Kedua bocah yang ada di taman rumah sakit saat ini mengingatkanku ketika aku dan Mas Bi masih kecil. Usia kami yang terpaut enam tahun membuat Mas Bi menyayangiku sebagai adik.
Perasaanku tumbuh perlahan kepadanya. Lebih tepatnya saat kami sudah mulai tumbuh remaja, aku menyukainya sedangkan dia menganggapku tak lebih dari sekedar adik. "Aku masih menganggap kembalinya diriku bagaikan mimpi." "Apa yang ingin semesta lakukan padaku?" Aku kira jika kembali ke masa lalu, aku bisa mengembalikan semua keadaan. Namun ternyata aku keliru, justru masalah semakin rumit saja. Aku dianggap pembunuh oleh Mas Bi dan menjadi istri kedua. "Hai melamun aja. Awas kesambet setan rumah sakit kamu," celetuk seorang pria yang baru datang dan langsung duduk di sebelahku. "Mas Wisnu? Bukannya Mas---?" Di ingatanku Mas Wisnu anak bengal dan susah diatur oleh kedua orang tuanya hingga diusir dari rumah karena pernah membuat rusuh rumah tangga pernikahan tetangga. Ayah Dani malu lalu menyuruh Mas Wisnu pindah ke rumah neneknya. Sejak saat itu dia tak pernah pulang. "Ada apa denganku?" tanya Mas Wisnu menaruh satu rantang masakan di pangkuanku. "Ah tidak apa-apa, Mas," sahutku cepat. "Mas apa kabar?" Aku mengalihkan pembicaraan saat tatapannya menyiratkan sesuatu. "Kabarku baik luar biasa kecuali kamu." "Untung ya luka kamu nggak sampai membuatmu koma bertahun-tahun," kata Mas Wisnu tak berniat menyindir. Begitulah Mas Wisnu jika bicara tak pernah disaring dan aku maklum. "Berharapnya sih bertahun-tahun agar tidak mendengar beritanya Sarayu," balasku. "Oh kamu udah tahu ya? Keterlaluan memang si pria bengkok hati itu." "Heh? Pria bengkok hati? Maksudnya Mas Birendra?" Aku menatap Mas Wisnu dan menggeleng. Ada-ada saja memanggil kakaknya seenak bibirnya. "Siapa lagi? Dia kan hatinya bengkok ke sana ke mari," jawabnya santai sembari memainkan ponsel. Pada saat Mas Wisnu memegang ponselnya, aku melihat gantungan aksesoris tengkorak dan samar-samar ada bayangan aku pernah melihat benda itu, tetapi aku lupa di mana tepatnya. "Ada apa? Tatapanmu mengerikan," ucap Mas Wisnu menyingkirkan ponselnya dariku. "Mas dapat dari mana gantungan itu?" Aku menunjuk ponsel yang dipegangnya. "Aku buat sendiri. Kamu kan tahu aku ini suka dengan seni pahat, sayangnya ayah tak menyetujui bakatku ini." "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Mau aku buatkan?" "Aku pernah melihat gantungan itu, tapi aku lupa di mana," kataku menatapnya lalu pandanganku beralih pada gantungan ponselnya. "Tak mungkinlah, Hira. Ini baru kemarin aku buat kok. Itu dampak dari kamu tidur seminggu jadi mengingat hal tak jelas," jawab Mas Wisnu menggelengkan kepala. "Sudah yuk. Masuk ke kamarmu. Ibu menyuruhku mengantarkan makan siang untukmu." Aku sangat yakin sekali jika aku pernah melihat gantungan ponsel itu di sebuah mobil yang melaju. Namun aku tidak tahu ingatanku ini berada di tahun ini atau di masa depan? **** Hari ini aku masih belum boleh pulang dari rumah sakit, karena ada pemeriksaan lanjutan takutnya terjadi sesuatu pada otakku akibat kecelakaan. Aku benar-benar tak ingat sama sekali kejadian yang menimpa diriku. Satu hal yang kuingat hanya pertengkaran dengan Mas Bi di malam hari itu dan kejadian selanjutnya seolah hilang dalam ingatanku. Aneh sekali menurutku. Aku ingat semua hal yang terjadi padaku selama ini. "Mungkinkah kembalinya aku ke masa lalu mengubah semua takdir?" "Apa bisa aku membatalkan pernikahan ini?" Aku berbicara sendiri dan tak sadar jika Ayah berdiri di ambang pintu rawat inap. Ayah menyunggingkan senyumnya, tetapi berbeda dengan pria di belakangnya. Dia terlihat tak menyukai kedatangannya ke sini. "Ayah ..." Aku antara terkejut dan senang melihat Ayah ada di sini. "Biar ayah yang ke sana," ucap Ayah mendekat dan langsung memelukku. "Ayah kangen kamu, Nduk," kata Ayah lagi tak hentinya membelai rambutku. Tindakan yang sering Ayah lakukan dulu ketika aku kecil. Sudah lama aku tak berjumpa dengan Ayah hanya melalui panggilan video saja. Terakhir kami bertemu saat Ayah menjadi wali nikahku dan beberapa hari kemudian Ayah akan kembali ke Abu Dhabi. "Hira juga kangen sama Ayah. Ayah dijemput siapa?" tanyaku sambil mencari keberadaan Mas Bi yang pergi entah ke mana. "Dijemput sama Birendra. Sebenarnya Nak Wisnu yang mau jemput Ayah, tetapi yang datang Birendra," ujar Ayah membuka tas kain dan tercium aroma buah jeruk. "Tadi Birendra membeli jeruk. Katanya kamu suka. Tak seperti biasanya kamu ingin makan ini," imbuh Ayah mengeluarkan buah tersebut. "Yah, nanti saja dibukanya ya. Sekarang Hira ingin berbincang dengan Ayah," kataku mencegah Ayah mengupas buah jeruk itu. Aku tak pernah menyukai buah jeruk sejak dulu dan Mas Birendra tahu, tetapi mungkin dia lupa sekarang atau memang sengaja membelinya untukku. Selama aku dan Ayah melepas rindu, Mas Birendra tak menunjukkan dirinya. Entah dia ke mana dan saat jam kunjungan selesai dia baru muncul. Sebegitu tidak sukanya dia kepadaku hingga tak mau berdekatan denganku? "Besok Ayah ke sini lagi. Bukankah kalian akan menikah? Jaga kesehatan, Nak. Jangan sampai sakit," pesan Ayah sebelum pamit pulang. "Kamu temani calon istrimu dulu. Jangan mengantarkan Ayah. Ayah masih ingin jalan-jalan di sekitar kota ini." Ayah lebih memilih pulang menaiki ojek online dan menyuruh Mas Birendra untuk tetap di sini menemaniku. Namun aku ragu, dia tidak akan bakalan mau melakukannya. "Jika bukan permintaan orang tua kita. Aku tak akan sudi menemani di sini," tutur Mas Bi sembari duduk di sofa dan memilih melihat ponsel daripada membantuku mengambil air. "Jika begitu lebih baik Mas pulang saja. Aku bisa sendiri di sini," jawabku penuh penegasan. Mas Birendra menatapku tajam dan dia pun langsung berdiri hendak menuju pintu. Jika tak suka perkataannya dilawan dan akan tersinggung. Aku tak peduli dia mau marah atau kesal. "Jeruk itu kesukaan Sarayu, bukan?" tanyaku tiba-tiba sebelum Mas Bi membuka pintu keluar. "Jika kau tak suka buang saja," sahutnya ketus. "Bukan masalah tak suka. Tapi sejak dulu Mas Bi tahu jika aku memiliki alergi buah jeruk. Apa Mas sudah lupa?" Jauh sebelum mengenal Sarayu, Mas Birendra selalu perhatian kepadaku layaknya saudara. Dia tahu jika aku memiliki alergi makanan dan selalu waspada jika kami makan di luar. Namun kini dia berubah, dia lupa semua hal yang pernah dia lakukan padaku dulu. Mas Birendra bukanlah sosok yang kukenal. Dia jauh berbeda. "Aku tak ingat." "Kok bisa ya kesukaan kawan kecilnya dilupakan. Padahal dulu dia berjanji akan menjaga dan melindungiku. Kini dia melanggarnya sendiri," sindirku dengan tertawa. Terserah dia mau tersinggung. "Kita bukan lagi anak kecil, Hira. Jadi bersikaplah dewasa," ucapnya tanpa melihat ke arahku. Dia sibuk dengan ponselnya. "Aku harus pergi sekarang," sambungnya membuka pintu. "Mas, sebelum kamu pergi. Aku mau bertanya satu hal. Jika Sarayu tak ada di dunia ini, apa aku masih menjadi yang kedua di hatimu?" Mas Birendra hanya menoleh sesaat kepadaku lalu dia diam tanpa mau menjawab pertanyaanku. Dia langsung menutup pintu dan pergi begitu saja. Ternyata masih sama seperti dulu. Di matanya tak pernah Mas Bi menganggapku sebagai seorang wanita melainkan sosok asing yang hadir di hidupnya. Jika begini lebih baik aku mengambil keputusan tegas. "Lebih baik kuberikan saja jeruk ini kepada perawat daripada alergiku kambuh." Sayang jeruk sebagus ini dibiarkan begitu saja jadi kuberikan saja pada perawat di luar. Saat aku hendak melangkah keluar pintu, kulihat masih ada Mas Bi sedang melihat taman dan dia menelepon seseorang. "Iya. Tolong jaga dia dulu. Jangan sampai ketahuan oleh Mahira." "Tunggu waktunya saja. Biar dia merasakan yang dirasakan Sarayu." "Aku ingin Mahira mengalami penyiksaan ketika menikah denganku nanti." Aku menutup kembali pintu kamar agar tak ketahuan olehnya. Apakah Mas Bi ingin membalas dendam kepadaku karena kematian Sarayu? Sebenarnya apa yang terjadi? Apa benar aku ini telah membunuh Sarayu?"Akhirnya selesai juga."Aku menatap pantulan diriku di kaca ruang operasi yang sudah sepi sembari bergumam. Topi bedah masih menempel di kepala dan masker medis tergantung longgar di leher. Kulihat diriku wajahku yang mulai lelah di pantulan cermin.Namun tak ada penyesalan saat aku mengambil sebuah keputusan tersebut, ini hidup yang kupilih—sebagai seorang dokter bedah dan sebagai ibu dari anak yang sedang menunggu di rumah.“Dokter Mahira." Suara suster Winda menyadarkanku dari lamunan.“Operasi tadi luar biasa. Anda sungguh hebat, Dok," pujinya yang membuat aku merasa tak layak menerima kalimat tersebut.Aku tersenyum tipis, mengangguk. “Terima kasih, Sus. Kalian juga hebat karena kita satu tim yang solid," kataku sembari memberi pujian pada mereka."Ini sudah operasi ketiga yang anda lakukan, Mahira. Sekarang pulanglah. Dokter Jaka yang akan menggantikanmu nanti," ujar dokter Agustin seraya melangkah memasuki ruang operasi."Iya Dok. Pulanglah, anda sudah terlihat lelah. Tenang
"Takdir itu tak bisa diubah dan akan menghampiri setiap insan manusia.""Ini sudah takdir ayahmu. Jangan merasa bersalah.""Allah menempatkan ayahmu di sisi-Nya."Kerabat ayah dan teman-teman sesama TKI datang ke pemakaman ayah. Mereka menguatkan aku di hari yang paling menyedihkan. Andai mereka tahu, aku tak bisa kuat seperti yang mereka katakan.Saat kabar itu datang—bahwa Ayahku dan Ayah Dani meninggal bersamaan dalam kecelakaan itu, rasanya seperti seseorang mencabut seluruh napas dari paru-paruku. Dan seakan belum cukup, Ibu Tari... koma. Antara hidup dan mati layaknya menggantungkan harapan kami di benang yang nyaris putus.Aku mengunci diri di kamar. Dua hari. Dua malam. Aku tidak bicara. Tidak makan. Bahkan air mataku pun seakan berhenti mengalir. Yang tersisa hanya kebisuan dan rasa marah—pada dunia, pada semesta dan juga pada takdir."Kenapa Ayah harus semobil dengan mereka?""Sebenarnya Ayah mau ke mana?"Aku tak menyangka jika ayah semobil dengan kedua orang tua Mas Birend
["Mahira, kamu bisa ke rumah sore ini? Ada yang mau aku bicarakan denganmu."]"Rumah ayah Dani atau ke rumahnya Mas di jalan Cempaka?"["Datanglah ke jalan Cempaka."]Pagi ini aku mendapat notif pesan dari Mas Birendra. Dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya. Katanya ada yang sesuatu yang hendak dia bicarakan. Aku langsung membalas pesannya dan mengiyakan permintaannya.Setelah menyelesaikan tugasku, aku segera melangkah pergi menemui Mas Birendra di rumahnya. Aku mengambil kunci mobil. Sudah dua bulan ini aku belajar lagi menyetir setelah pernah mengalami trauma."Selamat sore, Mbak Hira. Lama tidak ke sini.""Senang bisa melihat Mbak Hira lagi."Sesampainya di depan pintu gerbang rumah Mas Birendra, aku disambut hangat para pekerja di sini. Dulu sebelum Mas Birendra menikah dengan Sarayu, aku sering ke sini bersama ibu Tari hanya untuk beberes dan menyetok makanan, karena tempat kerja Mas Birendra lebih dekat daripada di rumah utama."Ah iya Pak. Hira juga kangen sama kalian," sapa
Aku berdiri di depan lift dengan jantung berdegup kencang. Wanita itu tersenyum, tetapi bukan ditujukan padaku melainkan pada dua sosok di belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang pria bersama gadis remaja.Dia dengan langkah anggun. Tubuh ini menegang karena orang yang aku kenal ada di hadapanku sekarang. Ibu Fatma mengangkat tangan, melambai dengan semangat pada dua sosok yang juga membalas lambaian tangannya."Ibu Fatma!" seruku disertai langkah maju dengan penuh harap.Wanita itu berhenti dan alisnya berkerut. Tatapannya kosong seolah aku hanyalah orang asing di matanya dan menatapku dengan penuh kebingungan."Maaf, apakah kita saling mengenal?" tanyanya dengan suara tenang, tapi ada kehati-hatian di matanya.Dadaku seketika terasa sesak. Aku mengerjap dan mencari jawaban di wajahnya lalu berharap ada secercah pengakuan. Namun tidak ada dan ku tersenyum kaku, berharap dia sedang bercanda."Ibu tidak ingat aku?" suaraku terdengar ragu.Wanita itu menghela napas, menggigit bibirn
Aku melangkah masuk ke ruang lobi rumah sakit dengan sedikit rasa gugup. Saat kakiku berjalan lebih jauh, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Dua kali aku dihidupkan kembali oleh semesta.Semua yang ada di gedung rumah sakit ini terlihat sama. Tak ada perubahan sama sekali. Aku menghela napas sembari terus berjalan menuju ruang UGD, tempat aku akan bertugas.Mataku menyapu ruangan yang penuh dengan staf dan dokter. Beberapa dari mereka tersenyum ramah, sementara yang lain sibuk dengan tugas masing-masing. Dua perawat senior mendekat, wajahnya lembut, menyodorkan tangan untuk berjabat. Aku kenal dengan mereka."Selamat datang di rumah sakit ini, Dokter Mahira.""Senang rasanya bisa berkenalan dengan anak dokter Dani.""Terima kasih Sus Mariani dan Sus Siska," sahutku seraya berjabat tangan dan mengetahui nama mereka dari name tag.Satu per satu staf memperkenalkan diri. Beberapa bersalaman dengan tatapan penasaran, mungkin mendengar kabar tentang aku dan pemilik rumah sakit ini. Namun ti
Aku menggeliat di atas kasur dan tubuhku masih enggan untuk bangun. Matahari pagi menerobos melalui celah jendela hingga menyilaukan pandanganku yang masih setengah terpejam. Saat aku hendak menarik selimut kembali ada suara ketukan dari luar kamar terdengar, diiringi panggilan namaku."Mahira, ayo bangun Nak." Terdengar suara dari luar pintu, memanggilku dengan nada tegas. Aku tak memerhatikan siapa yang berada di luar pintu kamarku.“Iya... sebentar lagi.” Aku mendesah pelan dan menjawab dengan suara serak.Namun suara dari luar kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih mendesak seperti ada sesuatu yang serius karena aku mendengar namaku dipanggil lagi."Mahira ... kamu baik-baik saja, bukan?""Bangunlah ... kita ditunggu ayah Dani dan ibu Tari di rumahnya."Mataku terbuka lebar. Jantungku berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam nada suara itu yang membuatku terkejut. Aku bangkit dengan enggan lalu menyibak selimut dan turun dari tempat tidur. Begitu aku membuka pintu kamar
"Biar Abisatya bersama kami, Pak. Bapak ke ruang rawat dokter Mahira saja."Setelah mendapat telepon dari Agustin dan menitipkan Abisatya bersama dokter anak yang dikenalnya Birendra segera berlari menembus koridor rumah sakit yang panjang dan sunyi. Nafasnya tersengal disertai wajahnya dipenuhi kegelisahan. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan."Aku mohon Mahira, bertahanlah."Pandangannya lurus ke depan dan penuh tekad. Sesampainya di depan ruangan rawat inap, Birendra berhenti sejenak, menunduk dan menahan napas mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali.Begitu Birendra membuka pintu, dia melihat Mahira dikelilingi para dokter yang sibuk dengan wajah mereka dipenuhi ketegangan. Di balik tirai yang setengah terbuka, tubuh Mahira terlihat lemah dan tak berdaya. Matanya terpejam dan wajahnya pucat, sementara mesin-mesin medis di sekelilingnya berdengung cepat. Birendra mengepalkan kedua tangannya berusaha menahan diri agar tidak panik."Berik
"Sebentar lagi kita akan sampai menemui ibu, Nak.""Ayah berharap ibumu segera sadar."Birendra memegang erat tubuh kecil Abisatya yang sedang tertidur dalam gendongannya. Balita berusia dua tahun itu tampak damai, wajahnya bersandar di dada Birendra. Setiap harinya Birendra membawa Abisatya ke rumah sakit untuk mengunjungi Mahira. Harapan akan keajaiban tidak pernah surut dari hati Birendra, meski waktu terus berlalu dan kondisi Mahira tak juga menunjukkan perubahan."Selamat pagi, Pak Birendra," sapa satpam melihat Birendra berjalan menuju lobby."Selamat pagi juga, Pak," balas Birendra menyunggingkan senyum.Sejak Mahira dinyatakan koma, mau tak mau Birendra mengambil alih urusan rumah sakit dibantu oleh sahabat ayahnya sementara pekerjaan yang dibangunnya sendiri ditangani oleh Rudi.Setiap hari Birendra mengambil alih tugas Mahira sebagai direktur pelaksana rumah sakit dan mengerjakan semuanya di ruang rawat inap hingga rumah sakit menjadi rumah kedua bagi Birendra."Pak Hasan ti
"Selamat pagi dunia.""Terima kasih untuk berkat-Mu hari ini, Allah."Cahaya pagi menyelinap masuk melalui jendela rumah sakit, menerangi lorong-lorong yang mulai sibuk dengan aktivitas para dokter dan perawat. Di antara mereka, seorang pria dengan jas dokter yang baru saja dikenakan kembali setelah sekian lama berjalan dengan langkah penuh harapan sembari bergumam sendiri.Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi terlihat di matanya berbinar. Dia menarik napas dalam-dalam seolah ingin meresapi udara rumah sakit yang begitu familiar, tempat yang pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya sebelum semuanya berubah."Dokter Arya, senang berjumpa dengan anda lagi," kata seorang perawat yang kebetulan berpapasan dengannya."Saya juga senang berjumpa dengan kalian lagi," balas Arya seraya tersenyum."Selamat bertugas kembali, Dok," ucap salah satu perawat wanita."Terima kasih suster Wina."Arya melanjutkan kembali langkah kakinya menuju ruang berkumpulnya para dokter sebelum bertugas di pagi i