepakat menikahkanmu dengan Tuan Alex.”“Apa?” Ailyn menganga, tak percaya.“Tidak mau! Lepaskan! Tolong!” Ailyn berteriak-teriak saat Mohan menyeretnya masuk ke dalam taksi yang tadi Ailyn hentikan.Dari jauh, Karan melihat seseorang ditarik ke dalam taksi. Dia yakin wanita itu adalah Ailyn. "Bukannya itu Ailyn?"“Sepertinya iya, Tuan,” jawab Sopir.“Ada apa lagi ini? Cepat ikuti dia!” titahnya, merasa khawatir mengingat cerita Ailyn yang dijual pada Alex.Sopir mengangguk, segera melajukan mobilnya mengikuti entah ke mana Ailyn akan dibawa.****Taksi yang ditumpangi Ailyn dan Mohan berhenti di depan gedung KUA. Dengan terpaksa, Ailyn membiarkan ayahnya menariknya paksa sembari mengomel. “Hentikan, Ayah! Biarkan aku mencari pekerjaan agar Ayah tidak perlu menjualku!” rengek Ailyn, menghentikan langkah. “Kau masih akan mencari, bukan sudah mendapatkan pekerjaan. Sudah, Ayah sudah bawa dokumen pentingnya. Kau tinggal masuk dan mendaftar.” Mohan yang telanjur emosi dengan sikap anaknya yang sukar diajak bicara baik-baik, mendorong tubuh itu agar memasuki gedung KUA. Belum juga kakinya melangkah lebih jauh, mendadak seseorang menghentikan. “Tunggu!” Suara itu membuat keduanya spontan menoleh dan mendapati Karan mendekat. “Karan? Kenapa kau di sini?” tanya Ailyn, heran melihat pria itu datang entah dari mana. “Kau siapa?” Mohan memerhatikan pria dengan setelan jas rapi berhenti di depannya, langsung berkacak pinggang. Karan tak menjawab, malah bertanya,
Alex duduk dengan kasar di sofa berwarna merah. Mension tempatnya berkumpul bersama para mafia menjadi memanas. “Aku tidak mau mendengar kabar buruk lagi. Pokoknya, kalian harus menemukan pacar Ailyn secepatnya!” Alex menaikkan kaki ke atas meja. “Baik, Bos.” Anak buahnya yang hendak pergi, terpaksa kembali saat Alex mengatakan ada hal lain yang perlu dibicarakan. “Awasi juga anak Kusuma. Dia baru datang. Sialnya, aku lupa kalau Marina punya anak.” Alex mengambil cerutu dari saku jaket, hanya memerhatikannya. “Aku dengar dari informan, dia yang akan menjadi penerus K2 Company, Bos. Apa kita harus bertindak?” tanya Gandhi, selaku kaki tangan sekaligus orang kepercayaan Alex. “Sabar dulu. Aku masih ingin tahu, apa dia ingat kejadian 10 tahun lalu. Kalau dia ingat dan memberitahu Marina, habis aku,” katanya, meletakkan cerutu. Alex memang masih mencintai Marina, bahkan sejak dia pertama bertemu. Sayang, kehadiran Ailyn m
Karan baru saja tiba di kediaman keluarga Kusuma. Matanya langsung memerhatikan seluruh kawasan luas itu. “Banyak sekali perubahan,” lirihnya, membiarkan pengawal membawakan kopernya. Pria itu melangkah mendekati pintu utama. Belum sempat mengetuk pintu, ternyata pintu dibuka lebih dulu. Seorang wanita berbaju merah berdiri di depan pintu dengan tatapan tak suka. Siapa lagi kalau bukan ibu tirinya, Yunita. “Apa aku harus meminta izin untuk masuk?” Karan lebih dulu bicara saat Yunita hanya mematung sambil melipat kedua tangannya. “Apa perlu kupersilakan? Kau bukan anak ingusan itu lagi, kan?” Sudut bibir Yunita terangkat. ‘Dasar!’ rutuk Karan dalam hati. Wanita penggoda itu malah bicara seolah-olah rumah itu miliknya. Tangan Karan yang mengepal, sedikit terangkat. Namun, ia harus diam mengingat baru saja tiba. “Siapa, Sayang?” Suara seseorang membuat Yunita langsung berubah. Kalau sampai suaminya tahu apa yang tadi ia
[Hentikan, Om! Selama aku masih bernapas, aku tidak butuh uangmu!] Ailyn membalas dengan memberikan tambahan emoticon pisau. Alex sudah bertindak di luar batas. “Kalau dibiarkan, dia pasti akan semakin menjadi-jadi,” keluh Ailyn. Tanpa diduga, Alex membalas dengan mengirim foto pistol di atas meja. Tanpa dijelaskan pun Ailyn paham maksudnya. Alex akan membunuh siapa pun yang tak menurutinya. Selang beberapa waktu, Ailyn sampai di depan kantor K2 Company. Ia turun setelah membayar ongkos taksi. Pikirannya berkecamuk. Dirapikannya rambut dan baju, lalu melangkah menuju ke satpam yang berdiri di depan gerbang. “Semoga berhasil,” lirihnya. “Selamat pagi, Pak,” sapa Ailyn. “Pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” Satpam berkumis tipis itu memerhatikan seluruh tubuh Ailyn yang mengenakan kemeja putih dan rok cokelat selutut. “Ah, saya dapat tawaran casting iklan produk terbaru di sini. Apa masih ada lowongan? Soalnya baru
Ailyn hanya bisa diam saat menunggu di ruang Anggrek. Sesuai namanya, ruangan itu dipenuhi ornamen anggrek yang indah. “Eh, bukannya dia model itu?” Seorang wanita dengan rok mini berwarna putih berbisik, tapi masih bisa didengar Ailyn yang duduk tak jauh darinya. “Iya, ya. Dulu dia terlibat skandal sama produsernya, kalau aku tidak salah dengar. Dia masih berani menunjukkan wajah?” balas temannya. Ailyn mulai memanas. Ia mengibaskan map yang dibawa karena keringat mendadak mengucur deras di keningnya. Pembahasan tentang masa lalunya ternyata masih belum selesai. “Lama sekali,” keluh Ailyn. Ia merasa gerah, padahal ruangan itu ber-AC. “Kau ... model sampo itu, kan? Yang pernah viral itu?” tanya wanita yang tadi berbisik. “Kalau memang iya, kenapa? Toh, itu sudah berlalu sangat lama. Tak ada gunanya diungkit,” ketus Ailyn. Ia pura-pura memeriksa ponsel, padahal tidak ada pesan apa pun. Pandangannya fokus, se
Waktu berlalu dengan cepat. Tahu-tahu Ailyn sudah keluar dari perusahaan. Disekanya keringat di dahi. “Hufftt! Hari yang melelahkan!” “Taksi! Taksi!” Ailyn menghentikan taksi untuk pulang. Hari sudah sore saat ia menyelesaikan syuting pertamanya yang berjalan lancar. Bahkan bisa dibilang sangat lancar sebab beberapa karyawan memuji penampilannya yang tak perlu banyak pengarahan. Didekatinya taksi yang berhenti. “Maaf, Mbak. Lagi ada aksi mogok kerja. Kami akan kembali beroperasi besok,” ujar sopir taksi, lantas meninggalkan Ailyn. “Aih? Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?” Ailyn terpaksa berjalan kaki. Rasanya berat untuk melangkah, tapi tak ada pilihan. "Aku akan pulang dan memberi tahu Ayah, kalau aku sudah dapat pekerjaan,” katanya. Senyum lebarnya seketika sirna melihat beberapa orang berdiri tak jauh darinya. “Bukannya mereka ... anak buah Om Alex?” Langkah Ailyn berhenti. Ia bermaksud untuk berbal
Alex dengan kesal memasuki rumah. Ia pura-pura tersenyum saat Kiran mendekat dan memeluknya. “Papa dari mana?” tanyanya. “Papa ada urusan sekejap. Mama sudah tidur?” Alex menaiki tangga sembari menggendong Kiran. Anaknya hanya mengangguk. Sampai di depan pintu, diperhatikan olehnya Marina tertidur. “Kau mau makan malam bersama Papa?” Alex mencubit pipi tambun anaknya yang menggemaskan. Perlahan ia menuruni tangga lagi tanpa ada niatan menutup pintu. Kiran langsung mengangguk, membiarkan sang papa membawanya masuk ke dapur. Keduanya pun makan malam bersama. “Kau—“ Karan yang menyusul, terhenti melihat ayah dan adik tirinya tengah makan sambil bercanda. “Jangan bertengkar denganku di depan Kiran. Kau tentu mengerti. Tunggu dulu sebentar.” Tanpa menoleh dan terus menyuapi Kiran, Alex bicara. Karan mendengus kasar. Berbalik ia menuju ke kamar Marina untuk memeriksa keadaannya. Wajah pucat itu membuatnya merasa sedih.
"Ailyn belum bisa dihubungi. Aku jadi tak bisa berpikir. Huhh!” Karan menyisir rambut, lantas becermin sekali lagi sebelum berangkat. Seluruh ruangan yang pernah dipenuhi poster superhero kini sudah bersih. Rupanya pelayan di rumah itu sudah membersihkannya tanpa diminta. Yakin penampilannya sudah sempurna, ia keluar menuju ke dapur untuk sarapan bersama. Dilihatnya Kusuma, Yunita, juga Farel sudah menunggu. “Selamat pagi,” sapanya. “Pagi,” jawab mereka bersamaan. Tanpa banyak kata, mereka mulai menikmati sarapan. Terasa aneh di lidah Karan yang belum terbiasa. “Pa, apa Papa sudah memikirkan tentang Jovan? Kalau dia tidak bisa menjadi Sekretaris, bagaimana kalau jadi sopir pribadi Karan?” usulnya di sela-sela makan. “Mama setuju. Semalam kami sudah membicarakannya saat kau belum pulang. Farel yang akan menjadi Sekretarisnya,” tukas Yunita. Karan berdecak tanpa suara. Siapa yang ditanya, malah orang lain yan