Share

Lamaran

"Arman... Nadia..." Mama melihatku dan Arman bergantian.

"Bagaimana kalau kalian ... MENIKAH?"

*******

Aku tercekat. Sama sekali tak menyangka ini yang akan dikatakan Mama. Kulirik Arman. Dari matanya aku melihat, ia sama terkejutnya denganku.

Dijodohkan dengan Arman? Duh, aku tidak bisa membayangkan hidup dengan laki-laki yang dingin dan tidak banyak bicara. Akan seperti apa rumah tangga kami nanti. Apalagi dia adalah adik suamiku. Aneh saja rasanya.

Hening terjadi diantara kami beberapa detik. Aku lantas mencoba mencairkannya dengan tawa kecil.

“Haha ... Mama ada-ada saja. Nadia belum kepikiran Ma, soal menikah lagi.”

Mama menggeser posisi duduknya mendekati. “Kamu masih muda Nadia,” katanya sambil mengusap-usap punggungku. “Sah-sah saja mempunyai pendamping hidup lagi.”

“Kamu dan Arman kan sudah mengenal lama, keluarga kita juga sudah dekat, lebih enak, tidak perlu penyesuaian lagi,” sambung Mama.

“Iya tapi Ma ...” Aku dan Mama memang sangat dekat. Mama sudah kuanggap seperti Mama kandungku sendiri, tipikal mama mertua idaman para menantu. Begitupun dengan keluarga besar Mas Arya yang lain, tapi terkecuali dengan Arman. Bahkan kebersamaan kami selama empat tahun tak mampu membuat kami akrab layaknya kakak dan adik pada umumnya. 

“Sudah. Tak perlu dijawab sekarang. Tapi paling tidak, kamu dan Arman pertimbangkan permintaan Mama ini, ya.”

“Sebelum pulang, makan siang di sini dulu ya, Nadia. ” Mama beranjak, kemudian memanggil Rania yang masih asik bermain dengan Bi Inah di dekat kolam ikan.

******

Di mobil, saat perjalanan pulang aku menanti-nanti reaksi Arman, tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.

Aku melihat ke arahnya yang masih fokus menyetir, menerka-nerka apa yang kira-kira ada dalam pikiran mantan adik iparku ini. Aku tau Arman sulit menolak permintaan Mama. Dulu ia pernah dapat promosi naik jabatan dari kantor dengan syarat harus pindah ke kantor pusat di Jakarta. Tapi karena permintaan Mama, ia tidak mengambil kesempatan itu. Ya, Mama berat melepas Arman. Kata Mama beliau akan kesepian, apalagi jika nanti aku dan Mas Arya sudah pindah ke rumah kami sendiri.

“Man....” Tak sabar, aku mencoba membuka obrolan.

“Nanti kita cari cara ya, supaya kamu tetep bisa nikah sama Sheila,” kataku, seolah memahami kegundahan hatinya.

“Sok tau!” Jawaban ketusnya bikin aku kesal.

Setelah itu aku diam tak melanjutkan obrolan, takut sakit hati dengan jawabannya. Lantas, hening menemani perjalanan kami sampai ke rumah.

Rania tertidur ketika kami tiba di rumah. Arman menggendongnya turun dari mobil dan membaringkannya di sofa ruang tamu kemudian pamit pulang.

Aku merebahkan tubuh di sofa, melepaskan jilbab, meletakkan sekenanya di atas meja. Kupandangi Rania yang tidur nyenyak. Masih tak menyangka ia akan kehilangan papanya di usia sekecil ini. Aku tahu rasanya menjadi yatim. Ayahku, kakeknya Rania, meninggal dunia saat aku SMP kelas dua. Setelah itu ibu bekerja membanting tulang demi memenuhi kebutuhan kami. Membuat kue dan menitipkannya di warung tetangga. Juga membuka usaha jahit kecil-kecilan. Ibu ingin, aku, anaknya satu-satunya, bisa jadi sarjana.

Tiga bulan setelah aku menikah, saat mengandung Rania, aku menjadi yatim piatu. Ibu pergi menyusul Ayah. Yang kusyukuri, ibu sempat melihatku wisuda, menikah, bahkan masih sempat mengelus-elus calon cucunya di perutku.

Tapi kehilangan Ayah dan Ibu, beda rasanya dengan kehilangan Mas Arya. Ayah dan Ibu sakit cukup lama sebelum meninggal, sehingga aku sedikit banyak sudah menyiapkan hati untuk kehilangan. Sementara Mas Arya ... Pagi hari ia terlihat sehat ceria seperti biasa. Setelah sarapan nasi goreng buatanku, ia pamit berangkat kantor. Mencium keningku dan bercanda sebentar dengan Rania. Sore harinya aku mendengar kabar, Mas Arya kecelakaan.

Arman ada di samping Mas Arya, ketika aku, Mama, dan Rania, tiba di ICU rumah sakit, diantar tetangga sebelah rumah. Kulihat Arman membisik-bisikkan sesuatu di telinga Mas Arya, sambil menggenggam sebelah tangannya.

Mas Arya membuka mata beberapa saat setelah aku menangis sambil memanggil-manggil namanya, kemudian menghembuskan napas terakhirnya. Mataku kembali basah mengingat itu semua.

Aku tersadar dari lamunanku ketika sebuah pesan whats app masuk.

Dari Erna. 

[Hey ada lowker yang cocok nih buat kamu]

Ia mengirimkan sebuah link. Beberapa waktu lalu aku memang meminta Erna untuk mencerikan pekerjaan yang cocok buatku.

Aku membaca dalam hati informasi dari link yang diberikan Erna.

"Walk in Interview. Cafe Mentari membutuhkan marketing communication. Syarat, laki-laki atau perempuan, menguasai sosial media, punya pengalaman minimal setahun di bidang markom, belum menikah."

Aku berhenti membaca sampai di situ. Lalu membalas pesan Erna.

   [Apaan cocok, di persayaratan keempat aku auto gugur]

[Lho kan kamu emang belum menikah]

[Belum menikah lagi :D :D :D]

   [Sialan]

[Tau ngga cafe itu punya siapa?]

   [Punya siapa? Punya Bapakmu?]

[Punyanya Galang]

   [Galang siapa? Galang penjual gado-gado depan rumah kamu itu?]

[Ye ... itumah Tarjo. Galang artis, itu lo yang main sinetron Aroma Cinta.]

   [Ah ga kenal]

[Makanya sesekali nonton inpotainment kek, lambe murah kek, biar ga kudet. Masih punya fotokopian KTP kamu yang lama?]

   [Masih. Kenapa?]

[Aku ada ide!] 

Comments (4)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
lanjut 2, tambah penasaran
goodnovel comment avatar
Nila Elok
lanjut thoor
goodnovel comment avatar
Yanie Abdullah
di dalam ajaran agama islam memang sebaiknya jika seorang wanita di tinggal meninggal oleh suaminya dn meninggal kan anak , sebaiknya menikah dengan saudara laki laki si almarhum suami .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status