“Apa?” Tubuh Lucia lemas diikuti tatapan kosong dan wajah memucat.
“Asistennya datang menemui ayahmu dan menyampaikan pesan kalau Dean tidak akan menikahimu,” kata Nyonya Helia. “Tidak hanya itu, dia juga batal memberikan dana ke perusahaan kita." Pandangan Lucia seperti berputar, perlahan buram, detik kemudian tubuhnya ambruk ke lantai. “Lucia ...!” Ibu Lucia beserta semua orang yang ada di dalam kamar tersebut berlari ke arah Lucia dengan panik. ******* Lucia terus menghubungi nomor telpon Dean. Namun, tidak pernah diangkat olehnya, begitu pun ponsel asisten pribadinya. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengangkat telponnya, padahal Lucia sudah menelponnya berkali-kali. Sudah dua hari ini Lucia mengurung diri kamar. Dia tidak berani keluar karena semenjak berita pernikahannya batal dan vidionya tersebar di internet, semua wartawan berkemah di depan rumahnya. Ketika Lucia masih mencoba untuk menelpon ponsel Dean, pintu kamarnya diketuk dari luar dan selanjutnya pintu terbuka. Ibunya datang dengan membawa nampan yang berisi makanan. Sudah dua hari ini Lucia tidak makan, dia hanya minum air putih dan jus, itu pun dipaksa oleh ibunya dengan berlinang air mata. Hanya dalam dua hari bobot tubuhnya langsung turun 3 kilo, stres menjadi faktor utama yang menyebabkan bobot tubuhnya berkurang dengan cepat. “Lucia,” panggil Nyonya Helia seraya mendekati anaknya yang sedang duduk di depan jendela kamar sambil memegang ponselnya. “Ibu bawakan makanan untukmu.” Ibu Lucia meletakkan nampan di atas meja, lalu berdiri di samping putrinya yang terlihat sangat menyedihkan. Bagaimana tidak, setelah pernikahannya gagal, Lucia terus mengurung diri di kamar, tidak mau makan, tidak mandi, tidak tidur, yang dia kerjakan hanya melamun dan memandang ke arah luar jendela dengan tatapan kosong. Tidak ada air mata sedikit pun yang keluar dari mata anaknya dan itu justru membuat Nyonya Helia semakin khawatir. “Aku tidak lapar, Bu.” Suara lirih Lucia yang terdengar serak membuat ibunya semakin sedih. “Kau bisa sakit nanti, Sayang. Jangan menyiksa dirimu sendiri.” Sebisa mungkin Nyonya Helia menahan buliran bening yang sudah menggenang di pelupuk matanya agar tidak jatuh saat melihat putrinya begitu terpukul dengan kejadian yang sudah menimpanya. Dia sangat sedih melihat masa depan putrinya hancur oleh pria yang sangat dia cintai. Ingin sekali dia membalas rasa sakit putrinya pada keluarga Anderson. Namun, dia tidak bisa melakukan itu, keluarga Anderson terlalu berkuasa. Keluarganya tidak akan bisa melawan karena dia tahu keluargannya akan kalah, jadi dia hanya bisa menerimanya. “Bu, apa Ibu tahu di mana Dean sekarang?” tanya Lucia sambil memutar tubuhnya ke hadapan ibunya. Wajahnya terlihat sangat tirus, matanya cekung, bibir terlihat pucat, dan area di bawah kelopak matanya menggelap. “Aku ingin menemuinya, Bu. Aku ingin meminta penjelasan padanya, kenapa dia membatalkan pernikahan kami.” Air mata yang sejak tadi ibunya tahan, kini lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. Ibunya langsung memeluk putrinya yang terlihat sangat rapuh saat ini. “Lupakan dia, Lucia. Dean sudah tidak menginginkanmu.” Ibunya menangis terisak sambil mendekap anaknya, sementara Lucia hanya diam dengan tatapan kosong. “Aku tidak bisa melupakannya, Bu. Aku sangat mencintai, Dean.” Bagaimana bisa dia melupakan Dean, apalagi setelah yang terjadi pada mereka malam itu. ****** Pukul 8 malam, Lucia keluar dari kamarnya, suasana di rumahnya nampak sepi, dia berjalan ke pintu, lalu masuk ke dalam mobilnya. Malam ini, dia berencana pergi ke kediaman Anderson untuk menemui Dean. Pada siang hari, dia tidak bisa pergi ke mana-mana karena saat ini keluarganya sedang menjadi pusat perhatian semua orang, juga banyak wartawan yang menanti di depan rumahnya. Beruntung malam ini, tidak ada satu pun wartawan di depan rumahnya setelah ibunya meminta bantuan polisi untuk mengusir semua wartawan itu, jadi dia bisa keluar dengan leluasa. Tiba di depan kediaman Anderson, mobil Lucia dihentikan oleh petugas yang berjaga di depan gerbang. “Maaf, Nona. Anda dilarang masuk ke dalam.” “Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar.” Ini pertama kalinya Lucia dihentikan oleh petugas yang berjaga di depan gerbang kediaman Anderson. Biasanya, jika sudah melihatnya, siapa pun pasti akan membiarkannya masuk ke dalam tanpa banyak bertanya. “Tuan Christian sedang tidak ada, Nona. Lebih baik Nona pulang.” “Dean ke mana?” “Tuan Christian belum pulang.” “Kalau begitu, aku akan menunggunya di sini.” Lucia tidak bisa kembali ke rumahnya tanpa bertemu dengan Dean. Malam ini, dia berniat meminta penjelasan padanya, kenapa pria itu tiba-tiba membatalkan pernikahan mereka berdua. Sebelumnya mereka berdua tidak memiliki masalah besar yang membuat pernikahan mereka menjadi batal, jadi Lucia ingin memperjelas semuanya. Lucia sudah menunggu selama tiga jam lamanya. Namun, mobil Dean belum juga terlihat. Dia semakin khawatir, akhirnya dia turun dari mobil, lalu menghampiri pria yang berjaga di dekat gerbang dan menanyakan kembali pada pria tersebut, apakah Dean akan kembali malam ini. "Tidak tahu, Nona. Tuan Christian sudah dua hari tidak pulang ke sini." Wajah Lucia seketika menjadi lesu. Sepertinya Dean tahu kalau dirinya akan mencarinya ke kediaman keluarga Anderson, jadi dia sengaja tidak pulang agar tidak bertemu dengannya. "Lebih baik Nona pulang. Kau bisa sakit jika terus berada di sini," ucap pria itu dengan wajah mengiba. Pria itu hanya takut terjadi apa-apa dengannya karena melihat wajah pucat Lucia, apalagi cuaca saat ini sangat dingin. Malam ini, baru saja turun salju, Lucia hanya mengenakan pakaian tipis dan itu membuat sekujur tubuhnya menjadi gemetar dan wajahnya terlihat sangat memerah. Meskipun sejak tadi Lucia menunggu di dalam mobil. Namun, tetap saja dia tidak mengenakan pakaian tebal, jadi dia akan lebih mudah jatuh sakit. "Aku akan menunggu sebentar lagi." Lucia kembali ke mobilnya, mengambil coat serta syal, lalu berdiri di dekat gerbang untuk menunggu kedatangan Dean. Satu jam berlalu dan tubuh Lucia sudah kaku. Wajahnya semakin pucat seputih salju, seolah tidak ada aliran darah yang mengalir di tubuhnya. Kaki mulai terasa kebas, bibir sudah mulai membeku, lima menit kemudian pandangannya menjadi buram dan selanjutnya berubah menjadi gelap dan tubuhnya pun secara tiba-tiba ambruk. ******* Ketika matanya terbuka, tatapan Lucia langsung tertuju pada langit-langit berwarna putih. Aroma khas desinfektan menyeruak masuk menusuk indra penciumannya. Di samping kanannya, terdapat tiang infus dan punggung tangannya terhubung dengan selang infus. Lucia segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu saat mendengar suara pintu yang dibuka. Dia melihat ibunya membawa bungkus makanan di tangannya. "Bu." "Kau sudah bangun?" Nyonya Helia bergegas menghampiri putrinya, lalu duduk di kursi yang berada di samping kanan ranjang Lucia. "Apa ada yang sakit?" tanya Nyonya Helia sambil mengelus rambut putrinya dengan lembut. "Apa kau merasa pusing?" Lucia menggelengkan kepalanya dengan lemah, kemudian menatap ke arah pintu yang tertutup. "Di mana ayah?" tanya Lucia dengan suara lemah. "Ayahmu masih di kantor. Semenjak vidiomu dan juga berita tentang batalnya pernikahanmu tersebar, perusahaan ayahmu mengalami banyak masalah." Tidak hanya harga saham perusahaan yang turun drastis. Namun, banyak kontrak kerjasama yang dibatalkan secara sepihak, bahkan perusahaan ayahnya harus mengganti rugi dengan jumlah yang sangat besar pada perusahaan yang merasa dirugikan akibat skandal yang menimpa putrinya. Terlebih lagi, sekarang tidak ada investor yang mau mengucurkan dana lagi perusahaan Hengli Corp. "Maafkan aku, Bu." Mata Lucia berkaca-kaca, ekspresi wajahnya terlihat sangat bersalah. Karena kesalahannya, ayahnya juga harus ikut menanggung akibatnya. "Sudahlah, menyesal juga sudah tidak ada gunanya." Nyonya Helia berkata dengan lembut, lalu meraih makanan yang ada di atas nakas yang dibawa oleh petugas rumah sakit sebelum Lucia sadar. "Makanlah, kau belum makan apapun sejak dua hari yang lalu." Setelah pingsan semalam, Lucia baru saja bangun pagi hari. Mungkin karena tidak tidur selama dua hari, jadi dia tidak terbangun hingga pagi hari. "Aku tidak lapar, Bu." Lucia mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Sekelabat bayangan yang familiar melintas dengan cepat yang terlihat melalui kaca bening yang berada di pintu. "Ada apa Lucia?" Ibunya mengikuti arah pandangan anaknya yang sejak tadi tidak beralih sama sekali. "Bu, sepertinya aku melihat ..." "Ada apa?" tanya Nyonya Helia ketika putrinya tidak kunjung melanjutkan ucapannya. "Sepertinya ada Dean di depan. Aku melihat bayangannya tadi." Nyonya Helia segera menoleh ke arah pintu, mengikuti arah pandang putrinya, tapi tidak melihat siapa pun di sana. "Aku ingin menemuinya." Saat Lucia akan turun dari ranjang, Nyonya Helia segera mencegah putrinya. "Biar Ibu yang melihat. Kau di sini saja." Nyonya Helia segera berjalan menuju pintu dengan terburu-buru dan ternyata tidak menemukan keberadaan Dean di sepanjang lorong ruangan rawap inap yang ada di lantai itu. Dia memutar kepalanya ke kanan dan tidak juga menemukan apa yang dia cari. Karena masih merasa penasaran, Nyonya Helia berjalan menelusuri koridor bangsal hingga tiba dekat lift, di mana meja perawat berada. Setelah memastikan tidak ada Dean di lantai tersebut, Nyonya Helia kembali ke kamar putrinya. "Bagaimana, Bu?" tanya Lucia penuh harap. Nyonya Helia menatap iba pada anaknya, lalu berkata dengan wajah lembut, "Lucia, Dean tidak mungkin datang ke sini, dia sudah tidak menginginkanmu lagi.""Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?" Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan, jadi terpaksa aku memundurkan penerbanganku." "Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu." Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?" "Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—" Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotong setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya." "Dean istrimu sedang ..." Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengk
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya. "Sedang dalam perjalanan, Tuan." "Lalu, Rebecca?" "Sudah di tempat yang Tuan perintahkan." Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu." Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu. "Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon. "Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak." Tidak terdengar apa pun di sebrang sana hingga Dean kembali membuka suara, "Kenapa? Sudah merindukan aku?" "Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya." Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa." "Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?" "Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana." Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat sen
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun. Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada. "Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong. Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit." Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar." "Kau masih memikirkan Bernice?” Lucia mengangguk deng
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin. "Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya. "Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia tampak mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis, padahal dulu dia tidak begitu. "Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya ka
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?" Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan sang suami. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya. "Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah." Bagaimanapun, mereka belum beristirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat setelah tiba di Bristol. Di hotel pun, bukannya membiarkan istrinya istirahat, Dean justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya merasa lelah. "Aku tidak mengantuk." Lucia sudah lama tidur di pesawat, jadi wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam. "Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak." Tidak? Dean nampak mengerutkan kening. Istrinya terlalu tanggguh atau staminanya
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?" Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?" "Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan, kemudian bangkit, tapi Dean langsung menahan pinggangnya. "Mau ke mana?" "Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh. "Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi Lucia. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah. Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya." "Hal penting apa?" Dean mera