Permintaan Mahira hanya satu pada Semesta yaitu mengembalikan sang suami kepada cinta pertamanya saat dia meninggal hari ini. Dan Semesta memberinya kesempatan kembali ke enam tahun silam, tetapi ada sesuatu yang tak bisa dia hindari. Mahira tetap menjadi seorang istri dari Birendra, tetapi dirinya adalah istri kedua yang dijodohkan. Mahira adalah istri kedua dari suaminya yang sekarang. Sedangkan kakak madunya dinyatakan meninggal karena kecelakaan. "Kau yang menyebabkan Sarayu meninggal. Sekarang kau harus menanggung akibatnya." Karena tak tahu apapun. Mahira memilih belajar bersikap cuek, abai dan tak peduli kepada Birendra hingga membuat pria itu kebingungan. Di satu sisi, Mahira dicintai oleh rekan kerjanya yang mencintainya secara diam-diam. Pilihan apa yang dibuat Mahira? Kembali rujuk dengan sang suami atau menjalin hubungan yang baru? Mampukah Mahira mengungkap insiden yang mengakibat dirinya kembali ke masa lalu dan meninggalnya Sarayu?
Lihat lebih banyakDenting sendok yang beradu dengan piring terdengar jelas sekali di ruang makan saat ini. Tak ada perbincangan di antara aku dan suamiku. Bukan karena sebuah aturan yang mengharuskan kami untuk tak bicara saat sedang makan.
Namun memang demikian keadaannya, Mas Birendra suamiku tak pernah suka denganku sejak kami menikah. Dia menganggapku bukan istri melainkan orang asing yang memasuki kehidupannya. "Mas, nanti bisa pulang lebih awal?" tanyaku saat kami sudah selesai sarapan. "Tidak bisa," jawabnya singkat. "Untuk kali ini saja ya?" Aku mencoba bertanya lagi. Berharap dia mau melakukannya sekali ini saja. "Aku sibuk, Mahira. Tolong jangan memaksaku," sahutnya seraya beranjak berdiri dari kursi lalu melangkahkan kakinya menuju ruang depan. "Tapi Mas, kamu sudah berjanji padaku dulu. Apa kamu telah lupa?" Tak ada sahutan darinya. Aku mengantarkannya sampai ke garasi mobil. Dia membuka pintu lebar-lebar sengaja untuk memperlihatkan sebuah foto berbingkai yang ada di jok depan. Foto Mas Bi tersenyum bersama wanita yang sedang memegangi perut buncitnya. "Halo Sayang. Ya sebentar lagi Mas sampai di sana. Mau titip apa? Bubur ayam kesukaanmu ya?" Mas Bi tak pernah memperlihatkan senyumnya padaku. Dia selalu berwajah datar dan sinis saat bicara, berbeda saat dia berbincang dengan istri keduanya yang selalu senang dan tutur katanya menyiratkan cinta. "Mas lebih memilih bersamanya daripada pergi memenuhi permintaanku?" Aku bertanya dengan tatapan tajam. "Bukankah kamu sudah tahu jawabannya? Untuk apa lagi aku harus menjawabnya?" Dia balik bertanya seraya menutup pintu mobilnya keras. Sampai kapanpun aku tahu Mas Bi tak akan memilihku untuk berada di rumah hatinya. Perjodohan ini membuatku tersiksa karena hanya aku yang mencintainya. **** "Non, Tuan sudah pulang. Apa masakannya mau bibi panaskan?" "Tidak usah, Bi. Buat besok saja. Mas Bi tak akan makan malam jika sudah larut." Aku melihat pria melalui jendela samping yang sudah bersamaku selama enam tahun berjalan memasuki rumah malam ini dengan senyuman yang bahagia ketika menelepon seseorang melalui panggilan video. Mas Bi tak menyadari jika aku sudah berada berdiri di depan pintu menyambut kedatangannya yang sudah dua hari tak pulang ke rumah ini seakan kehadiranku tiada artinya. "Sudah pulang, Mas?" tanyaku mencoba untuk tersenyum. "Kamu? Kok belum tidur?" Dia terkejut mendapatiku berdiri di depan pintu menyambutnya. "Aku menunggu kamu, Mas," jawabku menahan rasa pedih saat kulihat dia sedang menelepon kekasih hatinya. "Aku matikan dulu ya, Yang. Jaga kehamilanmu," ucapnya tak tahu malu ketika mengakhiri percakapan mereka. "Kamu menemuinya lagi, Mas?" tanyaku ingin tahu sembari mengikuti langkahnya menaiki anak tangga. "Bukankah kamu sudah tahu jawabannya, Mahira?" Mas Bi balik bertanya dengan ketusnya. Sebagai seorang istri tentu saja aku marah dan tak terima jika suami yang sangat kucintai malah memilih kembali kepada cinta pertamanya daripada mengunjungi makam kedua orang tuanya. Dia menikahi perempuan itu sehari setelah mempersuntingku karena perjodohan. "Apa yang telah kamu lakukan dua hari ini, Mas? Apa kamu tak ingat jika ada aku di sini?" tanyaku lirih. "Kau tak perlu tahu apa yang aku lakukan dua hari ini. Lagipula kamu sudah tahu jawabannya," ujar Mas Bi sengit sambil membuka pintu kamar dan membiarkan aku memasuki ruangan pribadinya. "Aku mohon jauhi dia, Mas! Sebelum---" "Sebelum apa, Mahira? Apa kamu menginginkan kematiannya?" Ia bertanya marah kepadaku sambil meninggikan suaranya. "Tak pernah sekalipun aku ada niatan menginginkan kematian Sarayu, Mas. Bahkan selama ini sampai kematian kedua orang tuamu pun mereka tidak tahu jika kamu memiliki dua istri," kataku menahan amarah. Jika tahu begini keadaannya aku akan menolak perjodohan ini dan membiarkan Mas Bi memilih cintanya. Namun permintaan ibunya Mas Bi tak bisa kuhindari menjelang kematian bibi, aku harus menikah dengan putranya. "Oh ya? Bagaimana dengan orang suruhanmu yang melempari batu ke rumah Sarayu? Caramu licik, Mahira," tuduhnya padaku sembari menunjukkan jarinya. "Aku tak pernah melakukan tindakan serendah itu, Mas. Sekalipun tak pernah dalam hidupku selama enam tahun berbuat hal jahat padanya meski dia telah merebutmu dariku," kataku mencoba bertahan untuk berdiri tegak. "Kamu yang merebutku dari Sarayu, Mahira. Apa kamu tak ingat enam tahun lalu kamu menerima perjodohan ini?" "Ya ... aku salah. Aku salah, Mas. Tapi belum cukupkah kamu menghukumku selama enam tahun ini dan membuat batinku tersiksa?" Aku benar-benar tak sanggup lagi harus bertahan dalam rumah tangga seperti ini. "Kamu tak menyadari jika selama enam tahun ini kamu sudah menghancurkan semuanya, Mas?" "Apa belum cukup kamu menyakiti aku terus, Mas?" Aku terus menanyakan keberadaan diriku di hatinya. "Terserah kau berkata apa, Mahira? Aku sudah lelah dengan dirimu selama ini." Perkataannya menohok sekali. "Lelah denganku, Mas?" Aku tertawa getir. "Jika kau sudah lelah denganku mengapa kau tak menceraikan aku saja? Bukankah itu lebih baik daripada hidup seperti ini?" "Semua ada alasannya," jawab Mas Bi tak memberitahu padahal aku sudah tahu jawabannya. "Iya aku tahu jawabannya karena perjanjian yang kamu buat dengan ayahmu, bukan? Jika kamu tak sudi menikah denganku maka warisan akan jatuh kepada Mas Wi adikmu yang bengal itu." "Tidak usah membahas lagi. Nikmati saja posisimu sebagai istri pertama yang tak tergantikan," kata Mas Birendra menatapku tajam lalu menyuruhku keluar dari kamarnya. Awal pernikahan kami sepakat untuk tidur berpisah kecuali jika orang tua kami datang. Selama itu pula Mas Bi tak pernah sekalipun menyentuhku sebagai istrinya dan tempat pelariannya ada pada Sarayu. Wanita yang dia sangat cintai. "Apa di hatimu tak ada tempat kedua untukku, Mas?" tanyaku di depan pintu kamarnya. Aku yakin dia mendengar sebab rumah ini terasa sepi dan sunyi. "Maaf kalau aku terpaksa menyetujui pernikahan ini hingga membuat kalian tak bisa bersatu." Aku berdiam cukup lama di depan pintu sama seperti malam-malam yang lalu dan berharap dia membukanya lalu mempersilakan diriku masuk ke hatinya. Sayangnya penantianku sia-sia. **** ["Antar dokumen yang ada di meja ruang tamu. Aku lupa. Cepat dan jangan lama."] "Iya Mas. Setengah jam lagi aku tiba di lobby kantormu." Sebenarnya aku bisa saja mengabaikan permintaannya yang terkesan memaksa, tetapi ternyata aku tak mampu bersikap abai. Bodoh memang diriku. Aku lelah menghadapi perlakuan Mas Bi. Aku segera mengambil kunci sepeda motor untuk pergi bekerja sekaligus mengantarkan dokumen ke kantornya. Kebetulan tempat kerjaku dekat dengan gedung tempat Mas Bi bekerja. "Hari ini untungnya tidak ada jadwal operasi. Jadi bisa agak santai aku tiba." Aku segera melajukan sepeda motor dengan kecepatan sedang karena tak mau Mas Bi sampai marah. Sebetulnya aku punya mobil yang dibelikan ayah mertua, tetapi karena Mas Bi memintaku naik kendaraan beroda dua saja agar cepat. Beginilah hidupku. Pagi hingga malam berada di rumah sakit dan berbicara dengan banyak pasien lalu pulang ke rumah hanya melepas lelah. Jangan bertanya soal Mas Bi, dia lebih senang menghabiskan waktunya bersama Sarayu. "Mas Bi ...." Di perempatan lampu merah, mataku tertuju pada dua orang pasangan naik sepeda motor di depan. Sang wanita duduk miring dengan tangan yang memeluk pinggang sang pria. Itu Sarayu dan Mas Bi. "Ternyata kalian sudah berani menunjukkan kemesraan di depan umum." "Tega kamu, Mas Bi." Aku mengeluh sekaligus kesal. Mas Bi tidak sibuk, tetapi dia memilih masuk siang ke kantor. "Kamu egois, Mas. Jika kamu mencintai Sarayu lebih baik ceraikan saja aku," kataku dengan getir. Aku memerhatikan tangan Mas Bi yang mengapit mesra tangan Sarayu. Ah sial ... kenapa lampu merah di sini begitu lama? Tak mungkin aku memutar arah hanya karena tak ingin melihat mereka. Jarak kami hanya terhalang dua sepeda motor di depan. Jika bisa aku ingin menghampiri mereka dan memarahi Mas Bi, tetapi tak bisa aku lakukan hanya karena tak mau dilihat banyak orang di jalanan. Saat lampu menyala hijau, semua kendaraan bersiap melaju begitu juga dengan sepeda motor Mas Bi yang berbelok ke kanan menuju kantornya. Aku mengikuti mereka. "Mas Bi ...." Namun secara tiba-tiba datang sebuah mobil hitam melaju cepat menghantam bagian belakang sepeda motornya. Aku dan beberapa pengendara terkena imbasnya, tetapi hanya sepeda motor Mas Bi yang parah. "Mas Bi ..." Aku tak memedulikan rasa sakit akibat terjatuh dari sepeda motor. Aku ingin melihat kondisi Mas Bi. Aku belari menghampiri mereka berdua dan melakukan pertolongan pertama. Sesakitnya apapun aku melihat mereka, tetapi sebagai seorang dokter aku tak bisa menghiraukan keadaan korban. "Cepat hubungi ambulan. Siapapun tolong telepon sekarang!" Aku memerintah orang-orang di jalan yang sedang melihat kejadian. "Pergi kamu Mahira! Jangan sentuh dia!" Aku terkejut melihat reaksi Mas Bi ketika aku ingin melihat kondisi Sarayu yang tergolek bersimbah da**h di jalan sedangkan Mas Bi meski ada luka, tetapi dia berusaha untuk meraih Sarayu dalam dekapannya. "Aku bukan istrimu di sini. Aku dokter yang akan menangani korban selagi ambulan datang," kataku tegas. "Jangan berani kamu menyentuhnya. Kamu perempuan kejam!" Mas Bi berteriak lantang dan membuat semua orang menoleh. Mas Bi mendorong tubuhku dan membentak dengan kalimat kasar. Dia menudingku telah mencelakai mereka. Aku menggeleng tak terima dengan tuduhannya. "Lebih baik kamu yang mati!" Aku tersenyum kecut dan mengangguk. Baiklah jika itu yang diinginkannya. Lagipula aku juga sudah lelah terikat pernikahan ini. "Baik aku pergi, Mas. Aku harap kamu bahagia." Semua orang di jalan menyuruhku untuk menepi dulu karena ada luka di lenganku, tetapi aku memilih pergi menaiki taksi saja. Perasaanku benar-benar hancur saat ini. "Mbak ... awas!" Bersamaan dengan teriakan orang-orang di jalanan, tubuhku terhantam mobil. Aku memang salah telah menyeberang tanpa melihat lalu lalang kendaraan. "Andai aku diberi kesempatan kedua kembali ke masa lalu. Aku tak akan mengambil hatimu dari Sarayu, Mas." Aku berucap disertai batuk dan ada cairan kental keluar. Sebagai seorang dokter aku tahu luka yang kualami parah. "Ibu ... bisa mendengar saya?" Sebelum kesadaranku hilang, aku melihat petugas medis menghampiriku lalu pandanganku berubah gelap disertai sayup-sayup suara yang semakin lama semakin menghilang. *** Aku membuka mata perlahan dan kurasakan rasa sakit luar biasa pada tubuh ini. Aku yakin kini diriku berada di rumah sakit. Bau familiar yang sering kutangkap di indera penciuman saban hari. "Kamu sudah sadar, Nak? Ya Allah terima kasih." "Satu jam lalu kamu terbangun sebentar. Ibu takut kamu akan koma lagi." Aku mendengar suara yang kukenal. Perlahan kubuka mata dan memandang langit yang tampak putih, aku masih mengamati sekitar dan merasa bingung akan keberadaanku ini. Pandanganku beralih ke samping kanan kepada suara yang memanggil sedari tadi. "Ibu ...." Antara sadar dan kebingungan langsung menyergap pikiran. "Iya ini Ibu, Nak." Wanita penyayang dan berhati lembut itu mengecup keningku. "Ibu, kenapa ibu di sini? Ini di mana?" tanyaku beruntun. Ini pasti mimpi, bukan? Aku tak mempercayai yang kulihat dan kudengar sekarang. =Bersambung=Aku menatap cermin besar di kamarku. Gaun putih sederhana menyentuh lantai, menjuntai lembut mengikuti gerak tubuhku yang bergetar pelan. Jemariku dingin, padahal AC kamar sudah dimatikan sejak satu jam lalu. Bukan karena gugup, melainkan karena hati ini masih tak percaya—akhirnya aku menikah dengan Arya. Semesta mengabulkan permintaanku agar bertemu kembali dengan cara yang aneh bahkan aku tak bisa mempercayai. Mungkin kisahku dan Arya bagaikan sebuah cerita fantasi di dunia film. Sama halnya dengan diriku yang ditakdirkan untuk kembali ke masa lalu, begitu pula Arya yang meminta pada semesta agar dipertemukan kembali denganku. Doanya memang terkabul, tetapi ada konsekuensinya dari permintaan tersebut. Dia kehilangan ingatan sementara. ["Ketika aku terjatuh dari gedung itu. Satu doaku yang ingin Tuhan dengar. Aku ingin kembali ke masa lalu saat aku bertemu denganmu pertama kali."] ["Aku memang bertemu denganmu ketika kamu menangis di lorong rumah sakit. Aku tak ingat siapa dir
"Akhirnya selesai juga."Aku menatap pantulan diriku di kaca ruang operasi yang sudah sepi sembari bergumam. Topi bedah masih menempel di kepala dan masker medis tergantung longgar di leher. Kulihat diriku wajahku yang mulai lelah di pantulan cermin.Namun tak ada penyesalan saat aku mengambil sebuah keputusan tersebut, ini hidup yang kupilih—sebagai seorang dokter bedah dan sebagai ibu dari anak yang sedang menunggu di rumah.“Dokter Mahira." Suara suster Winda menyadarkanku dari lamunan.“Operasi tadi luar biasa. Anda sungguh hebat, Dok," pujinya yang membuat aku merasa tak layak menerima kalimat tersebut.Aku tersenyum tipis, mengangguk. “Terima kasih, Sus. Kalian juga hebat karena kita satu tim yang solid," kataku sembari memberi pujian pada mereka."Ini sudah operasi ketiga yang anda lakukan, Mahira. Sekarang pulanglah. Dokter Jaka yang akan menggantikanmu nanti," ujar dokter Agustin seraya melangkah memasuki ruang operasi."Iya Dok. Pulanglah, anda sudah terlihat lelah. Tenang
"Takdir itu tak bisa diubah dan akan menghampiri setiap insan manusia.""Ini sudah takdir ayahmu. Jangan merasa bersalah.""Allah menempatkan ayahmu di sisi-Nya."Kerabat ayah dan teman-teman sesama TKI datang ke pemakaman ayah. Mereka menguatkan aku di hari yang paling menyedihkan. Andai mereka tahu, aku tak bisa kuat seperti yang mereka katakan.Saat kabar itu datang—bahwa Ayahku dan Ayah Dani meninggal bersamaan dalam kecelakaan itu, rasanya seperti seseorang mencabut seluruh napas dari paru-paruku. Dan seakan belum cukup, Ibu Tari... koma. Antara hidup dan mati layaknya menggantungkan harapan kami di benang yang nyaris putus.Aku mengunci diri di kamar. Dua hari. Dua malam. Aku tidak bicara. Tidak makan. Bahkan air mataku pun seakan berhenti mengalir. Yang tersisa hanya kebisuan dan rasa marah—pada dunia, pada semesta dan juga pada takdir."Kenapa Ayah harus semobil dengan mereka?""Sebenarnya Ayah mau ke mana?"Aku tak menyangka jika ayah semobil dengan kedua orang tua Mas Birend
["Mahira, kamu bisa ke rumah sore ini? Ada yang mau aku bicarakan denganmu."]"Rumah ayah Dani atau ke rumahnya Mas di jalan Cempaka?"["Datanglah ke jalan Cempaka."]Pagi ini aku mendapat notif pesan dari Mas Birendra. Dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya. Katanya ada yang sesuatu yang hendak dia bicarakan. Aku langsung membalas pesannya dan mengiyakan permintaannya.Setelah menyelesaikan tugasku, aku segera melangkah pergi menemui Mas Birendra di rumahnya. Aku mengambil kunci mobil. Sudah dua bulan ini aku belajar lagi menyetir setelah pernah mengalami trauma."Selamat sore, Mbak Hira. Lama tidak ke sini.""Senang bisa melihat Mbak Hira lagi."Sesampainya di depan pintu gerbang rumah Mas Birendra, aku disambut hangat para pekerja di sini. Dulu sebelum Mas Birendra menikah dengan Sarayu, aku sering ke sini bersama ibu Tari hanya untuk beberes dan menyetok makanan, karena tempat kerja Mas Birendra lebih dekat daripada di rumah utama."Ah iya Pak. Hira juga kangen sama kalian," sapa
Aku berdiri di depan lift dengan jantung berdegup kencang. Wanita itu tersenyum, tetapi bukan ditujukan padaku melainkan pada dua sosok di belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang pria bersama gadis remaja.Dia dengan langkah anggun. Tubuh ini menegang karena orang yang aku kenal ada di hadapanku sekarang. Ibu Fatma mengangkat tangan, melambai dengan semangat pada dua sosok yang juga membalas lambaian tangannya."Ibu Fatma!" seruku disertai langkah maju dengan penuh harap.Wanita itu berhenti dan alisnya berkerut. Tatapannya kosong seolah aku hanyalah orang asing di matanya dan menatapku dengan penuh kebingungan."Maaf, apakah kita saling mengenal?" tanyanya dengan suara tenang, tapi ada kehati-hatian di matanya.Dadaku seketika terasa sesak. Aku mengerjap dan mencari jawaban di wajahnya lalu berharap ada secercah pengakuan. Namun tidak ada dan ku tersenyum kaku, berharap dia sedang bercanda."Ibu tidak ingat aku?" suaraku terdengar ragu.Wanita itu menghela napas, menggigit bibirn
Aku melangkah masuk ke ruang lobi rumah sakit dengan sedikit rasa gugup. Saat kakiku berjalan lebih jauh, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Dua kali aku dihidupkan kembali oleh semesta.Semua yang ada di gedung rumah sakit ini terlihat sama. Tak ada perubahan sama sekali. Aku menghela napas sembari terus berjalan menuju ruang UGD, tempat aku akan bertugas.Mataku menyapu ruangan yang penuh dengan staf dan dokter. Beberapa dari mereka tersenyum ramah, sementara yang lain sibuk dengan tugas masing-masing. Dua perawat senior mendekat, wajahnya lembut, menyodorkan tangan untuk berjabat. Aku kenal dengan mereka."Selamat datang di rumah sakit ini, Dokter Mahira.""Senang rasanya bisa berkenalan dengan anak dokter Dani.""Terima kasih Sus Mariani dan Sus Siska," sahutku seraya berjabat tangan dan mengetahui nama mereka dari name tag.Satu per satu staf memperkenalkan diri. Beberapa bersalaman dengan tatapan penasaran, mungkin mendengar kabar tentang aku dan pemilik rumah sakit ini. Namun ti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen