Ailyn tak bisa memejamkan mata. Andai ditampung, air matanya sudah memenuhi ember besar. Lusa dia akan dinikahkan dengan orang yang tak diinginkan.
“Ayah jahat! Kenapa tega padaku? Ibu ... aku rindu ibu. Aku ingin menyusul ibu saja,” ujarnya, masih dengan isak tangis.Sembari menutup kepala dengan bantal, wanita itu membiarkan segala kesedihan menyatu. Mohan sudah dibutakan uang yang Alex janjikan.Drrr ... Drr ....Ailyn mengambil ponsel yang bergetar sejak tadi. Tenaganya bagai dikuras habis.“Hm?” Tanpa memeriksa siapa yang menelepon, diletakkannya benda itu di atas telinga.“Ay, kau baik-baik saja? Aku takut terjadi sesuatu padamu.” Suara Karan terdengar lirih, nyaris tak terdengar apa-apa.“Aku dikunci di kamar.” Ailyn menyeka air mata, mulai membetulkan posisi duduknya agar bersandar.“Aku ... sudah mengatakan pada Papa tentang rencanaku itu.” Karan yang hanya memakai kaos berwarna putih dan celaAilyn menoleh kala pintu dibuka. Mohan memasuki kamarnya sembari membawa nampan makanan. “Makanlah! Kau butuh tenaga untuk hidup,” ujarnya. Diletakkannya nampan di dekat Ailyn. Wanita itu tak menghiraukannya. Yang diperhatikan malah pintu yang dibuka. ‘’Kesempatan untuk kabur,' batinnya. Sayang, seolah dapat membaca apa yang terucap di hati Ailyn, Mohan langsung berkata, “Jangan berpikir untuk bisa kabur. Selangkah kakimu keluar dari kamar ini, maka nyawaku taruhannya!” “Bawa saja makanannya, aku tak lapar. Lebih baik kalau aku mati saja biar aku bertemu dengan Ibu,” katanya, menatap jendela. Sejak semalam ia berusaha membuka, tapi tak bisa. Mohan sudah menguncinya dari luar. Kalaupun bisa keluar, Indah akan siap mencegah. Tepat di belakang rumah Ailyn, berdekatan dengan dapur Indah. Akan mudah bagi wanita penggosip itu untuk ikut campur. “Heh! Kau pikir semudah itu bertemu orang yang sudah mati? Kau p
Alex berlari menaiki tangga. Tenaganya yang masih kuat dan tubuhnya yang sehat bugar, memudahkannya bergerak. “Kiran!” panggilnya, cukup lunak. Entah ke mana anaknya berlari, ia tak sempat melihatnya tadi. Takut sampai Kiran memberi tahu Marina, buru-buru ia memasuki kamar. “Kiran, Sayang.” Pandangannya memerhatikan seluruh isi kamar. Tampak Marina memeriksa koper suaminya. “Mas, kenapa kau menyiapkan koper sekarang? Bukannya kau ke Bangladesh lusa?” tanyanya. Alex menelan ludah, perlahan mendekati sang istri yang tampak bingung dan ingin mengetahui segera. “Begini, Sayang. Aku pikir, akan lebih baik kalau aku berangkat hari ini. Lagi pula, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di perjalanan, kan?” Alex mengelus punggung istrinya, mengecup pelan. Harus ekstra hati-hati dalam berbicara, atau semua akan berakhir fatal. “Untuk apa kau ke sana? Mengirim barang lagi? Bukannya kau sering menyuruh
Ailyn mengusap keringat. “Aku harus keluar. Jangan sampai mereka datang.” Dipukulkannya benda itu pada kaca jendela yang tak terlalu besar. Berukuran persegi. Cukup sulit memang, tapi ia berusaha. Tak peduli jika kacanya pecah dan Mohan marah, yang ia pikirkan hanya bagaimana cara lolos dari tempat itu. “Berhasil!” Ailyn berhasil menghancurkan kaca. Perlahan ia mengambil pecahan yang masih tertancap, lalu mengumpulkannya di sudut. Dengan menaiki wastafel yang agak licik, Ailyn berusaha keras untuk keluar. Meskipun tak terlalu tinggi, jatuh dari tempat itu lumayan sakit. Brakkk! Tubuh Ailyn mendarat di tumpukan kardus setelah melompat. Kakinya terkilir, tapi ia masih bisa berdiri. “Aku harus cepat pergi sebelum nenek peyot itu melihat.” Ailyn memerhatikan dapur Indah. Sepi. Berarti, aman baginya untuk kabur. “Suara apa itu?” Terdengar suara yang membuat Ailyn buru-buru memasang high heel, lantas berlari
“Ikuti mobil itu! Itu mobil Karan!” Alex menunjuk pada mobil di depannya yang melaju kencang. Dia yakin akan berhasil menangkap Ailyn dan Karan. “Bos, Nyonya menelepon,” kata Gandhi sembari menyetir. Ia melihat ponsel di kursi sebelah berdering. “Dia meneleponmu karena aku tak membawa ponsel. Sial! Gara-gara marah, aku melempar ponsel sembarangan.” Alex tampak geram. “Apa harus aku angkat?” tanyanya, melirik dari kaca spion. “Ya. Katakan ada rapat mendadak. Aku harus menangani sesuatu,” ucap Alex, memerhatikan mobil di depannya. Gandhi pun mengambil ponsel, lantas menjawab telepon Marina. “Halo, Nyonya.” “Kau di mana? Apa kau bersama Mas Alex?” Marina terdengar cemas saat suaminya pergi dengan marah. “Di jalan, Nyonya. Kami mendapat telepon penting. Ada barang selundupan yang ditahan polisi. Jadi, kami akan mengadakan rapat dengan anggota mafia,” tutur Gandhi. Terdengar Marina mengeluh. Dia ingin agar
Kusuma menuruni tangga sambil melihat-lihat keadaan rumah. Sepi sekali, pikirnya. “Farel, di mana Karan?” tanyanya. “Dia bilang ada urusan penting, Pa. Katanya sih, mau ngurus surat kontrak dengan PT Suedanis. Entah ya, kok belum pulang.” Farel pura-pura menatap arloji, semakin membuat Kusuma curiga. Pria paruh baya itu mengira saat ini Karan pasti menemui model itu. “Apa tadi ... model itu masuk kerja? Aku lupa untuk memperingatkan agar dia tidak mendekati Karan.” Kusuma berhenti di anak tangga terakhir. “Sepertinya tidak, Pa. Soalnya Geri bilang syuting ditunda sampai lusa.” Farel membuka kancing teratas bajunya. “Karan tidak bisa dihubungi. Apa dia ke rumah Marina? Ah, mungkin saja.” Langkah Kusuma yang sempat terhenti diteruskan. Tak peduli pada Farel yang memerhatikan punggung sang ayah tiri sampai Kusuma menghenyakkan tubuhnya ke sofa. “Pa, bagaimana kalau tiba-tiba Karan kawin lari? Kita harus memiki
Tengah malam, berteman guyuran hujan, Alex keluar dari mobil menuju ke rumah Ailyn. Dia hanya berdua dengan Gandhi. Tok tok tok! Pria itu mengusap dagu, menunggu pintu dibuka. “Iya, sebentar.” Mohan menjawab dari dalam. Sewaktu pintu dibuka, Mohan sudah dengan ancang-ancang akan marah. Melihat siapa yang datang, ia langsung berubah. “Tuan di sini? Apa Ailyn belum ketemu?” tanyanya, memerhatikan tubuh Alex yang basah. “Karan pasti menyembunyikannya.” Alex mengusap pundaknya yang basah. “Mari, masuk.” Mohan membuka pintu lebar-lebar, memberi jalan bagi kedua tamu untuk masuk dan duduk. “Tak ada waktu lagi. Terpaksa pernikahannya kita tunda dulu sampai aku pulang dari Bangladesh. Semua tak sesuai rencana.” Alex memerhatikan rumah sederhana itu. Baru kali ini dia bisa masuk dan duduk dengan sedikit santai. “Yaahhh ... mau bagaimana lagi? Aku sih, terserah Tuan saja. Apa tidak sebaiknya Tuan bawa
Ailyn memasuki perusahaan dengan senyum merekah. Rok selutut berwarna ungu dan kemeja putih membuat kulit putihnya semakin cerah. “Kau sudah datang?” Geri membuka kacamata, merenung tepat pada kaki Ailyn. “Kenapa jalanmu pincang?” Geri heran melihat Ailyn berjalan. Itu pun hanya mengenakan sandal jepit berwarna hitam. “Sedikit terluka, Mas. Eh, Tuan. Terkena pecahan kaca,” jawab Ailyn, ikut memerhatikan kaki. “Hidupmu dipenuhi masalah, ya? Waktu itu kepala, sekarang kaki. Ya sudah, kau ikut aku. Tadinya syuting ditunda, tapi tak apa-apalah.” Ailyn hanya tersenyum mengikuti. Rambutnya yang dikucir membuat wajah ovalnya kian terlihat jelas. Wanita itu mengikuti Geri memasuki ruang syuting. yang bernuansa putih dan dipenuhi deretan pakaian. “Hari ini kau syuting iklan parfum KizBlizt. Ini parfum lama yang diperbarui.” Geri menyerahkan parfum berukuran sedang pada Ailyn. "Apa aku harus ganti baju dan
Alex, Marina, juga Kiran sampai di Bangladesh dengan selamat. Pria itu memaksakan diri untuk terlihat bahagia di depan istrinya.“Papa, ini rumah siapa?” Kiran yang terus memeluk boneka, mengamati seluruh isi rumah minimalis itu.“Ini ... rumah teman Papa. Kita diizinkan menginap di sini selama yang kini mau,” jawab Alex, lantas mengajak keduanya menuju ke kamar.‘Huh! Ini harusnya menjadi rumahku dan Ailyn untuk bulan madu,' gerutu Alex. Rencana yang sudah sekian lama dirancang, terpaksa dikesampingkan.“Bagus sekali. Aku jadi ingin lebih lama tinggal di sini,” ucap Marina, meletakkan koper di sudut ruangan.“Kapan Gandhi dan yang lain menyusul? Mas serius kan, tidak menjual wanita atau anak-anak?” Marina meremas jemari.Membayangkan suaminya tega menjual manusia rasanya akan membuatnya tak sanggup berdiri dengan tegak.“Tentu tidak, Sayang. Aku masih punya hati nurani.” Alex mengelus kepala Marina yang su