Aku tiba di mall pukul sepuluh pagi. Tepat ketika pintu mall dibuka aku masuk. Mungkin hari ini aku adalah pengunjung pertama mereka.
Secepat kilat aku masuk ke toko sepatu. Siang ini aku harus datang ke wawancara kerja, dan baru semalam tau kalau sepatu pantofelku yang sudah lama menganggur dan kusimpan rapi dalam dus, sudah tidak layak pakai lagi, bagian kulitnya banyak yang mengelupas.
Aku nekat juga melamar lowongan kerja yang diinfo Erna kemarin dengan menggunakan fotokopian KTP lamaku saat masih lajang.
“Kalau nanti kamu keterima kerja, tunggu beberapa saat sampai mereka tau kamu karyawan yang bisa diandalkan, saat itulah kamu bisa jujur dengan statusmu.” Begitu saran Erna kemarin melalui pesan whats app.
Awalnya aku enggan. Aku orang yang paling tidak bisa berbohong, tapi penasaran juga sih, setelah empat tahunan tidak bekerja kantoran, bisa tidak ya kira-kira aku lolos tes wawancara kerja. Disamping yaah butuh duitnya juga. Mau sampai kapan hanya hidup mengandalkan uang santunan kematian Mas Arya? Rania semakin besar, akan masuk sekolah, biaya yang dibutuhkan juga pasti semakin banyak. Akupun merasa tak nyaman jika terus menerus menerima pemberian dari Arman.
Setelah mendapatkan sepatu yang cocok, aku bergegas keluar mall. Ternyata hujan. Deras lagi. Pantasan, berulangkali mencoba order taksi online dari sebelum keluar mall tadi, tak ada yang nyangkut.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, siapa tau saja ada taksi lewat.
Ah itu dia, sebuah taksi berwana biru melaju. Di bagian atasnya lampu menyala, tanda taksi itu tak berpenumpang. Aku melambaikan tangan dan bergegas membuka pintu ketika taksi berhenti tepat di depanku. Tapi di saat bersamaan, seorang lelaki mengenakan jas casual dan bertopi hitam masuk dari sisi pintu yang lainnya.
“Lho?”
“Ehm, maaf, saya yang memberhentikan taksi ini.” Aku mencoba bicara sesopan mungkin, menyembunyikan rasa kesalku.
“Saya juga.” Si lelaki bertopi menjawab ketus, duduk dan menutup pintu taksi.
“Jalan Pak,” katanya lagi tanpa sedikitpun memperhatikanku yang masih terbengong-bengong dengan separo badan masuk ke dalam taksi.
“Eh tunggu-tunggu enak aja.” Aku mulai hilang kesabaran. Tapi rasanya sia-sia bicara sama laki-laki tak punya sopan santun ini.
“Pak, saya tanya, siapa yang memberhentikan taksi ini?” Aku memilih langsung bertanya pada sopir taksi.
“Aduuh kalian ini bikin ribut di taksi saya. Sebenarnya kalian mau ke mana sih?”
“Kota Lama,” jawabku dan si lelaki bertopi hampir berbarengan. Sedikit terkejut aku menoleh ke arahnya.
“Ini Galang, pemilik Kafe Mentari.”“Ha?”Jadi orang yang berseteru denganku di taksi tadi bosku? Aktor papan atas yang disebutkan Erna kemarin?Aku bengong sesaat, tapi berusaha bersikap sewajar mungkin. “Oh iya iyaaa Pak Galang, halo. " Kupaksakan diri untuk tersenyum padahal sebenarnya masih jengkel dengan kejadian tadi di taksi.Galang membuka topi yang sedari tadi dikenakannya. Membalas senyumku dengan sinis. Wajahnya terlihat sangat jelas kini. Ternyata tampan juga calon bosku ini. Sepintas mirip Dikta mantan personel Yovie dan Nuno saat masih berambut pendek belah tengah. Eh, kenapa aku jadi memuji dia, sih! “Baik, Nadia, pertanyaan pertama, kenapa kamu melamar kerja di sini?” tanya Pak Wira tiba-tiba yang membuatku gelagapan. Pikiranku masih menerawang, bertanya-tanya apakah insiden taksi tadi akan mempengaruhi penilaian Galang terhadapku. Bisa-bisa aku ditolak pada pandangan pertama.“Karena butuh duit Pak,” jawabku spontan. Duh jawaban macam apa ini? Bukan jawaban yang kur
Arman hanya mengantarku sampai ke TK dan Daycare Mutiara, tempat aku menitipkan Rania, lalu pulang. Sengaja kusuruh dia pulang selain karena sebal dengan percakapan di mobil tadi, aku juga ingin curhat-curhat dulu dengan Erna. Lagipula jarak TK tak terlalu jauh dari rumahku, hanya lima menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Beruntung bagiku, sehingga aku bisa menitipkan Rania jika ada keperluan. Apalagi Erna itu kawan baikku sejak SMA.Oh iya, TK ini milik ibunya Erna. Selepas SMU, Erna mengikuti pendidikan guru TK kemudian ikut mengajar dan membantu ibunya mengelola TK ini.“Nad, gimana wawancara kerjanya tadi?” tanya Erna antusias, matanya berbinar-binar, senyum merekah di wajahnya.“Langsung aja tanya, gimana tadi Galang? Nggak usah sok peduli gitu deh!" kataku sambil membukakan bungkus eskrim untuk Rania. Erna termasuk penggemar sinetron dan drama Korea. Dia sering heboh ngobrolin aktor ini dan itu, yang aku tak begitu paham itu siapa. Aku yakin, pasti dia juga salah satu penggema
“Jangan bicara kasar di depan anak kecil." Dia berkata lebih lembut kini, tapi menyebalkan, kesannya kok, jadi aku yang antagonis! Berusaha sabar, kutarik napas panjang. Mau marah, tapi kurasa waktunya memang tidak tepat. Aku tak mau Rania melihat kami tak akur sebagai keluarga. "Oke. Tapi kita mau ke mana?" Arman memandangku, diam beberapa detik, lalu bilang, “Aku yang tanya ke kamu, mau ke mana? Aku antar.”Aku menatapnya takjub. Tumben. Ah, pasti Mama yang suruh. Mama gigih sekali ingin menjodohkanku dengan Arman.“Aku mau ke reuni SMA. Yakin mau nganter?”Setahuku Arman bukan orang yang suka dengan reuni. Setiap kali diundang reuni ia tidak pernah mau datang. Bahkan ia juga enggan masuk ke grup WA sekolah.Aku dan Arman satu SMA dan satu angkatan hanya beda kelas. Lucunya, aku baru tahu saat hendak menikah dengan Mas Arya. Padahal kata Erna, Arman ini cukup populer di sekolah, lho. Banyak yang mengidolakan, ya maklum dia kan termasuk anggota klub basket yang sering memenangkan b
Hari Senin, hari pertamaku masuk kerja. Grogi. Ini momen pertamaku bekerja lagi setelah tiga tahun lamanya tidak menyandang status sebagai pekerja kantoran. Ditambah harus bertemu lagi dengan Galang, setelah pertemuan tanpa sengaja tempo hari di acara reuni. Apa yang kira-kira akan dikatakannya nanti? Apakah ia akan menganggapku melakukan penipuan? Huh, entahlah. “Biar kutemani sampai ke dalam,” kata Arman sesampainya kami di Kafe Mentari. Nampaknya ia bisa membaca ekspresi tegang di wajahku. Di perjalanan pulang dari acara reuni kemarin, aku memang menceritakan semuanya. Perihal aku yang menggunakan kartu identitas lamaku untuk melamar kerja. Mau bagaimana lagi, ia sudah terlanjur melihat Galang bicara padaku dengan nada marah. “Jangan!! Kau pikir aku anak kecil harus dianter masuk segala,” cegahku. “Kalau bosmu marah, keluar saja, nanti akan kubantu mencari pekerjaan yang cocok buatmu.” “Heem.” Hanya itu jawabku. “Bahkan seharusnya, kamu tidak perlu bekerja, aku bisa menghidupi
“Kamu itu, BISA MOTRET NGGAK, SIH?!” serunya sambil membanting sendok garpu diatas meja. “Aduh Pak, tadi udah bagus lho, tinggal kurangi senyum dikiit aja. Biar nampak elegan, gitu loh.” “Kasih instruksi itu yang jelas, jangan sepotong-potong!” bentaknya. “Maaf, Pak.” Aku menunduk, pura-pura merasa bersalah, padahal sebenarnya jengkel setengah mati. Mentang-mentang bos, seenaknya bentak anak buah. Huh! Mungkin ia sadar, foto yang kubuat demi kemajuan kafenya juga, iapun lantas mengambil kembali sendok dan garpu lalu berpose seperti yang kupinta. Tak menyia-nyiakan kesempatan, akupun mengambil beberapa foto. Setelah nasi goreng, kuletakkan mie sapi lada hitam di mejanya, lalu spagheti, steak, sup iga, mashed potato, burger, roti bakar, dan aneka minuman. Kuminta ia berganti pose. Setelah duduk dengan menoleh ke kanan, kuminta ia duduk menghadap jendela, duduk sambil makan, berdiri, berjalan, kayang, koprol, eh nggak lah, bisa ngamuk dia nanti. “Sekarang bapak pakai kostum chef
Lonceng yang terpasang di pintu kafe berbunyi ketika aku sedang sibuk membuat konten untuk sosmed.Tak lama, seseorang mendorong pintu dari luar.Sesosok perempuan cantik, tinggi, modis, bak model berjalan masuk dengan anggun. Aku beranjak mendekatinya. Hmm apakah dia pikir kafe ini sudah buka?“Maaf mbak, kafe kami belum buka.” Aku tersenyum dengan kepala sedikit mendongak.Perempuan itu balas tersenyum tapi terlihat sinis.“Kamu nggak tahu siapa saya?” Ia membuka kaca mata hitam. Ampun deh, hari ini, nggak si bos, nggak tamu, kenapa judes semua ya.Siapa dia? Duuh, siapa, sih? Ibu negara? Menteri? Teman lama? Sepertinya familiar. Aku pernah lihat, tapi entah di mana. Lupa.“Maaf, Mbak mau bertemu siapa ya?" tanyaku akhirnya. Mungkin saja dia rekan bisnis Pak Wira. Kenapa aku baru kepikiran sekarang, ya.Perempuan itu masih tetap tersenyum sinis dengan mata memicing melihatku.Sesaat kemudian, secara mengagetkan tiba-tiba ia mendorong bahuku dengan kasar. Berjalan menerobos masuk ke
“Tunggu!” Suaranya terdengar tak asing. Akupun menoleh demi memastikan dugaanku “A.. Arman?!”Spontan aku turun dari mobil. Mau apa sih, dia?“Mau ke mana?” tanyanya dingin seperti biasa.“Aku.. emm.. ada urusan pekerjaan,” jawabku sedikit gugup. Aneh sebenarnya, jawabanku ini kenapa jadi seperti seorang yang ke-gap selingkuh oleh pacar, sih?“Sudah lewat jam kantor, Rania sudah menunggumu di rumah.”“Sudah-sudah, tenang saja, akan kuantar dia pulang,” sahut Galang menengahi ketegangan diantara kami.“Tidak usah. Aku yang akan mengantarnya pulang.” Arman berjalan mendahuluiku menuju mobilnya. Pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Galang.Aku menarik napas kesal lalu menoleh ke arah Galang. Ia hanya mengedikkan bahu. “Ikutlah bersama pacarmu.”“Dia bukan pacar saya, Pak!” kataku setengah berbisik.“Lalu?”Aku pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Galang. Kupikir-pikir, Arman memang sudah seperti pacar posesifku saja. Selalu mengatur aku harus begini, harus begitu dengan dalih
Sampai di rumah, aku teringat dengan selembar foto yang kutemukan terjatuh dari buku agenda Arman. Kupandangi lagi foto itu, mengingat-ingat kapan kira-kira foto itu diambil, saat kejadian apa, dan siapa yang memotretnya. Di foto itu aku tengah duduk di bangku panjang depan kelas. Tidak sendirian, ada Maya di sampingku. Nampaknya seseorang memotret kami dari lantai dua sekolah. Candid, karena aku maupun Maya sama-sama tidak melihat ke kamera. Kami sedang tersenyum menatap lurus ke depan. Entah apa yang kami lihat, aku lupa. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Panggilan whats app. Kulihat nama yang terpampang di layar. Maya. “Assalamualaikum May..” sapaku. “Waalaikum salam Nad, aku mau menagih janjimu kemarin,” kata Maya. “Hah? Janji apa?” Perasaan aku ngga pernah menjanjikan apa-apa deh ke Maya. “Itu tuh.. katanya kamu mau nyomblangin aku sama adik iparmu.” “Ihh siapa juga yang janji.” Maya memang selalu begitu, suka menyimpulkan sesuatu seenaknya sendiri. “Lagian aku kan bilang, dia t