Hari besar ini akhirnya datang juga. Hari pembukaan kafé kami yang pertama kalinya. Eh kafenya Galang. Kalau dia tahu aku menyebutnya dengan café kami, ntar dia pasti bakal komen sewot, “Sejak kapan kamu menaruh saham di café ini, hah?”Aku berangkat kantor dengan jantung bergemuruh. Lumayan deg-degan. Udah lama aku ngga berhadapan dengan banyak orang untuk urusan kerjaan.Apalagi kali ini aku harus membawa Rania turut serta. Duh ngga sanggup bayangin ekspresi Galang nanti melihat aku membawa Rania ke kantor.Hari ini omanya harus kontrol ke dokter diantar Arman, Bi Inah pulang kampung, sementara TK nya Erna Sabtu libur jadi aku tidak bisa menitipkan Rania di sana.“Memangnya Rania ngga apa-apa ikut kamu kerja?” tanya omanya di perjalanan mengantarku ke kafé.“Biar Rania ikut Mama. Nanti Mama didrop saja di rumah sakit. Arman bisa bawa Rania jalan-jalan ke mana .. gitu.”“Jangan. Arman harus mengantar Mama sampai ke ruangan dokter. Rania biar sama Nadia. Gapapa kok, Ma. Bos Nadia baik
“Astaghfirullahal'adzim, Rania, dimana?” Aku menoleh panik pada Galang.“Anak kamu?!” tanya Galang.“Iya.” Aku membalikkan badan menuju tempat di mana tadi aku meninggalkan Rania. Galang berjalan cepat mengikutiku.“Tadi dia di sana.” Aku menunjuk salah satu kursi kafé yang sekarang kosong.“Ceroboh!” Galang nampak kesal. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafé.Akupun melakukan hal yang sama. Tapi tak kudapati Rania di manapun.“Mungkin di luar,” kata Galang. Setengah berlari ia menuju teras kafé.“Coba tanya satpam,” katanya saat tak jua menemukan Rania di luar. Tiba-tiba…“Mama…” Aku menoleh. Rania sudah ada di gendongan Arman.Pfiuuuh, aku bernapas lega. Sekaligus tegang. Arman pasti memarahiku setelah ini. Lihat saja.“Sepertinya kamu sibuk, biar Rania kubawa pulang.” Arman menatap dingin ke arahku.“Ngg… nggak kok, tadi aku hanya mau mengambil foto sebentar. Jadi Rania kuminta duduk menunggu.” Aku mencoba membela diri.“Sudah-sudah… ajak anak kamu makan sekarang,” perin
“Hah saya Pak?”“Dia Bang?”Aku dan Galang bicara hampir berbarengan.“Iya, siapa lagi, pekerjaan Nadia tidak harus dikerjakan di kantor. Jadi hanya Nadia yang bisa saya mintai tolong. Lagipula saya lihat kalian sudah akrab kan?”“A-akrab?” tanyaku terbata. Akrab gimana?“Tenang saja, akan ada gaji khusus buat kamu selama mendampingi Galang. Gajimu di kafé ini juga utuh, tidak akan dipotong. Iya kan Galang?” Pak Wira menoleh pada Galang.Aku gusar, bingung mau jawab apa. Bukan itu masalahnya, sahutku dalam hati.“Bang, aku ngga setuju.” Galang berdiri dari tempatnya duduk.“Kenapa harus dia sih.” Ia mengacak rambutnya. “Cari yang lain saja. Aduuh dia ini ceroboh, bawel, ngeselin!"Kurang ajar si Galang
“Tunggu!” Suara Galang menghentikan langkahku.“Tak usah hubungi adikmu itu. Saya antar kamu pulang."“Ih, siapa sih yang menghubungi dia, lagi buka aplikasi ojol juga!” ucapku berbohong, daripada habis diledekkin Galang lagi.“Nggak usah ge-er,” kata Galang ketika langkahnya sudah sejajar denganku.“Bang Wira yang suruh. Katanya supaya kita bisa lebih mengenal,” sambungnya diikuti tawa kecil yang sinis. “Huh, ada-ada aja Bang Wira.”“Cuma berdua? Nggak sama Pak Parlan?” tanyaku karena tak melihat sopir kantor membersamai ya. “Tidak perlu. Saya bisa nyetir sendiri.” Dih sombong!“Ngga takut kesasar kaya kemaren Pak?” sindirku.Galang menghentikan langkahnya menatapku. “Kamu tahu kan, ada teknologi yang bernama Google Maps.”Aku menarik napas kesal. “Bapak juga tau kan, ada teknologi yang namanya alarm HP, ngapain pakai aisisten segala hanya untuk ngingetin jadwal. MANJA!” balasku.“Cerewet! Cepet masuk mobil!” bentaknya sembari memberi isyarat agar aku segera masuk ke mobil yang suda
“Jangan turun!” cegahku.“Kenapa?” tanya Galang, keningnya berkerut menatapku.“Saya harus bertemu orang tuamu, biar nanti kalau kamu macam-macam, saya tahu harus kemana?”“Macam-macam apa sih, Pak. Saya ngga minat macam-macam sama Bapak! Bapak ini artis, kalo tetangga tahu nanti malah bikin heboh!”Padahal alasan yang sebenarnya aku tak ingin Arman dan Mama tahu, siapa yang mengantarku pulang.“Udah, Bapak langsung balik ke kantor ya. Siapa tahu mobilnya mau dipakai sama Pak Wira.” Cepat-cepat aku memasangkan kembali sabuk pengaman Galang sampai bunyi klik, lalu keluar dari mobil.Baru mau membuka pagar, tiba-tiba ibu dengan motor matik berhenti di depanku. Bu Bejo. Ugh, untung aja Galang ngga jadi turun tadi.“Eh Bu Arya, baru pulang kerja Bu?”“Eh, hehehe iya Bu Bejo.”“Kerja di mana, Bu?”“Di kafé Mentari, Bu.”“Oh kafé baru itu ya. Kerja apa, Bu di sana? Yang nyatet-nyatet pesanan ya? Apa yang cuci piring?” Dih underestimate banget!“Markom, Bu. Marketing komunikasi.”“Marketing?
Pukul tiga lebih sedikit, selepas Ashar Arman menjemputku. Di mobil sudah ada Mama dan Bi Inah, rencananya mereka berdua plus Rania akan di drop di mall. Mama mau belanja sekalian ngajak Rania ke arena bermain yang ada di mall, katanya. Tapi kurasa sebenarnya Mama hanya cari alasan saja supaya aku dan Arman bisa pergi berdua. “Selesai jam berapa, Ma?” tanya Arman ketika mobil sudah menepi di depan pintu masuk mall. “Nggak usah dijemput. Mama naik taksi pulangnya. Jadi kalian santai aja, ya.” Mama lalu turun diikuti Rania dan Bi Inah. “Tapi jangan cepet-cepet pulang, kalian nggak bawa kunci kan?” Mama memamerkan kunci di tangannya sambil tersenyum penuh arti, sebelum menutup pintu mobil. Aku menghela napas pasrah. “Dah Mamaaa.” Rania melambaikan tangan sesaat sebelum mobil melaju. “Dadah… jangan rewel ya,” pesanku. “Maafkan Mamaku, ya.” Setelah beberapa saat lamanya hening di mobil, akhirnya Arman bicara. “Beliau M
“Dan?” Aku menatap Arman serius, tak sabar menunggu kata yang keluar selanjutnya.“Ya, itu. Itu tadi alasannya.” Pfiuuh, aku kecewa. Ternyata ia mau menikahiku hanya karena Mama dan Rania, kupikir ia akan bilang kalau ia juga menyayangiku. Ops, mikir apa aku ini, sih!Pramusaji datang membawa pesanan kami. Kami makan dalam hening. Ah, ingin rasanya ini cepat berlalu. Ketika kami sama-sama sudah menghabiskan makanan, aku bernapas lega, akhirnya bisa pulang juga. Tapi aku teringat, Mama yang memegang kunci. Kalau Mama belum pulang, masa aku mau nongkrong di teras rumah sama Arman, gimana kalo bu Bejo lewat? Kira-kira gosip apa yang akan menyebar di tetangga nantinya?“Baru pukul empat lebih sedikit.” Arman melihat jam tangannya.”Gimana kalau kita ke sekolah?” tanyanya.“SMA maksudmu?”Ia mengangguk.
“Ssst bolanya sudah aman padaku.” Aku membuka mata. Arman sudah di dekatku membawa bola. Rupanya dia yang menangkap bola itu.“Masukkan!” Ia mengangsurkan bola padaku sementara matanya melirik ke arah ring basket.Aku menggeleng, nggak mau, malu-maluin banget kalo nggak bisa masuk.Tapi teriakan dari anak-anak didik Aldo membuatku terpaksa melakukannya.“Ayo Kak … masuk.. masuk. Masuk.”Bismillah aku merapal doa dalam hati. Lalu, hup aku mulai melempar bola dan … masuk!!! Waah sebuah keajaiban!“Yeayy!” Aldo dan anak-anak didiknya riuh bertepuk tangan.“Good job!” Arman mengacungkan ibu jarinya. “Ayo pulang,” katanya sambil berjalan ke arah Aldo, berpamitan. Aku mengikutinya.Saat keluar dari gerbang hendak menuju mobil, aku melihat ada penjual leker langganan jaman SMA.“Tunggu, aku mau beli itu,” kataku pada Arman.“Oke aku tunggu di mobil.”“Pak Leker.” Aku menyapa bapak penjual leker dengan girang layaknya kawan dekat yang lama tak bertemu. Aku tak tahu namanya anak-anak hanya bi