Share

Dijodohkan dengan Ipar Posesifku
Dijodohkan dengan Ipar Posesifku
Author: Rahmi Aziza

Menikah Lagi

Author: Rahmi Aziza
last update Last Updated: 2022-10-21 04:44:42

“Mama, kenapa Papa tidur di sana?” tanya Rania sambil menunjuk gundukan tanah dengan papan nisan bertuliskan Arya Wiratama Bin Sunaryo.

Aku menghela napas, kupandangi wajah Rania iba. Belum genap tiga tahun usianya dan harus menjadi yatim.

“Karena Allah sudah memanggil Papa Nak,” kataku sambil menabur sisa bunga yang masih kugenggam. Setelah suamiku meninggal, baru kali ini aku datang ke makamnya, saat masa iddahku selesai. Di daerahku, tak lazim wanita ikut datang ke prosesi pemakaman, sekalipun ke pemakaman suaminya sendiri. 

Rania masih memandangi makam Papanya, kupeluk ia erat. “Ran, kangen Papa?”

Rania mengangguk.

“Kalau begitu kita doakan Papa yuk, supaya baik-baik di dalam sana. Dan kita bisa ketemu Papa lagi nanti di surga.”

“Kita bisa ketemu Papa lagi?” tanyanya dengan mata berbinar.

“Bisa, dong! Yuk, kita berdoa!” kubimbing ia menengadahkan kedua tangan mungilnya.

“Robbighfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa robbaya nii shoghiiro....”

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Aku menengadah, menengok langit. Mendung, gelap sekali. Padahal waktu berangkat dari rumah Mama tadi, masih cerah.

Sejurus kemudian hujan turun. Langsung deras. Aku berusaha melindungi kepala Rania dengan tanganku. Sama sekali tak terpikir membawa payung tadi. 

“Ayo Ran kita pulang.” Buru-buru aku menggendong Rania. Kepalanya kudekap di dadaku.

Namun tiba-tiba saja hujan berhenti. Hah secepat itu? Aku menengok lagi ke langit. Payung? Siapa yang ....

“Pamaan!” teriak Rania begitu melihat Pamannya, Arman, datang dengan membawa dua buah payung. Satu payung terbuka di atas kepala kami, dan satunya masih terlipat rapi.

“Bukankah sudah kubilang, tunggu aku pulang!” katanya datar namun terdengar marah. Tidak terlalu kaget sih. Sehari-hari adik suamiku ini pembawaannya dingin, cenderung tidak bicara jika tak perlu. Selama hampir empat tahun aku menjadi kakak iparnya, kami hanya berbicara satu dua kalimat saja, seperlunya. Sebenarnya aku tipikal orang yang mudah akrab dengan orang lain, tapi melihat pembawaan Arman yang seperti ini aku jadi sungkan  mau mengajaknya ngobrol panjang lebar.

“Bukannya sudah kubilang juga, tak perlu repot menjemputku? Aku bisa pergi sendiri!" jawabku ketus. Ya aku tahu maksudnya baik, tapi lancang sekali dia, marah padaku, mantan kakak iparnya.

“Bagaimana kalau Rania sakit karena kehujanan? Ceroboh!” Arman membuka payung yang masih terlipat rapi, lalu menyerahkannya padaku.

“Ayo Ran, ikut Paman,” katanya lagi sembari mengambil alih Rania dari gendonganku.

Sampai di depan mobil, Arman menurunkan Rania, membuka pintu mobil, dan mempersilakanku masuk.

“Masuk!” Hem, lebih terdengar seperti memerintah. Tapi aku menurut saja. Malas berdebat dengannya.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Untung ada Rania yang mencairkan suasana. Sambil tetap fokus menyetir, Arman ikut bernyanyi bersama Rania dan selalu menanggapi ocehannya yang lucu. Aneh memang. Sedingin-dinginnya adik iparku ini, entah mengapa, jika bersama Rania, sifatnya bisa berubah 180 derajat.

“Hei kita mau ke mana?” tanyaku ketika menyadari Arman salah mengambil jalan. Jalan ini berlawanan arah dengan jalan menuju rumahku.

“Ke rumah Mama.”

“Tapi, baru sejam yang lalu kan aku berangkat dari rumah Mama ke makam. Aku juga sudah pamitan pada Mama. Kenapa-”

“Ada yang mau Mama sampaikan." Ia menukas cepat. "Setelah itu kuantar pulang," ucapnya datar, seperti biasa.

Ada yang mau disampaikan? Kenapa tiba-tiba? Apakah serius?

“Apa ..., Mama masih bersikeras mengajakku dan Rania tinggal di rumah?" Belakangan, Mama memang sering membahas tentang  ini. Mama selalu bilang, aku sudah dianggapnya sebagai anak, jadi meski Mas Arya telah tiada, Mama memintaku tetap tinggal. Apalagi ada Rania, cucu kandung yang sangat disayangi dan dimanjakannya.

“Atau ...." Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Oh iya, apa mungkin untuk membicarakan acara lamaranmu yang tertunda dengan Sheila?"

Sheila adalah teman kantor sekaligus calon istri Arman. Acara lamaran mereka seharusnya sudah dilakukan beberapa bulan lalu, tapi karena meninggalnya mas Arya, acara itu ditunda dan sampai sekarang belum dijadwalkan ulang.

"Aku sampai lupa belum menjahitkan kain seragam dari Mama. Ah coba kuhubungi tukang jahit langgananku dulu ya," ocehku sambil mengeluarkan ponsel dari tas.

Arman merebut ponselku dan memasukkan ke kantong kemejanya. "Sok tahu!"

"Sudah. Jangan bahas soal itu lagi!"

Aku menoleh ke arahnya, kepo, kenapa dia semarah itu. "Eh? Kalian lagi ada masalah? Atau ... mmm kena syndrom pra nikah ya?"

Tanpa menunggu jawabannya aku melanjutkan bicara, "Oh itu sih biasa, dulu aku sama mas Arya pas mau nikah juga sempet gitu, tiba-tiba adaa aja yang bikin ragu. Kita pernah-"

Belum selesai aku bicara, mobil tiba-tiba terhenti. 

"Hah ada apa? Kamu mau mampir ke minimarket?"

"Udah ngomongnya?" Arman bertanya tanpa sedikitpun melihat ke arahku.

"Dengar ya, aku lagi tidak ingin membahas tentang pernikahan. Titik."

Ish! Aku mendengkus kesal.

"Paman sama Mama kok berantem sih?" pertanyaan Rania yang polos dengan nada suaranya yang lucu bikin rasa kesalku mereda.

"Nggak berantem kok, Sayang."

"Pamanmu aja tuh kalo ngomong sukanya ngegas. Lembut dikit napa?" kataku lirih tapi aku yakin dia pasti dengar.

*********

Mobil menepi di depan rumah Mama. Mama tergopoh-gopoh keluar rumah. Meyambut aku dan Rania dengan raut muka bahagia, seperti biasa. 

“Rania ... cucu oma ....” Mama membentangkan tangannya begitu melihat Rania turun dari mobil.

Raniapun lari ke pelukan omanya.

“Assalamualaikum Ma ...” sapaku sambil mencium punggung tangan Mama.

Mama mencium pipi kanan kiriku. “Waalaikum salam, ayo masuk Nadia, Maaf ya, Mama suruh Arman bawa kamu ke sini lagi.”

Arman turun dari mobil dan langsung menghampiri kami. Ia menaikkan Rania ke bahunya. “Ayo Ran, kita kasih makan ikan di belakang."

“Yeaay!” Rania bersorak gembira.

“Lihat Nadia, Arman begitu sayang pada Rania,” kata Mama, sambil membimbingku masuk ke dalam rumah. Aku hanya tersenyum. Dari dulu, Arman yang kaku, yang pelit senyum dan kata-kata itu memang sangat dekat dengan Rania. Suka mengajaknya bercerita bahka tiap pulang dari luar kota pasti membawa oleh-oleh mainan atau makanan favorit Rania.

“Mama ingin bicara denganmu,” kata Mama ketika kami sama-sama sudah duduk di ruang tengah.

“Dan Arman ...” lanjutnya.

Bi Inah lalu menggantikan Arman menemani Rania.

“Mama memanggilku?” tanya Arman.

“Ya, Nadia, Arman, Mama ingin bicara.” Ucapan Mama kali ini terdengar tak biasa, serius dan sangat berhati-hati.

“Bagaimana, kalau kalian ...” Mama menatapku dan Arman bergantian.

“...MENIKAH?”

-Bersambung-

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Sekali baca langsung suka ceritanya...
goodnovel comment avatar
siti fauziah
wow...jadi penasaran nih
goodnovel comment avatar
Nila Elok
seru seru lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 12

    "Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 11

    Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 10

    "Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 9

    Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 8

    "Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 7

    "Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status