Pagi ini, Ileana terlihat menata beberapa makanan yang baru selesai ia masak. Nisaka sudah duduk tenang di meja makan, menunggu Kakeknya yang masih bersiap di kamar. Ileana memberikan segelas susu pada Nisaka lalu menaruh nasi serta ayam goreng dan sayur di atas piring keponakannya itu. Bekal makan siang juga disiapkan untuk Nisaka. Ileana tidak ingin Nisaka jajan sembarangan di sekolah. Ia hanya ingin menjaga amanah dari mendiang Yoanna.
"Kamu mau Tante anterin ke sekolah?" tanya Ileana pada Nisaka.Sambil mengunyah ayam goreng, Nisaka menjawab, "Mau, Tante. Tapi nanti Tante telat kerjanya. Nisa nggak mau Tante dimarahi sama atasan Tante."Ileana tersenyum. Diusapnya rambut Nisaka yang sudah diikat rapi. Tidak terasa, keponakannya itu sudah beranjak remaja dan sudah mengerti bagaimana repotnya Ileana mengurus Nisaka serta pekerjaannya di perusahaan besar itu."Nggak masalah, Nisa. Tante juga khawatir kalau kamu pergi sendirian. Sekarang kan jaman penculikan," ujar Ileana tetap diiringi senyuman manis."Ya udah deh kalau Tante maksa," kelakar Nisaka.Tak lama Ikhwan muncul dengan penampilan yang cukup rapi. Ileana dan Nisaka saling bertatapan, merasa heran dengan penampilan Ikhwan pagi ini. Ileana hendak bertanya, namun sudah didahului oleh Nisaka."Kakek mau kemana?"Ikhwan duduk di kursi dan menjawab, "Mau nganterin kamu dong. Sekalian mau jumpa sama calon suaminya Tante kamu."Ileana tersedak air putih saat Ikhwan berkata seperti itu. Ia langsung menatap Ikhwan. "Ayah, mau ngapain lagi sih? Kan aku udah bilang nggak mau dijodohin kayak gitu. Aku bisa kok cari sendiri. Nggak harus dijodohin.""Udah deh, Ilea. Kamu tuh nurut aja apa kata Ayah. Jangan ngebantah. Ini juga demi kebaikan kamu," kata Ikhwan tidak mau kalah. "Kamu itu mau sampai kapan sendiri terus? Udah tua. Malu sama tetangga. Kamu udah dicap jadi perawan tua loh."Ileana menghembuskan napas panjang. "Yah, udah berapa kali aku bilang. Jangan pernah tanggapi omongan tetangga. Ini hidup aku, bukan hidup mereka. Mereka nggak berhak suruh aku nikah cepat. Aku yang tentuin jalan hidup aku loh. Kenapa Ayah lebih percaya omongan orang dibanding anak sendiri?"Nada bicara Ileana sudah mulai terdengar kesal. Memang ia begitu kesal jika Ikhwan terus membahas masalah pernikahan, sementara dirinya juga belum siap untuk menikah. Ia juga masih punya tanggungan yaitu Nisaka. Ileana sudah berjanji akan membuat Nisaka sukses dan mandiri. Tapi Ikhwan tidak mau mengerti ucapan Ileana. Selalu saja menanggapi ocehan para tetangga yang memang selalu ikut campur urusan keluarga Ileana.Ikhwan yang kesal mendengar penolakan Ileana pun menggebrak meja, sehingga membuat Nisaka terkejut. Suasana tenang pagi ini berubah menjadi tegang. Nisaka bahkan menundukkan kepala saat melihat Ikhwan marah. Meskipun kemarahan itu tidak tertuju pada Nisaka."Kamu tuh kalau dibilangi orang tua nggak pernah mau nurut! Kamu nggak pernah dengar omongan tetangga! Setiap hari, Ayah yang dengar! Tapi kamu selalu keras kepala!" teriak Ikhwan."Yang keras kepala itu Ayah. Aku belum siap nikah. Titik." Ileana beranjak dari kursinya lalu mengajak Nisaka untuk segera berangkat ke sekolah. "Ayo, Nisa. Kita berangkat sekarang," ajaknya.Nisaka hanya menurut dan mengikuti langkah Ileana sambil menggandeng tangannya. Sementara Ikhwan terus saja berteriak meminta Ileana untuk kembali."Anak kurang ajar kamu! Ayah belum selesai bicara, Ilea! Pokoknya nanti malam kamu harus ketemu sama calon suami kamu!"Ileana mengabaikan teriakan Ikhwan. Para tetangga yang selalu ingin tahu masalah di keluarga Ileana pun mulai berkumpul sambil berbisik. Ileana tidak peduli. Ia terus saja jalan melewati kumpulan ibu-ibu yang terus menatapnya.Ileana dan Nisaka duduk di halte yang kebetulan sepi pagi ini. Sambil menggenggam tangan Nisaka, Ileana menangis. Ia lelah menghadapi sang ayah yang setiap hari terus mendesaknya seperti itu. Nisaka juga memahami bagaimana perasaan Ileana."Tante yang sabar ya," ucap Nisaka dengan mata yang berkaca-kaca. "Nisa jadi sedih lihat Tante dimarahi kayak gitu sama Kakek. Kasihan Tante. Udah capek ngurusin Nisa sama kerjaan, eh Kakek malah kayak gitu sama Tante. Nisa jadi benci sama Kakek."Ileana menghapus airmatanya lalu menatap Nisaka. Ia pun berucap, "Nisa, kamu nggak boleh benci sama Kakek ya. Kakek memang keras kepala. Dia kayak gitu karena sayang sama Tante. Takut Tante jauh dari jodoh. Nanti kalau udah reda emosinya, Kakek pasti baik lagi kok sama Tante.""Tapi kan Kakek nggak bisa paksain Tante juga. Tiap hari Nisa dengar Kakek selalu ngomongin hal yang sama. Bosan dengarnya," ucap Nisaka jujur."Kamu nggak usah pikirin itu ya. Soal Kakek, biar Tante yang urus. Kamu fokus aja sama sekolah kamu biar jadi orang yang sukses dan bikin bangga mendiang Mama kamu. Ngerti?"Nisaka mengangguk. "Ngerti, Tante.""Ya udah, sekarang kita naik angkutan umum ya. Biar kamu Tante anterin sampai depan gerbang sekolah."Nisaka pun ikut berdiri ketika Ileana mulai menghentikan salah satu angkutan umum yang melintas. Jarak sekolah Nisaka dari halte itu menempuh waktu sekitar 20 menit saja. Tidak terlalu jauh.***Beberapa menit kemudian, sampailah Ileana di depan perusahaan manufaktur yang menjadi tempat kerjanya selama ini. Ia tiba di perusahaan itu sekitar 30 menit setelah mengantarkan Nisaka ke sekolah. Saat memasuki area lobi, beberapa karyawan tampak melirik ke arah Ileana, terutama Tiara. Sebagian dari mereka ada yang sedang berbisik, namun Ileana berusaha mengabaikannya.Fokus Ileana saat ini hanyalah bekerja dan dapat uang agar dirinya bisa menyekolahkan Nisaka sampai ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ia harus kembali menjadi Ileana yang cuek dalam segala hal. Ileana juga sudah bersumpah untuk mengabaikan Davie, meskipun itu mustahil ia lakukan. Tapi Ileana harus melakukannya demi nama baiknya."Loh, kok lo udah masuk, Ilea? Kan dikasih izin dua hari sama atasan," kata Jian saat Ileana baru masuk ke ruang engineering.Ileana duduk di kursi yang berhadapan dengan Jian. Wajahnya terlihat masam. Pikirannya masih tertuju pada ucapan sang ayah. "Gue lagi males di rumah, Ji.""Lah, kenapa?" tanya Jian mulai serius."Hhh! Ayah mau jodohin gue sama cowok pilihannya, Ji. Padahal gue udah bilang nggak mau. Tapi tetap aja dipaksa," kata Ileana dengan helaan napas lelahnya."Lagian lo sih, bukannya cari pacar kek biar nggak dijodohin mulu. Kalau lo punya pacar, otomatis Ayah lo nggak bakalan cariin jodoh buat lo. Percaya deh sama gue."Ileana mendengus. "Males percaya sama lo. Musyrik.""Ck! Dibilangin nggak percaya sih.""Gue aja belum mau nikah, Ji. Apalagi pacaran. Ogah gue," ucap Ileana.Jian menatap Ileana dengan serius. Pria itu tahu alasan Ileana tidak siap untuk menjalin hubungan. Tapi alasan itu tidak baik untuk masa depan Ileana nantinya. Tidak mungkin Ileana selamanya hidup sendirian. Ia juga pasti membutuhkan pendamping yang bisa menjaganya dengan baik sampai tua nanti."Ilea, menurut gue, alasan lo nggak mau pacaran ataupun nikah itu salah. Takdir orang itu beda-beda. Mungkin emang takdir Kakak lo kayak gitu. Meninggal karena dapet suami yang nggak baik. Tapi lo kan nggak tahu gimana jodoh lo nanti. Bisa aja jodoh lo lebih baik dan sayang sama lo. Bahkan mungkin sayang juga sama keluarga lo," nasehat Jian."Ji, gue ke kantor buat hilangin stres karena pembahasan ini. Jadi jangan lo tambahin lagi. Gue nggak minta pendapat lo. Gue cuma mau lo dengar curhatan gue. Itu aja."Jian harus menghela napas lelah mendengar perkataan Ileana. "Terserah lo deh. Gue males nasehatin lagi. Capek. Batu banget lo jadi cewek.""Emang sifat gue kayak gini dari dulu. Kalau nggak suka ya itu urusan lo. Bukan urusan gue," ucap Ileana lalu beranjak pergi untuk mengecek mesin produksi.20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan