LOGINMereka menelusuri taman obat yang dipenuhi bahaya di setiap sudut. Setiap langkah seolah-olah menari di atas ujung pisau. Ramuan spiritual yang memancarkan kilau menggoda itu, kini di mata semua orang tak berbeda dengan iblis yang mengancam.Mereka mengikuti langkah Luther dengan hati-hati, menghindari setiap area yang menunjukkan gelombang energi tak normal. Saraf mereka menegang sampai batas.Di ujung taman obat, kabut semakin tebal dan suara gemercik air semakin jelas. Akhirnya, mereka menerobos lapisan kabut spiritual terakhir yang menghalangi pandangan. Pemandangan di depan mata membuat semua orang tertegun.Di hadapan mereka terbentang hamparan air yang luas tanpa batas. Permukaannya tenang bagai cermin, menampilkan warna biru lembut yang nyaris seperti dunia mimpi.Dari permukaan air, menguar energi spiritual yang begitu pekat hingga hampir berwujud nyata. Mengambil satu tarikan napas saja membuat tubuh terasa ringan dan nyaman. Tenaga dalam yang sebelumnya terkuras di daerah be
Luther menunjuk pada ukiran batu bertuliskan bentuknya seperti Pil Abadi, tetapi sebenarnya adalah benda yang paling berbahaya. Selain itu, dia juga menunjuk pada tulisan siapa pun yang meminumnya, jiwa serta raganya akan binasa atau berubah jadi boneka naga.Setelah menunjuk tulisan itu, Luther berkata dengan nada muram, "Sepertinya berita yang kita dapat tentang Pil Abadi itu sebenarnya mengacu pada Darah Naga Abadi ini. Itu bukan Pil Abadi yang sebenarnya, tapi benda jahat yang lahir dari kekuatan naga berdosa yang bocor dan menyatu dengan aliran spiritual dari tempat ini."Kata-kata Luther bagaikan sambaran petir di siang bolong dan membuat wajah Misandari langsung pucat pasi. Dia menempuh perjalanan berbahaya dan kehilangan begitu banyak pengawal, ternyata semua itu hanya demi sebuah benda yang bisa menghancurkan jiwa atau mengubah manusia menjadi monster?"Bagaimana mungkin ...."Tubuh Misandari langsung goyah, seolah-olah tidak bisa menerima semua kenyataan ini. Apakah harapan s
Setelah beristirahat sejenak, Misandari menghela napas. Setelah itu, dia berbalik dan menatap orang-orang yang masih tersisa. Tatapan Logar terlihat penuh tekad, sedangkan dua pengawal lainnya tetap menggenggam senjata mereka dengan erat padahal wajah mereka pucat. Zamer yang kehilangan satu lengan bersandar pada dinding batu dengan tatapan kosong sekaligus tenang karena pasrah.Sementara itu, Misandari melihat Zara menatapnya dengan ekspresi khawatir. Pada akhirnya, tatapannya terjatuh pada Luther yang masih memejamkan matanya, seolah-olah segala kekacauan di luar tidak ada hubungannya dengannya. Melihat Luther yang sangat tenang, entah mengapa hatinya yang tadinya gelisah malah menjadi agak tenang."Ayo kita pergi," kata Misandari dengan nada yang kembali dingin seperti biasanya, tetapi penuh dengan tekad.Luther membuka matanya tepat waktu, lalu menganggukkan kepala dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia melangkah menuju sisi lain dari gua terlebih dahulu, sebuah lorong sempit y
Sekarang, mereka hanya berharap bisa membawa sedikit perbekalan dan mencoba mencari jalan keluar lain di dalam gua. Meskipun harapannya kecil, itu tetap lebih baik daripada terus maju di jalan yang mereka tahu pasti menuju kematian.Wajah Logar tampak kelam. Dia mengepalkan tangan, ingin membentak para bawahan. Namun, ketika melihat ketakutan yang hampir membuat gila di mata para saudara seperjuangan yang dulu bertarung bersamanya, kata-kata yang sudah sampai di tenggorokan akhirnya dia telan kembali.Bukankah dia sendiri juga takut? Hanya saja, rasa tanggung jawab dan kesetiaan membuatnya tak bisa mengucapkan apa pun.Zara merasa cemas sekaligus kesal. Dia mengentakkan kakinya. "Kalian ... gimana bisa kalian begitu? Putri nggak pernah memperlakukan kalian dengan buruk. Sekarang saat bahaya datang, kalian justru mau mundur?"Misandari menatap para pengawal yang kini menangis dan memohon di hadapannya. Hatinya seolah-olah diremas. Ada kekecewaan, ada hawa dingin yang menusuk. Namun, leb
Peringatan yang ditinggalkan Yudha membuat suasana di dalam gua semakin menekan. Proses pembagian perbekalan tidak lagi mengejutkan, hanya tersisa kehati-hatian.Air bersih dan bekal kering dibagi rata kepada setiap orang, sementara kotak berisi pil penyembuh luka dijaga langsung oleh Misandari, untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu dibutuhkan.Setiap orang terdiam, mengunyah bekal hambar itu dengan ekspresi kosong. Rasanya seperti mengunyah lilin.Di sudut gua, dua pengawal yang terluka paling parah bersandar di dinding batu. Wajah mereka pucat pasi.Salah satunya yang bagian dadanya terluka oleh bayangan kabut memang sudah dibalut, tetapi aura kematian masih terus menjalar pelan. Napasnya lemah dan terputus-putus, jelas sudah di ambang ajal.Yang satu lagi kehilangan satu lengan. Walaupun pendarahan sudah berhenti, rasa sakit yang hebat dan kehilangan darah membuat pikirannya kabur. Sesekali dia mengerang lirih tanpa sadar.Pemandangan ini seperti duri yang menusuk mata para penyinta
Di bawah pimpinan Luther, para pengawal yang selamat dan Misandari serta Zara mulai menyelam satu per satu ke dalam air dingin itu. Mereka berenang menyusuri lorong bawah air yang gelap itu, menuju ke arah yang tak diketahui. Lorong itu ternyata tidak begitu panjang, hanya sekitar 60 meter lebih panjangnya.Tak lama kemudian, terlihat cahaya yang samar-samar di depan Luther dan yang lainnya. Mereka segera berenang lebih cepat, lalu menembus sebuah lapisan air tipis dan satu per satu muncul ke permukaan. Pemandangan yang terlihat di depan mereka adalah sebuah gua besar yang terbentuk secara alami.Banyak stalaktit yang tergantung di langit-langit gua dan menyinari seluruh gua itu. Di tengah gua itu, terdapat sebuah kolam yang sepertinya terhubung dengan kolam tempat Luther dan yang lainnya datang tadi. Tumbuh lumut-lumut bercahaya dan tanaman kecil yang aneh di sekeliling gua, sedangkan udaranya dipenuhi dengan aroma lembut yang menenangkan jiwa seperti cendana.Namun, yang paling menge







