Share

Pulang

last update Last Updated: 2023-10-29 13:07:04

“Ailyn! Apa yang terjadi? Bagaimana kencannya?” Seorang pria mengikuti Ailyn yang duduk tanpa permisi.

“Gatot! Gagal total! Si om brengsek itu malah membawaku ke hotel.” Ailyn melepaskan jas milik Karan, lalu meletakkannya di sofa.

“Sudah kuduga! Untung saja aku membuang obat tidur itu. Kalau tidak ... habis kau!” Pria itu duduk di depan Ailyn, menyodorkan botol air mineral.

Ternyata dia adalah pelayan restoran yang waktu itu melayani Ailyn. “Lalu, apa rencanamu sekarang?” tanyanya. Pria itu bernama Hadid.

“Aku boleh menginap di sini, tidak? Aku takut Ayah marah atau si Om Alex akan datang lagi.” Ailyn meminum air mineral sedikit, lalu meletakkannya di atas meja.

Hadid mempersilakan Ailyn untuk menginap sekaligus tidur di kamarnya. lagi pula, dia dan wanita itu sudah bersahabat sejak lama. Tak akan terjadi apa-apa.

“Terima kasih banyak. Untung aku punya sahabat yang masih jomblo sepertimu, jadi bisa menginap. Hehe.”

Hadid hanya berdecak, membiarkan Ailyn beranjak menuju ke kamar yang memang hanya ada satu kamar, sisanya dapur dan kamar mandi.

“Bagaimana kalau ... Om Alex itu mencariku? Dia pasti tidak akan tinggal diam.” Hadid mulai cemas.

Seketika Ailyn urung membuka pintu kamar. Ditolehnya Hadid yang kini sama-sama cemas sepertinya.

“Aku ... belum memikirkan itu.” Ailyn tersenyum masam, tak pernah berpikir apa yang Hadid katakan. Pria itu mengeluh, meminta Ailyn ikut memikirkannya. Ailyn hanya mengangguk, memasuki kamar.***

Keesokan harinya, Ailyn pulang ke rumah. Ia ragu kala semakin mendekat. Yakin sekali Mohan akan marah, kalau sampai Alex mengadu.

“Apa pun yang terjadi, aku akan marah lebih dulu. Enak saja Ayah sembarangan menjual putri tunggalnya.” Ailyn menyentuh gagang pintu, berniat membuka.

Namun, pintu lebih dulu dibuka. Tentu saja Ailyn kaget. Ia mundur selangkah, meringis mendapati Mohan keluar.

“A-Ayah,” lirihnya.

Mohan bergeming. Ia menatap Ailyn dengan tatapan membunuh. Mendapati wajah ayahnya lebam, Ailyn sudah pun dapat menduga telah terjadi sesuatu.

“Ayah, A-Ailyn—“

“Masuk!” Mohan langsung menarik tangannya memasuki rumah. Sebelum menutup pintu, ia memerhatikan sekeliling, takut ada yang melihat.

“Beraninya kau membuat Tuan Alex marah!” Mohan mencengkeram erat pundak anaknya sambil melotot.

“Dia kurang ajar. Kalau Ailyn tidak antisipasi, dia pasti sudah melecehkan Ailyn,” belanya.

“Bukankah Ayah sudah memintamu untuk setuju menikah? Kenapa kau keras kepala? Lihat apa yang terjadi?”

Mohan mendorongnya hingga tersungkur. Kalau saja Ailyn tak sukar diatur, tentu rencananya akan berhasil. Uang hasil menjual anaknya sudah habis untuk judi, dan dia butuh uang lagi.

“Harusnya, Ailyn yang marah. Tega sekali Ayah menjual anak sendiri pada mafia seperti dia!” Ailyn mulai mendapat keberanian untuk bicara.

“Hanya ini cara agar kita bertahan hidup, Bodoh! Kau pikir uang hasil jual buah cukup untuk memenuhi kebutuhan?”

Ailyn berusaha berdiri. Meskipun tahu hasil jual buah tak seberapa, tapi setidaknya halal dan tak harus menempuh jalan seperti ini yang lebih resiko.

“500 juta bukan uang sedikit, Ayah. Ke mana uang itu? Jangan bilang Ayah main judi lagi.” Ada rasa curiga tercipta.

Perubahan wajah Mohan sudah pun menjawab apa yang tadi anaknya tanyakan. Kebiasaan lama itu ternyata belum berubah.

“Sudah! Jangan berani menentang Ayah. Kau harus meminta maaf dan mengikuti keinginannya!”

“Tapi, Ayah—“

“Kau mulai membangkang! Ini adalah keputusan Ayah yang tak bisa diganggu gugat!” Mohan menunjuk wajah Ailyn yang memucat.

“Kau yang menciptakan masalah ini, bukan Ayah. Jadi, kau juga yang harus menanggung akibatnya!" Bergegas pria itu pergi meninggalkan Ailyn yang terkulai lemas memikirkan nasibnya.

Keluar dari masalah semalam, dia malah dihadapkan dengan masalah baru. Alex pasti akan datang dan membawanya lagi, apa pun alasannya.

Wanita itu menyeka bulir air mata yang kian deras. “Aku akan memikirkan cara untuk keluar dari masalah ini,” lirihnya.

Dibukanya jas milik Karan. Teringat itu, Ailyn merogoh saku dan mengeluarkan kartu nama berwarna biru itu. Di sana tertera nomor ponsel Karan. Buru-buru Ailyn memasuki kamar dan menyimpan nomor itu.

“Aku akan mengucapkan terima kasih,” ujarnya.

Setelah menekan tombol memanggil, Ailyn menunggu beberapa saat. Tak ada respon. Dicobanya berkali-kali tetap tak bisa, ia memutuskan mengirim pesan saja.

“Mungkin dia lelah. Kan dia bilang baru pulang dari luar negeri. Satu pesan saja sepertinya cukup.” Mulailah ia mengirimkan pesan.

[Hai, ini aku Ailyn. Besok aku akan mengembalikan jasnya. Ke mana aku harus pergi menemuimu?]

Pesan pun terkirim. Ailyn menggembungkan pipinya. Sesaat terdiam, akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan badan. Diambilnya handuk dari dalam lemari, lantas memasuki kamar mandi.

Sementara itu di hotel ....

Karan keluar dari kamar mandi. Ia langsung memeriksa ponsel. “Siapa ini?” Diperhatikan nomor baru yang berkali-kali menelepon.

“Oh, Ailyn. Wah, dia mengirim pesan.” Bibir Karan tersenyum sumringah. Tak menyangka ternyata Ailyn segera menghubunginya. Tanpa berpikir, ia mengirim balasan.

[Aku masih sibuk untuk beberapa hari. Nanti aku kabari.]

“Aku harus bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mama. Tak sabar ingin bertemu si sialan itu,” ungkapnya, meletakkan ponsel.

Setelah berdandan rapi dan sarapan, Karan langsung menuju ke rumah mamanya bersama para pengawal.

“Tuan Muda, Tuan Kusuma bertanya kapan Tuan akan pulang. Tadi beliau menelepon.” Pengawal menyampaikan pesan.

“Aku sengaja tak menjawab teleponnya. Bilang saja aku ke sana besok.” Karan merapikan dasi.

“Baik, Tuan,” jawab pengawal, enggan mengatakan hal lain yang juga dikatakan Tuan Kusuma.

Sepanjang perjalanan, Karan sibuk menatap ponsel membalas pesan dari Ailyn sampai tak sadar mobil berhenti.

“Tuan, sudah sampai,” kata sopir.

Karan terdiam, membiarkan pengawal membukakan pintu. Rumah yang sama, yang pernah ia kunjungi sebelum pergi ke Amerika ada di depan mata.

“Karan!” Seorang wanita paruh baya melambaikan tangan, berlari menuju ke arahnya.

“Mama!” Karan ikut berlari, langsung memeluk sang mama yang tampak bahagia menyambut kedatangannya.

“Mama sehat? Rindu sekali rasanya.” Karan melepaskan pelukan, menyentuh pipi mamanya sembari menyeka air matanya.

“Mama sehat. Rindu sekali, Karan. Kenapa kau tak pernah pulang? Kenapa tak menghubungi Mama sekali pun sampai kau kemarin pulang?”

“Karan ingin memberikan kejutan.” Diikutinya sang mama yang mengajaknya memasuki rumah. Meski enggan, ia terpaksa mengikuti.

“Kau sudah menemui Papamu?” tanya Marina-mama Karan.

“Belum. Nanti saja,” jawabnya, duduk di sofa.

Suasana rumah itu tak berubah. Masih dipenuhi ornamen senjata yang dipajang di dinding. Ciri khas seorang mafia.

“Mama buatkan minum, ya. Suruh pengawalmu masuk.” Marina tampak sangat baik dan ramah.

“Tidak usah repot-repot. Karan sebentar saja. Hanya ingin bertemu Mama.” Karan memerhatikan Marina yang mengambil jus dari lemari pendingin.

“Jangan buru-buru. Kita berbincang banyak hal dulu. Mama juga ingin mendengar ceritamu selama di Amerika.”

“Mama betah tinggal di ... sini sendiri?” tanyanya, takut menyinggung. Didekatinya Marina.

“Siapa bilang sendiri?” Marina menoleh, tersenyum.

“Mama! Aku pulang!” Suara anak kecil membuat Karan langsung menoleh. Ia kaget mendapati anak perempuan berlari menuju ke arahnya.

Marina memeluk anak kecil itu dan mengusap rambutnya. Ia tersentak kala anak itu menunjukkan bunga padanya.

“Dia ... siapa, Ma?” Karan tampak heran dengan kedekatan Marina dengan anak kecil itu.

“Adikmu,” jawab Marina. Sontak saja hal itu membuat wajah Karan berubah. Terkejut ia mendengarnya.

“Adik?” Dilihatnya si kecil yang tersenyum, memerlihatkan lesung pipi. Seketika jantungnya berdegup kencang. Benarkah yang ia dengar?****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijebak Om Mafia, Dinikahi CEO Muda    Penerus Keluarga (TAMAT)

    “Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama

  • Dijebak Om Mafia, Dinikahi CEO Muda    Acara Syukuran Tujuh Bulanan

    Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann

  • Dijebak Om Mafia, Dinikahi CEO Muda    Bayi Besar

    Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur

  • Dijebak Om Mafia, Dinikahi CEO Muda    Bersiaplah Untuk Direpotkan!

    Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam

  • Dijebak Om Mafia, Dinikahi CEO Muda    Dua Garis Merah

    Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.

  • Dijebak Om Mafia, Dinikahi CEO Muda    Tewasnya Sang Ketua Mafia

    Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status