Share

8. Rasa Iba Ileana

Davie terlihat begitu lesu pagi ini. Wajah cerianya tidak terlihat sama sekali. Yang ada hanya wajah pucat saja. Dan semua perubahan itu dilihat jelas oleh Ileana yang kebetulan berpapasan dengan Davie. Ileana yang terbiasa melihat keceriaan Davie pun merasa aneh dengan perubahan itu. Ingin menyapa, namun Ileana terlalu gengsi.

Ileana memutuskan untuk melewati pria itu. Tidak ingin bertanya apapun. Tapi tangannya ditahan dengan cepat oleh Davie. Ternyata Davie sudah menyadari kehadiran Ileana. Pria itu sangat menandai wangi parfum yang digunakan Ileana.

"Jangan pergi."

Ileana menoleh dan menatap mata Davie yang terlihat sembab. Sejak tadi, ia tidak menyadari mata sembab itu. Ileana mulai menerka apa yang sedang terjadi pada Davie. Ia teringat akan ucapan kasarnya berapa hari yang lalu. Mungkinkah itu penyebabnya? Ileana juga belum yakin dengan dugaannya.

"Aku mohon, jangan pergi."

Kini, Davie memeluk Ileana sambil menangis terisak. Ileana menjadi tidak tega pada Davie. "Aku antar ke ruangan ya. Nggak enak dilihat orang."

Davie tidak menjawab ucapan Ileana. Ia hanya menurut saja saat Ileana melepas pelukannya dan membawanya ke dalam ruangan. Ileana menuntun Davie untuk duduk di sofa dan mengambilkan air minum yang tersedia di atas meja kerja Davie. Air itu diberikan kepada Davie dan hanya diminum sedikit.

"Makasih," ucap Davie lirih.

Ileana mengangguk. "Kamu kenapa? Ada masalah di rumah? Atau kamu tersinggung sama omongan aku waktu itu? Makanya sampai nangis kayak gini."

"Enggak. Kamu nggak salah."

"Terus, kamu nangis karena apa?" tanya Ileana lagi.

"Aku ingat sama mendiang Mama," jawab Davie. "Semalam, aku mimpi mendiang. Dia nangis dan minta tolong sama aku. Aku nggak tahu maksud dari mimpi itu. Tapi aku jadi teringat gimana kejadian yang menimpa mendiang."

Ileana hanya bisa diam. Ia memang tidak pernah mencari tahu dan tidak ingin tahu kehidupan orang lain, termasuk kehidupan Davie.

"Mendiang Mama meninggal karena dibunuh seseorang, Ilea. Waktu itu umur aku masih 17 tahun dan aku lagi nggak ada di rumah. Sampai sekarang, aku nggak tahu siapa pembunuhnya," lanjut Davie semakin menangis.

Ileana menutup mulutnya yang terbuka. Ia terkejut mendengar fakta itu. "Dibunuh? Tapi kenapa? Apa alasannya?"

"Aku juga nggak tahu. Aku masih berusaha selidiki kasus ini, Ilea. Kejadian itu selalu ada di pikiran aku. Nggak bisa aku lupain. Setiap pulang ke rumah, pasti selalu teringat gimana kondisi mendiang Mama waktu itu," ujar Davie.

"Ya ampun. Tega banget. Terus, gimana upaya polisi? Masih ngebantu kamu sampai sekarang?" tanya Ileana.

Davie pun mengangguk. "Masih, Ilea. Mereka masih bantuin aku sampai sekarang. Tapi, Papa aku minta kasus itu ditutup aja. Makanya aku sering banget berantem sama Papa karena masalah ini."

"Mungkin karena Pak Khairil udah ikhlasin kejadian itu. Makanya dia minta kasus itu ditutup," ucap Ileana.

"Tapi aku masih belum ikhlas, Ilea. Aku harus bisa cari pelakunya, walaupun nggak ada yang bantuin. Aku nggak masalah. Yang penting aku bisa lega dan mendiang Mama bisa tenang di alam sana."

Ileana pun mulai merasa kasihan pada pria itu. Ia teringat akan kejadian mendiang Yoanna. Ingatan tentang masa lalu itu kembali terputar. Wanita itu tahu bagaimana perasaan Davie, karena pernah ada di posisi yang sama. Hanya saja, Ileana tahu pelaku yang menyebabkan kakak kandungnya meninggal dunia. Berbeda dengan Davie yang sampai detik ini belum berhasil menemukan si pelaku.

"Ya udah, aku bakal bantuin kamu deh. Tapi janji jangan sedih lagi. Entar yang naksir pada kabur," kata Ileana bermaksud menghibur dengan caranya.

Davie pun tersenyum, meskipun hanya sedikit. Permintaan tolong Annisa masih terngiang di telinganya. "Makasih ya, Ilea. Kamu udah nggak marah sama aku soal waktu itu, kan?"

"Udah, lupain aja. Kita temenan aja. Tapi nggak usah terlalu dekat juga. Sebatas rekan kerja aja," ucap Ileana.

"Loh, kenapa?"

"Ya aku males aja entar dikatai lagi sama orang-orang di kantor ini. Mendingan tetap jaga jarak biar nama baik aku nggak tercemar lagi."

Davie menghela napas pelan. "Ya udah deh kalau emang itu keputusan kamu. Aku juga nggak bisa paksain kamu untuk suka atau dekat sama aku. Tapi soal bantuan itu beneran kan?"

"Ya iyalah. Masa bohongan."

"Sekali lagi makasih ya, Ilea," ucap Davie.

Ileana mengangguk. "Aku mau balik ke ruang produksi dulu."

"Oke. Semangat kerjanya."

Ileana memaksakan senyuman saat Davie memberinya ucapan semangat. Ia hanya merasa geli dan tidak terbiasa dengan hal semacam itu. Selama ini, tidak ada yang menyemangatinya, kecuali dirinya sendiri.

Ileana segera keluar dari ruangan itu agar tidak terjadi hal-hal lainnya lagi. Para wanita yang menyukai Davie pasti akan berpikiran buruk jika mengetahui Ileana berada dalam ruangan Davie. Ileana tidak mau itu terjadi lagi.

Saat masuk dalam ruang produksi, Ileana sedikit melamun dan hal itu diperhatikan oleh Jian. Pria itu menyenggol lengan Ileana sampai membuat Ileana tersentak kaget dan langsung menoleh ke arah Jian.

"Apaan sih lo?!"

Jian terkekeh kecil. "Maaf ya. Soalnya lo ngelamun."

"Ck! Ganggu aja," gerutu Ileana lalu mengambil buku catatan yang ada di atas bangku.

"Kalau boleh tahu, lo ngelamunin apaan sih? Sampai kaget gitu. Padahal gue nyenggolnya juga pelan."

Ileana memutar bola matanya. Jika Jian sudah bertanya, artinya Ileana wajib menjelaskan. Ia sangat malas menjelaskan apapun. Apalagi ini sifatnya sensitif. "Gue nggak bisa cerita, Ji. Soalnya ini pribadi dan sensitif. Lagian ini masalah orang lain, bukan masalah gue."

"Tumben amat lo ngurusin masalah orang? Kayak bukan Ilea yang gue kenal," ucap Jian heran sekaligus penasaran.

"Ck!" Ileana mendecak. "Udah deh, mending lo balik kerja lagi sana. Gue juga mau lanjutin kerjaan gue."

Jian menyerah dan akhirnya pergi dengan perasaan jengkel bercampur dengan rasa penasaran yang tinggi. Begitulah sifat asli Jian dan Ileana sudah memahami hal itu.

***

Siang hari, Ileana baru saja menyelesaikan tugasnya di ruang produksi. Ia bergegas ke toilet untuk mencuci tangan karena waktu makan siang sudah tiba. Jian dan yang lainnya sudah menunggu Ileana di ruangan lain.

Saat Ileana baru saja memasuki area toilet, ia tak sengaja berpapasan dengan Tiara. Wanita itu mendekati Ileana dan sengaja menyenggol lengannya. Tatapan Tiara juga sangat sinis pada Ileana.

"Kalau jalan pakai mata dong! Entar gue jatuh terus luka, lo mau tanggung jawab?!"

Mendengar ucapan Tiara, Ileana justru mengernyit heran. Ia merasa tidak menyenggol Tiara. Tapi Tiara yang sengaja menyenggolnya. "Perasaan gue nggak ada nyenggol lo deh. Kenapa jadi sewot?"

"Heh, pelakor! Nggak usah sok cantik lo ya. Udah jelas lo yang nyenggol duluan kok. Jangan mentang-mentang dekat sama Pak Davie, lo bisa seenaknya sama gue!" Tiara mendorong pundak Ileana dengan tangannya, seolah menantang Ileana untuk berkelahi dengannya.

Ileana mendecih sambil geleng kepala. Ia pun berkata dengan santai, "Yang lo maksud pelakor siapa? Jangan asal ngomong. Mending lo bersihin tuh mulut lancip lo, sebelum komentari orang lain. Mau gue dekat sama Pak Davie atau enggak, itu bukan urusan lo. Gue sama dia cuma sekedar rekan kerja."

"Dan satu hal lagi, jangan suka ikut campur sama urusan orang lain. Urusin dulu hidup lo. Gue tahu, lo yang udah sebarin berita bodoh itu di grup. Untung gue baik. Kalau enggak, mungkin udah gue laporin lo ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik," sambung Ileana sambil masuk ke dalam salah satu bilik yang ada di dalam toilet berukuran besar itu.

Sementara Tiara menggeram kesal karena tidak mampu mengimbangi segala ucapan yang terlontar dari bibir Ileana.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Maria Madhury
semoga ini jdi awal ilea bisa dkt sama davie...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status