Share

6. Permintaan Maaf

Ileana izin pulang lebih cepat dari biasanya karena kepalanya terasa pusing. Cukup lama ia menangis di ruang engineering setelah rumor itu beredar. Bahkan Ileana tidak fokus pada pekerjaannya untuk kali ini. Untung saja, kepala ruang engineering memberinya izin untuk pulang lebih awal dan mengerti kondisi Ileana saat ini. Jian ditugaskan untuk mengantar Ileana pulang, namun wanita itu menolak dan tidak ingin merepotkan Jian. Jian pun tidak bisa memaksa. Hanya saja, Jian tetap mengantarkan Ileana sampai ke lobi kantor untuk menjaga Ileana dari cemoohan para karyawan di sana.

Saat melewati ruangan Davie, Ileana hanya melirik sekilas ketika pintu ruangan itu dibuka oleh seseorang dari dalam. Ileana mempercepat langkahnya dan Jian pun mengikuti langkah cepat wanita itu. Belum jauh Ileana melangkah, namanya sudah disebut dari arah belakang.

"Ilea, tunggu!"

Ileana masih tetap melangkah, namun Jian menahan lengannya. "Ilea, nggak boleh gitu. Lo dipanggil sama Pak Davie," bisik Jian.

"Ileana."

Suara Davie sudah dekat dan pria itu berada di samping kiri Ileana. Davie tersenyum ke arah Jian sebelum berbicara pada wanita yang enggan menoleh ke arahnya. Davie merasa, Ileana seperti itu karena rumor yang baru saja terjadi.

"Ilea, kamu mau kemana?" tanya Davie dengan tatapan hangatnya, meskipun tidak dibalas oleh Ileana.

"Pulang."

Jawaban singkat itu sedikit mengiris hati Davie. Tapi ia tidak peduli. Davie harus bisa meyakinkan Ileana untuk tidak mendengarkan ucapan orang lain mengenai kedekatan mereka berdua. "Ilea, aku tahu, kamu pasti marah sama aku soal rumor itu, kan?"

Ileana tidak menjawab. Ia hanya menggerakan tangannya dan terlipat di atas perut. Tatapannya masih lurus ke depan, tidak menoleh sedikitpun ke arah Davie.

Jian yang melihat kecanggungan itu pun bingung harus berbuat apa. Sepertinya, ia harus meninggalkan mereka berdua agar lebih leluasa untuk berbicara. Mungkin kecanggungan ini karena ada dirinya di tengah mereka.

Jian berdeham pelan. "Ehm, saya permisi dulu ya, Pak."

Davie tersenyum ramah lalu mengangguk. Tapi Ileana langsung menoleh ke belakang dan menahan kepergian Jian dengan cepat. "Lo mau kemana? Katanya mau anterin gue pulang."

"Tapi lo kan nggak mau dianter. Gimana sih?"

"Gue berubah pikiran. Ayo."

Ileana menarik tangan Jian tanpa permisi pada Davie yang masih ada di sana. Dengan sigap, Davie menahan tangan Ileana. Tangan Jian otomatis terlepas dan pria itu menjadi saksi tatapan cinta yang ditunjukkan oleh Davie kepada Ileana.

"Aku yang bakal anterin kamu pulang," ucap Davie.

"Enggak usah."

"Aku nggak suka penolakan."

Seperti biasa, Davie akan berkata seperti itu jika Ileana menolak tawarannya. Davie sangat keras kepala jika sudah mencintai seseorang. Tak peduli dengan rumor baru yang nantinya akan beredar kembali di perusahaan itu. Davie hanya ingin bersama Ileana, apapun resikonya.

"Ilea, terima aja tawaran Pak Davie. Jangan tolak tawaran baik," kata Jian yang saat ini berada di kubu Davie.

Ileana menatap Jian dengan tajam sambil menjawab, "Enggak."

"Maaf ya, Pak Davie." Jian menyengir ke arah Davie yang saat ini menatapnya, "Emang batu banget nih anak, Pak."

Davie tersenyum. "Iya, nggak masalah, Jian. Makasih karena udah dukung saya."

"Oh, jadi kalian komplotan?" celetuk Ileana dengan nada tidak suka.

"Ck! Ilea, Pak Davie nggak salah. Justru dia marah tadi sama orang yang udah sebarin fitnah itu dan dikasih SP juga. Harusnya lo bilang makasih sama Pak Davie. Bukan marah-marah," nasehat Jian.

Ileana menggeram kesal lalu membuang muka. Tangannya masih saja digenggam oleh Davie meskipun dirinya berusaha melepaskan genggaman itu. "Jian, kamu balik aja ke ruangan. Biar saya yang urus Ilea," ucap Davie.

"Baik, Pak."

Jian beranjak pergi meninggalkan kedua manusia itu. Ileana masih berusaha melepaskan diri, namun tetap tidak bisa. Genggaman tangan Davie seakan mengeras ketika tangannya berusaha ingin melepaskan diri.

"Lepasin aku," pinta Ileana dengan tatapan tanpa ekspresi.

"Enggak. Aku nggak akan lepasin kamu," Davie menolak permintaan Ileana. "Maafin aku. Ini memang karena kesalahan aku. Tapi aku juga nggak tahu kenapa beritanya sampai separah ini."

Ileana menutup mata sambil menghembuskan napas lelah. Kemudian ia berkata, "Asal kamu tahu, di kantor ini banyak yang naksir sama kamu. Wajar kalau mereka sebarin berita bodoh itu karena lihat kamu jalan sama aku. Jadi, tolong jauhi aku. Sampai sini paham? Atau perlu aku jelasin sekali lagi supaya kamu paham?"

"Aku paham maksud kamu. Tapi aku nggak bisa jauhi kamu, Ilea. Aku udah terlanjur cinta sama kamu," ucap Davie.

"Ya kalau gitu, buang rasa cinta kamu!"

Suara Ileana terdengar meninggi. Ia tak pernah semarah ini pada Davie sebelumnya. Tujuan dia menjauh dari Davie hanya untuk menghindari rumor palsu itu. Ileana tidak ingin dicap sebagai karyawan yang genit pada atasannya, meskipun Davie yang mengejarnya.

Penolakan itu tidak meruntuhkan pertahanan cinta Davie kepada Ileana. Ia justru menarik Ileana dan memeluknya dengan erat. Tidak peduli jika ada karyawan yang melihat adegan itu.

"Aku nggak bisa buang rasa itu, Ilea. Nggak akan pernah bisa," ucap Davie.

Ileana hanya diam mematung. Hatinya menolak pelukan itu, namun tubuhnya tidak berusaha untuk menolak. "Aku udah bilang sama kamu. Kamu boleh tolak aku, tapi jangan suruh aku buat jauhi kamu atau buang rasa itu, Ilea. Aku nggak bisa," lanjut Davie lirih.

Harusnya ini adegan termanis dalam dunia percintaan. Tapi entah kenapa, Ileana merasa semua itu hanyalah omong kosong belaka. Mana mungkin Davie akan bertahan untuknya dalam waktu yang lama. Lambat laun, pria itu akan bosan dan meninggalkannya. Sama halnya dengan suami mendiang Yoanna. Ileana tidak bisa percaya begitu saja.

Ileana mencoba melepaskan pelukan Davie secara paksa. Untung saja pelukan itu bisa terlepas dengan mudah. "Aku minta, jauhi aku. Cari cewek lain yang lebih pantes buat kamu. Aku ini cuma cewek kotor dan bau oli. Nggak pantes punya pacar dari kalangan kelas atas kayak kamu. Jadi, tolong berhenti sampai di sini. Jangan usik hidup aku. Kita profesional aja. Permisi."

Setelah berkata seperti itu, Ileana beranjak pergi dari hadapan Davie. Ia tidak menoleh ke belakang sedikitpun. Mungkin enggan melihat wajah sedih Davie.

***

Langit terlihat begitu cerah malam ini. Ileana duduk di teras rumah sambil memandangi langit. Wanita itu termenung saat mengingat ucapannya terhadap Davie sebelum pulang ke rumah. Ileana merasa bersalah, namun ia harus melakukan itu agar nama baiknya tetap terjaga meskipun rumor buruk sudah menimpanya.

Ileana menghela napas sambil menunduk. Memainkan ujung kaos putihnya dengan pikiran yang melayang entah kemana. Panggilan sang ayah justru tak didengarkan. Sampai sang ayah harus menepuk pundak Ileana.

"Heh!"

Sentakan mendadak itu membuat Ileana otomatis menoleh ke arah kiri. Ayahnya sudah duduk di kursi yang lain sambil meletakkan secangkir teh di atas meja. Pria paruh baya bernama Ikhwan itupun menatap Ileana.

"Kenapa kamu ngelamun gitu? Nggak baik ngelamun malem-malem. Entar kesambet setan loh," kata Ikhwan.

"Nggak kenapa-kenapa, Yah," jawab Ileana. "Ayah kok belum tidur?"

"Belum ngantuk. Panas banget di dalam."

Ileana mengangguk lalu celingukan mencari keberadaan Nisaka, anak dari mendiang kakaknya. "Nisa mana, Yah?"

"Udah tidur dia. Tadi barusan Ayah lihat dia masuk ke kamar habis ngerjain tugas," jawab Ikhwan setelah meneguk sedikit tehnya.

"Oh."

Ikhwan menatap Ileana cukup intens. "Ilea, kapan kamu mau nikah? Minimal ada pasangan dulu deh biar Ayah nggak malu sama tetangga. Mereka sering banget gosipin kamu."

"Yah, nggak perlu ditanggapi omongan mereka. Yang jalani kita, bukan mereka. Mereka cuma bisa berargumen tentang hidup orang lain, tapi nggak bisa lihat kehidupan mereka sendiri. Jadi, jangan terpancing sama omongan orang kalau kita mau hidup tenang," kata Ileana yang tetap berusaha menenangkan Ikhwan.

"Hhh!" Ikhwan menghela napas. "Ya tapi Ayah kan udah tua, Ilea. Kapan lagi Ayah lihat kamu di pelaminan? Mumpung Ayah masih ada."

Pembahasan ini yang selalu Ileana hindarkan. Setiap kali membahas ini, ujung-ujungnya mereka akan bertengkar. Ileana berusaha menghindari itu, namun Ikhwan tidak berhenti menanyakan hal yang sama setiap harinya. Ileana juga merasa bosan mendengar hal itu terus menerus.

"Yah, aku ngantuk, mau tidur. Aku masuk dulu," ucap Ileana dan beranjak pergi begitu saja.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Maria Madhury
gara² trauma sma hubungan kakaknya, ilea jdi gaberani untuk mencoba...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status