Share

Pulang

“Ailyn! Apa yang terjadi? Bagaimana kencannya?” Seorang pria mengikuti Ailyn yang duduk tanpa permisi.

“Gatot! Gagal total! Si om brengsek itu malah membawaku ke hotel.” Ailyn melepaskan jas milik Karan, lalu meletakkannya di sofa.

“Sudah kuduga! Untung saja aku membuang obat tidur itu. Kalau tidak ... habis kau!” Pria itu duduk di depan Ailyn, menyodorkan botol air mineral.

Ternyata dia adalah pelayan restoran yang waktu itu melayani Ailyn. “Lalu, apa rencanamu sekarang?” tanyanya. Pria itu bernama Hadid.

“Aku boleh menginap di sini, tidak? Aku takut Ayah marah atau si Om Alex akan datang lagi.” Ailyn meminum air mineral sedikit, lalu meletakkannya di atas meja.

Hadid mempersilakan Ailyn untuk menginap sekaligus tidur di kamarnya. lagi pula, dia dan wanita itu sudah bersahabat sejak lama. Tak akan terjadi apa-apa.

“Terima kasih banyak. Untung aku punya sahabat yang masih jomblo sepertimu, jadi bisa menginap. Hehe.”

Hadid hanya berdecak, membiarkan Ailyn beranjak menuju ke kamar yang memang hanya ada satu kamar, sisanya dapur dan kamar mandi.

“Bagaimana kalau ... Om Alex itu mencariku? Dia pasti tidak akan tinggal diam.” Hadid mulai cemas.

Seketika Ailyn urung membuka pintu kamar. Ditolehnya Hadid yang kini sama-sama cemas sepertinya.

“Aku ... belum memikirkan itu.” Ailyn tersenyum masam, tak pernah berpikir apa yang Hadid katakan. Pria itu mengeluh, meminta Ailyn ikut memikirkannya. Ailyn hanya mengangguk, memasuki kamar.***

Keesokan harinya, Ailyn pulang ke rumah. Ia ragu kala semakin mendekat. Yakin sekali Mohan akan marah, kalau sampai Alex mengadu.

“Apa pun yang terjadi, aku akan marah lebih dulu. Enak saja Ayah sembarangan menjual putri tunggalnya.” Ailyn menyentuh gagang pintu, berniat membuka.

Namun, pintu lebih dulu dibuka. Tentu saja Ailyn kaget. Ia mundur selangkah, meringis mendapati Mohan keluar.

“A-Ayah,” lirihnya.

Mohan bergeming. Ia menatap Ailyn dengan tatapan membunuh. Mendapati wajah ayahnya lebam, Ailyn sudah pun dapat menduga telah terjadi sesuatu.

“Ayah, A-Ailyn—“

“Masuk!” Mohan langsung menarik tangannya memasuki rumah. Sebelum menutup pintu, ia memerhatikan sekeliling, takut ada yang melihat.

“Beraninya kau membuat Tuan Alex marah!” Mohan mencengkeram erat pundak anaknya sambil melotot.

“Dia kurang ajar. Kalau Ailyn tidak antisipasi, dia pasti sudah melecehkan Ailyn,” belanya.

“Bukankah Ayah sudah memintamu untuk setuju menikah? Kenapa kau keras kepala? Lihat apa yang terjadi?”

Mohan mendorongnya hingga tersungkur. Kalau saja Ailyn tak sukar diatur, tentu rencananya akan berhasil. Uang hasil menjual anaknya sudah habis untuk judi, dan dia butuh uang lagi.

“Harusnya, Ailyn yang marah. Tega sekali Ayah menjual anak sendiri pada mafia seperti dia!” Ailyn mulai mendapat keberanian untuk bicara.

“Hanya ini cara agar kita bertahan hidup, Bodoh! Kau pikir uang hasil jual buah cukup untuk memenuhi kebutuhan?”

Ailyn berusaha berdiri. Meskipun tahu hasil jual buah tak seberapa, tapi setidaknya halal dan tak harus menempuh jalan seperti ini yang lebih resiko.

“500 juta bukan uang sedikit, Ayah. Ke mana uang itu? Jangan bilang Ayah main judi lagi.” Ada rasa curiga tercipta.

Perubahan wajah Mohan sudah pun menjawab apa yang tadi anaknya tanyakan. Kebiasaan lama itu ternyata belum berubah.

“Sudah! Jangan berani menentang Ayah. Kau harus meminta maaf dan mengikuti keinginannya!”

“Tapi, Ayah—“

“Kau mulai membangkang! Ini adalah keputusan Ayah yang tak bisa diganggu gugat!” Mohan menunjuk wajah Ailyn yang memucat.

“Kau yang menciptakan masalah ini, bukan Ayah. Jadi, kau juga yang harus menanggung akibatnya!" Bergegas pria itu pergi meninggalkan Ailyn yang terkulai lemas memikirkan nasibnya.

Keluar dari masalah semalam, dia malah dihadapkan dengan masalah baru. Alex pasti akan datang dan membawanya lagi, apa pun alasannya.

Wanita itu menyeka bulir air mata yang kian deras. “Aku akan memikirkan cara untuk keluar dari masalah ini,” lirihnya.

Dibukanya jas milik Karan. Teringat itu, Ailyn merogoh saku dan mengeluarkan kartu nama berwarna biru itu. Di sana tertera nomor ponsel Karan. Buru-buru Ailyn memasuki kamar dan menyimpan nomor itu.

“Aku akan mengucapkan terima kasih,” ujarnya.

Setelah menekan tombol memanggil, Ailyn menunggu beberapa saat. Tak ada respon. Dicobanya berkali-kali tetap tak bisa, ia memutuskan mengirim pesan saja.

“Mungkin dia lelah. Kan dia bilang baru pulang dari luar negeri. Satu pesan saja sepertinya cukup.” Mulailah ia mengirimkan pesan.

[Hai, ini aku Ailyn. Besok aku akan mengembalikan jasnya. Ke mana aku harus pergi menemuimu?]

Pesan pun terkirim. Ailyn menggembungkan pipinya. Sesaat terdiam, akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan badan. Diambilnya handuk dari dalam lemari, lantas memasuki kamar mandi.

Sementara itu di hotel ....

Karan keluar dari kamar mandi. Ia langsung memeriksa ponsel. “Siapa ini?” Diperhatikan nomor baru yang berkali-kali menelepon.

“Oh, Ailyn. Wah, dia mengirim pesan.” Bibir Karan tersenyum sumringah. Tak menyangka ternyata Ailyn segera menghubunginya. Tanpa berpikir, ia mengirim balasan.

[Aku masih sibuk untuk beberapa hari. Nanti aku kabari.]

“Aku harus bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mama. Tak sabar ingin bertemu si sialan itu,” ungkapnya, meletakkan ponsel.

Setelah berdandan rapi dan sarapan, Karan langsung menuju ke rumah mamanya bersama para pengawal.

“Tuan Muda, Tuan Kusuma bertanya kapan Tuan akan pulang. Tadi beliau menelepon.” Pengawal menyampaikan pesan.

“Aku sengaja tak menjawab teleponnya. Bilang saja aku ke sana besok.” Karan merapikan dasi.

“Baik, Tuan,” jawab pengawal, enggan mengatakan hal lain yang juga dikatakan Tuan Kusuma.

Sepanjang perjalanan, Karan sibuk menatap ponsel membalas pesan dari Ailyn sampai tak sadar mobil berhenti.

“Tuan, sudah sampai,” kata sopir.

Karan terdiam, membiarkan pengawal membukakan pintu. Rumah yang sama, yang pernah ia kunjungi sebelum pergi ke Amerika ada di depan mata.

“Karan!” Seorang wanita paruh baya melambaikan tangan, berlari menuju ke arahnya.

“Mama!” Karan ikut berlari, langsung memeluk sang mama yang tampak bahagia menyambut kedatangannya.

“Mama sehat? Rindu sekali rasanya.” Karan melepaskan pelukan, menyentuh pipi mamanya sembari menyeka air matanya.

“Mama sehat. Rindu sekali, Karan. Kenapa kau tak pernah pulang? Kenapa tak menghubungi Mama sekali pun sampai kau kemarin pulang?”

“Karan ingin memberikan kejutan.” Diikutinya sang mama yang mengajaknya memasuki rumah. Meski enggan, ia terpaksa mengikuti.

“Kau sudah menemui Papamu?” tanya Marina-mama Karan.

“Belum. Nanti saja,” jawabnya, duduk di sofa.

Suasana rumah itu tak berubah. Masih dipenuhi ornamen senjata yang dipajang di dinding. Ciri khas seorang mafia.

“Mama buatkan minum, ya. Suruh pengawalmu masuk.” Marina tampak sangat baik dan ramah.

“Tidak usah repot-repot. Karan sebentar saja. Hanya ingin bertemu Mama.” Karan memerhatikan Marina yang mengambil jus dari lemari pendingin.

“Jangan buru-buru. Kita berbincang banyak hal dulu. Mama juga ingin mendengar ceritamu selama di Amerika.”

“Mama betah tinggal di ... sini sendiri?” tanyanya, takut menyinggung. Didekatinya Marina.

“Siapa bilang sendiri?” Marina menoleh, tersenyum.

“Mama! Aku pulang!” Suara anak kecil membuat Karan langsung menoleh. Ia kaget mendapati anak perempuan berlari menuju ke arahnya.

Marina memeluk anak kecil itu dan mengusap rambutnya. Ia tersentak kala anak itu menunjukkan bunga padanya.

“Dia ... siapa, Ma?” Karan tampak heran dengan kedekatan Marina dengan anak kecil itu.

“Adikmu,” jawab Marina. Sontak saja hal itu membuat wajah Karan berubah. Terkejut ia mendengarnya.

“Adik?” Dilihatnya si kecil yang tersenyum, memerlihatkan lesung pipi. Seketika jantungnya berdegup kencang. Benarkah yang ia dengar?****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status