Ileana izin pulang lebih cepat dari biasanya karena kepalanya terasa pusing. Cukup lama ia menangis di ruang engineering setelah rumor itu beredar. Bahkan Ileana tidak fokus pada pekerjaannya untuk kali ini. Untung saja, kepala ruang engineering memberinya izin untuk pulang lebih awal dan mengerti kondisi Ileana saat ini. Jian ditugaskan untuk mengantar Ileana pulang, namun wanita itu menolak dan tidak ingin merepotkan Jian. Jian pun tidak bisa memaksa. Hanya saja, Jian tetap mengantarkan Ileana sampai ke lobi kantor untuk menjaga Ileana dari cemoohan para karyawan di sana.
Saat melewati ruangan Davie, Ileana hanya melirik sekilas ketika pintu ruangan itu dibuka oleh seseorang dari dalam. Ileana mempercepat langkahnya dan Jian pun mengikuti langkah cepat wanita itu. Belum jauh Ileana melangkah, namanya sudah disebut dari arah belakang."Ilea, tunggu!"Ileana masih tetap melangkah, namun Jian menahan lengannya. "Ilea, nggak boleh gitu. Lo dipanggil sama Pak Davie," bisik Jian."Ileana."Suara Davie sudah dekat dan pria itu berada di samping kiri Ileana. Davie tersenyum ke arah Jian sebelum berbicara pada wanita yang enggan menoleh ke arahnya. Davie merasa, Ileana seperti itu karena rumor yang baru saja terjadi."Ilea, kamu mau kemana?" tanya Davie dengan tatapan hangatnya, meskipun tidak dibalas oleh Ileana."Pulang."Jawaban singkat itu sedikit mengiris hati Davie. Tapi ia tidak peduli. Davie harus bisa meyakinkan Ileana untuk tidak mendengarkan ucapan orang lain mengenai kedekatan mereka berdua. "Ilea, aku tahu, kamu pasti marah sama aku soal rumor itu, kan?"Ileana tidak menjawab. Ia hanya menggerakan tangannya dan terlipat di atas perut. Tatapannya masih lurus ke depan, tidak menoleh sedikitpun ke arah Davie.Jian yang melihat kecanggungan itu pun bingung harus berbuat apa. Sepertinya, ia harus meninggalkan mereka berdua agar lebih leluasa untuk berbicara. Mungkin kecanggungan ini karena ada dirinya di tengah mereka.Jian berdeham pelan. "Ehm, saya permisi dulu ya, Pak."Davie tersenyum ramah lalu mengangguk. Tapi Ileana langsung menoleh ke belakang dan menahan kepergian Jian dengan cepat. "Lo mau kemana? Katanya mau anterin gue pulang.""Tapi lo kan nggak mau dianter. Gimana sih?""Gue berubah pikiran. Ayo."Ileana menarik tangan Jian tanpa permisi pada Davie yang masih ada di sana. Dengan sigap, Davie menahan tangan Ileana. Tangan Jian otomatis terlepas dan pria itu menjadi saksi tatapan cinta yang ditunjukkan oleh Davie kepada Ileana."Aku yang bakal anterin kamu pulang," ucap Davie."Enggak usah.""Aku nggak suka penolakan."Seperti biasa, Davie akan berkata seperti itu jika Ileana menolak tawarannya. Davie sangat keras kepala jika sudah mencintai seseorang. Tak peduli dengan rumor baru yang nantinya akan beredar kembali di perusahaan itu. Davie hanya ingin bersama Ileana, apapun resikonya."Ilea, terima aja tawaran Pak Davie. Jangan tolak tawaran baik," kata Jian yang saat ini berada di kubu Davie.Ileana menatap Jian dengan tajam sambil menjawab, "Enggak.""Maaf ya, Pak Davie." Jian menyengir ke arah Davie yang saat ini menatapnya, "Emang batu banget nih anak, Pak."Davie tersenyum. "Iya, nggak masalah, Jian. Makasih karena udah dukung saya.""Oh, jadi kalian komplotan?" celetuk Ileana dengan nada tidak suka."Ck! Ilea, Pak Davie nggak salah. Justru dia marah tadi sama orang yang udah sebarin fitnah itu dan dikasih SP juga. Harusnya lo bilang makasih sama Pak Davie. Bukan marah-marah," nasehat Jian.Ileana menggeram kesal lalu membuang muka. Tangannya masih saja digenggam oleh Davie meskipun dirinya berusaha melepaskan genggaman itu. "Jian, kamu balik aja ke ruangan. Biar saya yang urus Ilea," ucap Davie."Baik, Pak."Jian beranjak pergi meninggalkan kedua manusia itu. Ileana masih berusaha melepaskan diri, namun tetap tidak bisa. Genggaman tangan Davie seakan mengeras ketika tangannya berusaha ingin melepaskan diri."Lepasin aku," pinta Ileana dengan tatapan tanpa ekspresi."Enggak. Aku nggak akan lepasin kamu," Davie menolak permintaan Ileana. "Maafin aku. Ini memang karena kesalahan aku. Tapi aku juga nggak tahu kenapa beritanya sampai separah ini."Ileana menutup mata sambil menghembuskan napas lelah. Kemudian ia berkata, "Asal kamu tahu, di kantor ini banyak yang naksir sama kamu. Wajar kalau mereka sebarin berita bodoh itu karena lihat kamu jalan sama aku. Jadi, tolong jauhi aku. Sampai sini paham? Atau perlu aku jelasin sekali lagi supaya kamu paham?""Aku paham maksud kamu. Tapi aku nggak bisa jauhi kamu, Ilea. Aku udah terlanjur cinta sama kamu," ucap Davie."Ya kalau gitu, buang rasa cinta kamu!"Suara Ileana terdengar meninggi. Ia tak pernah semarah ini pada Davie sebelumnya. Tujuan dia menjauh dari Davie hanya untuk menghindari rumor palsu itu. Ileana tidak ingin dicap sebagai karyawan yang genit pada atasannya, meskipun Davie yang mengejarnya.Penolakan itu tidak meruntuhkan pertahanan cinta Davie kepada Ileana. Ia justru menarik Ileana dan memeluknya dengan erat. Tidak peduli jika ada karyawan yang melihat adegan itu."Aku nggak bisa buang rasa itu, Ilea. Nggak akan pernah bisa," ucap Davie.Ileana hanya diam mematung. Hatinya menolak pelukan itu, namun tubuhnya tidak berusaha untuk menolak. "Aku udah bilang sama kamu. Kamu boleh tolak aku, tapi jangan suruh aku buat jauhi kamu atau buang rasa itu, Ilea. Aku nggak bisa," lanjut Davie lirih.Harusnya ini adegan termanis dalam dunia percintaan. Tapi entah kenapa, Ileana merasa semua itu hanyalah omong kosong belaka. Mana mungkin Davie akan bertahan untuknya dalam waktu yang lama. Lambat laun, pria itu akan bosan dan meninggalkannya. Sama halnya dengan suami mendiang Yoanna. Ileana tidak bisa percaya begitu saja.Ileana mencoba melepaskan pelukan Davie secara paksa. Untung saja pelukan itu bisa terlepas dengan mudah. "Aku minta, jauhi aku. Cari cewek lain yang lebih pantes buat kamu. Aku ini cuma cewek kotor dan bau oli. Nggak pantes punya pacar dari kalangan kelas atas kayak kamu. Jadi, tolong berhenti sampai di sini. Jangan usik hidup aku. Kita profesional aja. Permisi."Setelah berkata seperti itu, Ileana beranjak pergi dari hadapan Davie. Ia tidak menoleh ke belakang sedikitpun. Mungkin enggan melihat wajah sedih Davie.***Langit terlihat begitu cerah malam ini. Ileana duduk di teras rumah sambil memandangi langit. Wanita itu termenung saat mengingat ucapannya terhadap Davie sebelum pulang ke rumah. Ileana merasa bersalah, namun ia harus melakukan itu agar nama baiknya tetap terjaga meskipun rumor buruk sudah menimpanya.Ileana menghela napas sambil menunduk. Memainkan ujung kaos putihnya dengan pikiran yang melayang entah kemana. Panggilan sang ayah justru tak didengarkan. Sampai sang ayah harus menepuk pundak Ileana."Heh!"Sentakan mendadak itu membuat Ileana otomatis menoleh ke arah kiri. Ayahnya sudah duduk di kursi yang lain sambil meletakkan secangkir teh di atas meja. Pria paruh baya bernama Ikhwan itupun menatap Ileana."Kenapa kamu ngelamun gitu? Nggak baik ngelamun malem-malem. Entar kesambet setan loh," kata Ikhwan."Nggak kenapa-kenapa, Yah," jawab Ileana. "Ayah kok belum tidur?""Belum ngantuk. Panas banget di dalam."Ileana mengangguk lalu celingukan mencari keberadaan Nisaka, anak dari mendiang kakaknya. "Nisa mana, Yah?""Udah tidur dia. Tadi barusan Ayah lihat dia masuk ke kamar habis ngerjain tugas," jawab Ikhwan setelah meneguk sedikit tehnya."Oh."Ikhwan menatap Ileana cukup intens. "Ilea, kapan kamu mau nikah? Minimal ada pasangan dulu deh biar Ayah nggak malu sama tetangga. Mereka sering banget gosipin kamu.""Yah, nggak perlu ditanggapi omongan mereka. Yang jalani kita, bukan mereka. Mereka cuma bisa berargumen tentang hidup orang lain, tapi nggak bisa lihat kehidupan mereka sendiri. Jadi, jangan terpancing sama omongan orang kalau kita mau hidup tenang," kata Ileana yang tetap berusaha menenangkan Ikhwan."Hhh!" Ikhwan menghela napas. "Ya tapi Ayah kan udah tua, Ilea. Kapan lagi Ayah lihat kamu di pelaminan? Mumpung Ayah masih ada."Pembahasan ini yang selalu Ileana hindarkan. Setiap kali membahas ini, ujung-ujungnya mereka akan bertengkar. Ileana berusaha menghindari itu, namun Ikhwan tidak berhenti menanyakan hal yang sama setiap harinya. Ileana juga merasa bosan mendengar hal itu terus menerus."Yah, aku ngantuk, mau tidur. Aku masuk dulu," ucap Ileana dan beranjak pergi begitu saja.Pagi ini, Ileana terlihat menata beberapa makanan yang baru selesai ia masak. Nisaka sudah duduk tenang di meja makan, menunggu Kakeknya yang masih bersiap di kamar. Ileana memberikan segelas susu pada Nisaka lalu menaruh nasi serta ayam goreng dan sayur di atas piring keponakannya itu. Bekal makan siang juga disiapkan untuk Nisaka. Ileana tidak ingin Nisaka jajan sembarangan di sekolah. Ia hanya ingin menjaga amanah dari mendiang Yoanna."Kamu mau Tante anterin ke sekolah?" tanya Ileana pada Nisaka.Sambil mengunyah ayam goreng, Nisaka menjawab, "Mau, Tante. Tapi nanti Tante telat kerjanya. Nisa nggak mau Tante dimarahi sama atasan Tante."Ileana tersenyum. Diusapnya rambut Nisaka yang sudah diikat rapi. Tidak terasa, keponakannya itu sudah beranjak remaja dan sudah mengerti bagaimana repotnya Ileana mengurus Nisaka serta pekerjaannya di perusahaan besar itu."Nggak masalah, Nisa. Tante juga khawatir kalau kamu pergi sendirian. Sekarang kan jaman penculikan," ujar Ileana tetap diirin
Davie terlihat begitu lesu pagi ini. Wajah cerianya tidak terlihat sama sekali. Yang ada hanya wajah pucat saja. Dan semua perubahan itu dilihat jelas oleh Ileana yang kebetulan berpapasan dengan Davie. Ileana yang terbiasa melihat keceriaan Davie pun merasa aneh dengan perubahan itu. Ingin menyapa, namun Ileana terlalu gengsi.Ileana memutuskan untuk melewati pria itu. Tidak ingin bertanya apapun. Tapi tangannya ditahan dengan cepat oleh Davie. Ternyata Davie sudah menyadari kehadiran Ileana. Pria itu sangat menandai wangi parfum yang digunakan Ileana."Jangan pergi."Ileana menoleh dan menatap mata Davie yang terlihat sembab. Sejak tadi, ia tidak menyadari mata sembab itu. Ileana mulai menerka apa yang sedang terjadi pada Davie. Ia teringat akan ucapan kasarnya berapa hari yang lalu. Mungkinkah itu penyebabnya? Ileana juga belum yakin dengan dugaannya."Aku mohon, jangan pergi."Kini, Davie memeluk Ileana sambil menangis terisak. Ileana menjadi tidak tega pada Davie. "Aku antar ke r
Saat memasuki jam makan siang, Davie berencana akan makan di kantin. Pria itu berjalan dengan santai menuju kantin perusahaan. Davie menghampiri salah satu etalase penjual soto ayam. Ia memesan untuk satu porsi beserta minuman untuk dirinya sendiri. Sebelum ke kantin, Davie sempat mengirim pesan singkat pada Ileana dan mengajaknya makan siang bersama. Tapi sayang, wanita itu menolaknya. Davie mengerti maksud dari penolakan Ileana tadi. Ia juga tidak bisa memaksakan keinginannya.Sembari menunggu hidangan datang, Davie melihat ponselnya dan duduk di sudut kantin yang dekat dengan jendela. Ada beberapa pesan singkat dari teman-teman lamanya yang mengajaknya untuk ikut dalam acara reuni SMA. Selain melalui pesan singkat, pengumuman acara reuni itu juga ada di grup alumni SMAnya. Davie membaca satu per satu isi pesan yang ada dalam grup tersebut. Banyak yang menyetujui dan ikut berpartisipasi dalam acara reuni yang akan berlangsung minggu depan."Hhh!" Davie menghela napas berat. Hatinya
Pukul 20.00 malam, Davie tiba di halaman rumah Ileana sambil membawa martabak untuk calon mertuanya. Sebelum turun dari mobil, Davie memperbaiki bentuk rambut dan merapikan jaket hitam garis putih yang ada di tubuhnya. Setelah semuanya dipastikan rapi, barulah Davie turun dari mobil. Ia melangkah menuju teras rumah tersebut dengan penuh keyakinan. Berharap, Ileana akan terkejut dengan kehadirannya. Tapi sayangnya, yang terkejut bukanlah Ileana, melainkan Davie sendiri.Davie mendengar percakapan dua orang pria yang tengah membicarakan soal perjodohan Ileana dengan pria lain. Tentu hal itu membuat Davie syok. Merasa tidak terima jika wanita yang dicintainya menikah dengan pria lain. Davie tidak siap menerima itu semua.Davie terus mendengarkan percakapan itu, sampai tidak sadar ada Nisaka di dekatnya. Nisaka menepuk tangan Davie sebanyak dua kali. Seketika Davie terkejut dan hampir berteriak. Untungnya Nisaka langsung memberi isyarat pada Davie untuk tidak berisik. Nisaka menarik paksa
Setelah berbincang cukup lama dengan Ikhwan, Davie pun mohon izin untuk pulang karena hari sudah malam. Davie menyalami Ikhwan dengan sopan dan pamit. Ikhwan pun meminta Ileana untuk mengantarkan Davie sampai ke halaman rumah. Sementara Nisaka sudah terlelap di kamar sejak tadi. Davie melarang Ikhwan untuk membangunkan Nisaka karena kasihan jika harus mengganggu tidur gadis itu.Davie berjalan mendekati mobil, diikuti Ileana dari belakang. Ileana masih bersidekap sambil memasang wajah kesal. Apalagi setelah mendengar pembicaraan Davie dengan Ikhwan yang terbilang serius tentang hubungan pura-pura yang dikarang oleh Davie."Kamu tuh ngapain sih pakai ngaku jadi pacar aku?" tanya Ileana dengan nada kesal.Davie menatap Ileana dengan satu alis yang naik ke atas. Setelah itu, ia tersenyum. "Aku ngelakuin ini demi kamu.""Apa maksud kamu?Davie mengajak Ileana untuk duduk di kursi yang sempat ia duduki bersama Nisaka. Ileana hanya menurut dan tetap memasang wajah kesal. "Tadi waktu aku dat
Sepulang kerja, Davie benar-benar mengajak Ileana untuk berkunjung ke rumah Emma, sahabat baik Annisa. Davie masih ingat alamat rumah Emma. Mereka pergi ke rumah Emma membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari perusahaan milik Ayahnya Davie. Ditambah lagi jalanan yang cukup padat sore ini. Sehingga membuat mereka sempat terjebak cukup lama di jalan. Dan setelah terjebak selama kurang lebih 10 menit, akhirnya Davie dan Ileana bisa melanjutkan perjalanan.Setelah mobil berhenti di depan rumah Emma, Davie dan Ileana turun bersamaan. Suasana rumah Emma cukup sepi. Davie menjadi ragu untuk masuk. Mungkin saja Emma sedang tidak berada di rumah. Sudah lama sekali Davie tidak berkunjung ke rumah sahabat lama mendiang Ibunya itu.Davie berjalan lebih dulu memasuki pekarangan rumah Emma, sementara Ileana berjalan di belakang Davie. Pria itu mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali. Sampai akhirnya ada satu wanita paruh baya muncul dari balik pintu yang sedang terbuka itu."Halo, Tante," Davie m
Pukul sebelas malam, Davie masih belum bisa memejamkan mata. Ucapan Emma mengenai Ayahnya, Khairil Handaru, selalu terngiang di telinganya. Apa yang sebenarnya terjadi? Hal besar apa yang sedang disembunyikan oleh Khairil? Lalu, siapa wanita yang menjadi selingkuhan Khairil? Pertanyaan itu tentu saja terus berputar di kepala Davie.Berulang kali Davie mencoba memejamkan mata, namun tetap tidak bisa. Karena kesal tidak bisa tidur nyenyak, Davie memutuskan untuk pergi ke dapur. Ia berniat membuat susu cokelat hangat. Biasanya ia selalu melakukan itu saat dirinya tidak bisa tidur.Tapi, baru beberapa langkah Davie turun dari tangga, tak sengaja ia mendengar suara Khairil sedang mengobrol dengan seseorang. "Papa lagi ngomong sama siapa ya?"Davie melangkah pelan menuruni anak tangga. Ia mengintip sedikit dari balik sekat tembok yang mengarah ke ruang keluarga. Setelah mengintip, ternyata Khairil sedang menghubungi seseorang. Nada bicara Khairil juga terlalu intim dan sesekali pria itu ter
Davie masuk ke ruangan dengan wajah kusut. Ia bahkan mengabaikan beberapa sapaan dari para karyawan yang berpapasan di lobi. Davie benar-benar tidak bersemangat hari ini. Ia kesal pada sikap Khairil yang jauh berbeda dari sebelumnya. Baru kali ini Davie melihat karakter asli Khairil.Pria itu duduk di kursi kerja sambil menghela napas lelah. Ia mengusap wajahnya dengan kasar lalu beralih mengusap pipi yang sempat ditampar oleh Khairil."Aku nggak nyangka sama sikap Papa. Apa selama ini, Mama selalu nutupin keburukan Papa dari aku? Aku nggak bisa bayangin gimana tertekannya Mama ngelihat sikap Papa yang kayak gitu," gumamnya kesal.Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Davie melihat ke arah pintu dan meminta si pengetuk itu masuk ke dalam. Ternyata yang masuk adalah Ileana. Seketika amarah yang membuncah, mereda saat melihat wajah cantik Ileana.Davie berdiri dari kursinya dan menghampiri Ileana. "Kamu kok tumben mau ke ruangan aku tanpa disuruh?" tanyanya de