Share

7. Desakan

Pagi ini, Ileana terlihat menata beberapa makanan yang baru selesai ia masak. Nisaka sudah duduk tenang di meja makan, menunggu Kakeknya yang masih bersiap di kamar. Ileana memberikan segelas susu pada Nisaka lalu menaruh nasi serta ayam goreng dan sayur di atas piring keponakannya itu. Bekal makan siang juga disiapkan untuk Nisaka. Ileana tidak ingin Nisaka jajan sembarangan di sekolah. Ia hanya ingin menjaga amanah dari mendiang Yoanna.

"Kamu mau Tante anterin ke sekolah?" tanya Ileana pada Nisaka.

Sambil mengunyah ayam goreng, Nisaka menjawab, "Mau, Tante. Tapi nanti Tante telat kerjanya. Nisa nggak mau Tante dimarahi sama atasan Tante."

Ileana tersenyum. Diusapnya rambut Nisaka yang sudah diikat rapi. Tidak terasa, keponakannya itu sudah beranjak remaja dan sudah mengerti bagaimana repotnya Ileana mengurus Nisaka serta pekerjaannya di perusahaan besar itu.

"Nggak masalah, Nisa. Tante juga khawatir kalau kamu pergi sendirian. Sekarang kan jaman penculikan," ujar Ileana tetap diiringi senyuman manis.

"Ya udah deh kalau Tante maksa," kelakar Nisaka.

Tak lama Ikhwan muncul dengan penampilan yang cukup rapi. Ileana dan Nisaka saling bertatapan, merasa heran dengan penampilan Ikhwan pagi ini. Ileana hendak bertanya, namun sudah didahului oleh Nisaka.

"Kakek mau kemana?"

Ikhwan duduk di kursi dan menjawab, "Mau nganterin kamu dong. Sekalian mau jumpa sama calon suaminya Tante kamu."

Ileana tersedak air putih saat Ikhwan berkata seperti itu. Ia langsung menatap Ikhwan. "Ayah, mau ngapain lagi sih? Kan aku udah bilang nggak mau dijodohin kayak gitu. Aku bisa kok cari sendiri. Nggak harus dijodohin."

"Udah deh, Ilea. Kamu tuh nurut aja apa kata Ayah. Jangan ngebantah. Ini juga demi kebaikan kamu," kata Ikhwan tidak mau kalah. "Kamu itu mau sampai kapan sendiri terus? Udah tua. Malu sama tetangga. Kamu udah dicap jadi perawan tua loh."

Ileana menghembuskan napas panjang. "Yah, udah berapa kali aku bilang. Jangan pernah tanggapi omongan tetangga. Ini hidup aku, bukan hidup mereka. Mereka nggak berhak suruh aku nikah cepat. Aku yang tentuin jalan hidup aku loh. Kenapa Ayah lebih percaya omongan orang dibanding anak sendiri?"

Nada bicara Ileana sudah mulai terdengar kesal. Memang ia begitu kesal jika Ikhwan terus membahas masalah pernikahan, sementara dirinya juga belum siap untuk menikah. Ia juga masih punya tanggungan yaitu Nisaka. Ileana sudah berjanji akan membuat Nisaka sukses dan mandiri. Tapi Ikhwan tidak mau mengerti ucapan Ileana. Selalu saja menanggapi ocehan para tetangga yang memang selalu ikut campur urusan keluarga Ileana.

Ikhwan yang kesal mendengar penolakan Ileana pun menggebrak meja, sehingga membuat Nisaka terkejut. Suasana tenang pagi ini berubah menjadi tegang. Nisaka bahkan menundukkan kepala saat melihat Ikhwan marah. Meskipun kemarahan itu tidak tertuju pada Nisaka.

"Kamu tuh kalau dibilangi orang tua nggak pernah mau nurut! Kamu nggak pernah dengar omongan tetangga! Setiap hari, Ayah yang dengar! Tapi kamu selalu keras kepala!" teriak Ikhwan.

"Yang keras kepala itu Ayah. Aku belum siap nikah. Titik." Ileana beranjak dari kursinya lalu mengajak Nisaka untuk segera berangkat ke sekolah. "Ayo, Nisa. Kita berangkat sekarang," ajaknya.

Nisaka hanya menurut dan mengikuti langkah Ileana sambil menggandeng tangannya. Sementara Ikhwan terus saja berteriak meminta Ileana untuk kembali.

"Anak kurang ajar kamu! Ayah belum selesai bicara, Ilea! Pokoknya nanti malam kamu harus ketemu sama calon suami kamu!"

Ileana mengabaikan teriakan Ikhwan. Para tetangga yang selalu ingin tahu masalah di keluarga Ileana pun mulai berkumpul sambil berbisik. Ileana tidak peduli. Ia terus saja jalan melewati kumpulan ibu-ibu yang terus menatapnya.

Ileana dan Nisaka duduk di halte yang kebetulan sepi pagi ini. Sambil menggenggam tangan Nisaka, Ileana menangis. Ia lelah menghadapi sang ayah yang setiap hari terus mendesaknya seperti itu. Nisaka juga memahami bagaimana perasaan Ileana.

"Tante yang sabar ya," ucap Nisaka dengan mata yang berkaca-kaca. "Nisa jadi sedih lihat Tante dimarahi kayak gitu sama Kakek. Kasihan Tante. Udah capek ngurusin Nisa sama kerjaan, eh Kakek malah kayak gitu sama Tante. Nisa jadi benci sama Kakek."

Ileana menghapus airmatanya lalu menatap Nisaka. Ia pun berucap, "Nisa, kamu nggak boleh benci sama Kakek ya. Kakek memang keras kepala. Dia kayak gitu karena sayang sama Tante. Takut Tante jauh dari jodoh. Nanti kalau udah reda emosinya, Kakek pasti baik lagi kok sama Tante."

"Tapi kan Kakek nggak bisa paksain Tante juga. Tiap hari Nisa dengar Kakek selalu ngomongin hal yang sama. Bosan dengarnya," ucap Nisaka jujur.

"Kamu nggak usah pikirin itu ya. Soal Kakek, biar Tante yang urus. Kamu fokus aja sama sekolah kamu biar jadi orang yang sukses dan bikin bangga mendiang Mama kamu. Ngerti?"

Nisaka mengangguk. "Ngerti, Tante."

"Ya udah, sekarang kita naik angkutan umum ya. Biar kamu Tante anterin sampai depan gerbang sekolah."

Nisaka pun ikut berdiri ketika Ileana mulai menghentikan salah satu angkutan umum yang melintas. Jarak sekolah Nisaka dari halte itu menempuh waktu sekitar 20 menit saja. Tidak terlalu jauh.

***

Beberapa menit kemudian, sampailah Ileana di depan perusahaan manufaktur yang menjadi tempat kerjanya selama ini. Ia tiba di perusahaan itu sekitar 30 menit setelah mengantarkan Nisaka ke sekolah. Saat memasuki area lobi, beberapa karyawan tampak melirik ke arah Ileana, terutama Tiara. Sebagian dari mereka ada yang sedang berbisik, namun Ileana berusaha mengabaikannya.

Fokus Ileana saat ini hanyalah bekerja dan dapat uang agar dirinya bisa menyekolahkan Nisaka sampai ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ia harus kembali menjadi Ileana yang cuek dalam segala hal. Ileana juga sudah bersumpah untuk mengabaikan Davie, meskipun itu mustahil ia lakukan. Tapi Ileana harus melakukannya demi nama baiknya.

"Loh, kok lo udah masuk, Ilea? Kan dikasih izin dua hari sama atasan," kata Jian saat Ileana baru masuk ke ruang engineering.

Ileana duduk di kursi yang berhadapan dengan Jian. Wajahnya terlihat masam. Pikirannya masih tertuju pada ucapan sang ayah. "Gue lagi males di rumah, Ji."

"Lah, kenapa?" tanya Jian mulai serius.

"Hhh! Ayah mau jodohin gue sama cowok pilihannya, Ji. Padahal gue udah bilang nggak mau. Tapi tetap aja dipaksa," kata Ileana dengan helaan napas lelahnya.

"Lagian lo sih, bukannya cari pacar kek biar nggak dijodohin mulu. Kalau lo punya pacar, otomatis Ayah lo nggak bakalan cariin jodoh buat lo. Percaya deh sama gue."

Ileana mendengus. "Males percaya sama lo. Musyrik."

"Ck! Dibilangin nggak percaya sih."

"Gue aja belum mau nikah, Ji. Apalagi pacaran. Ogah gue," ucap Ileana.

Jian menatap Ileana dengan serius. Pria itu tahu alasan Ileana tidak siap untuk menjalin hubungan. Tapi alasan itu tidak baik untuk masa depan Ileana nantinya. Tidak mungkin Ileana selamanya hidup sendirian. Ia juga pasti membutuhkan pendamping yang bisa menjaganya dengan baik sampai tua nanti.

"Ilea, menurut gue, alasan lo nggak mau pacaran ataupun nikah itu salah. Takdir orang itu beda-beda. Mungkin emang takdir Kakak lo kayak gitu. Meninggal karena dapet suami yang nggak baik. Tapi lo kan nggak tahu gimana jodoh lo nanti. Bisa aja jodoh lo lebih baik dan sayang sama lo. Bahkan mungkin sayang juga sama keluarga lo," nasehat Jian.

"Ji, gue ke kantor buat hilangin stres karena pembahasan ini. Jadi jangan lo tambahin lagi. Gue nggak minta pendapat lo. Gue cuma mau lo dengar curhatan gue. Itu aja."

Jian harus menghela napas lelah mendengar perkataan Ileana. "Terserah lo deh. Gue males nasehatin lagi. Capek. Batu banget lo jadi cewek."

"Emang sifat gue kayak gini dari dulu. Kalau nggak suka ya itu urusan lo. Bukan urusan gue," ucap Ileana lalu beranjak pergi untuk mengecek mesin produksi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Maria Madhury
kirain jian tuh cewek... ternyata cowok... uda ilea terima aja pak davie biar aman ga dijodoh²in lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status