Zayna menghela nafas. Jika seperti ini terus, maka bisa menjadi masalah kan?
Setelah berpikir cukup lama, Zayna bicara, “Dokter Langit, jangan bilang pada siapapun ya!” Langit penasaran. “Tentu saja. Kamu pikir aku gimana?” “Saya…kayaknya tertarik sama salah satu wali pasien yang ditangani Dokter Ardea,” ucap Zayna. “Tertarik maksudmu?” “Saya juga kurang paham karena nggak pernah mengalami perasaan kayak gini sebelumnya.” Langit terdiam mencoba memahami Zayna. “Terus apa hubungannya sama nangis Zayna? Apa dia ngelakuin sesuatu padamu?” Zayna menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak kok dokter. Rasanya kayak nggak ada jalan saja buat cari tahu karena ibaratnya dia orang asing. Masa tiba-tiba mendekat kan mustahil.” Langit menghela nafas panjang. “Gitu ya? Aku jadi penasaran kayak apa orangnya. Tapi bukannya kamu harus nemuin Dokter Ardea dulu? Jangan sampai beliau cari-cari kamu.” “Oh iya, kalau begitu saya permisi dulu dok. Tolong jangan kasih tahu ke siapapun yang barusan saya kasih tahu!” ucap Zayna. Langit tidak mengatakan apapun. Zayna menemui Dokter Ardea dan mulai mengikuti dia ke pasien berikutnya. Dia tidak lagi melihat Zafran. Beberapa jam berlalu. Setelah mengikuti tindakan Dokter Ardea, akhirnya Zayna bisa bersantai juga. Zayna mengelap keringat di wajahnya. “Zayna, akhirnya kamu berhasil bicara sama Dokter Ardea ya?” tanya Nadira. Zayna menganggukkan kepalanya. “Berkat Dokter Langit.” “Kenapa nggak coba lakuin dari dulu coba?” “Entahlah. Baru kepikiran,” jawab Zayna. Langit ramah pada semua orang tetapi tidak dengan Ardea sehingga Zayna kepikiran kalau meminta bantuan Langit buat bicara ke Dokter Ardea, sepertinya bukan keputusan yang tepat. Namun Zayna akhirnya berhasil juga. “Kamu udah dengar belum soal wali pasien Dokter Ardea yang nggak bisa bayar tagihan rumah sakit sampai ratusan juta? Dengar-dengar dia sampai nyerahin sertifikat rumahnya loh,” kata Nadira. Zayna tertegun. “Aku udah dengar tadi pagi ada kebisingan sedikit di ruang adminitrasi,” ucap Zayna. “Tapi katanya reaksi Dokter Ardea biasa saja, tetap dingin, kayak nggak terpengaruh sama sekali, tetap memeriksa pasien itu kan?” “Kalau aku jadi dia juga aku bakalan melakukannya,” jawab Zayna. “Wah! Kamu memang sangat baik, Zayna,” puji Nadira. Zayna kepikiran untuk membantu Zafran. Zafran tiba-tiba lewat di dekat Zayna. Zayna tidak menyadari karena menundukkan kedua matanya ke laptop di depannya. Sementara Nadira justru memperhatikan Zafran yang menatap lurus ke depan. Nadira menyenggol kaki Zayna. Zayna akhirnya menoleh ke Nadira. Lalu Zayna tidak sengaja melihat Zafran. Zayna membeku. “Dinginnya,” kata Nadira. Zayna memperhatikan punggung Zafran yang menjauh. Nadira memperhatikan Zayna. “Zay, jujur ya, baru kali ini aku ngeliat kamu natap lawan jenis sampai kayak gitu,” kata Nadira. “Astaghfirullah.” Zayna memijit keningnya yang mulai pening. “Suka ya Za?” tanya Nadira meledek. Zayna menggelengkan kepalanya. “Aku jadi kepikiran. Kayaknya kamu ngomong ke DOkter Langit bukan karena nggak punya pilihan tetapi karena pengin deketin wali pasien,” kata Nadira. “Yang benar aja?” kaget Zayna tidak percaya Nadira bakal blak-blakkan soal itu. Zayna tidak kuat menghadapi temannya itu. Dia mematikan laptopnya dan menaruhnya ke dalam tasnya. “Ya kan?” tanya Nadira. “Dia sangat cocok kok sama kamu.” “Aku pulang!” “Loh Za? Udah nggak ada jadwal lagi ya?” Zayna menggelengkan kepalanya. “Makasih kerja samanya Nad.” “Kamu ini!” Zayna pulang ke rumah dan mulai bercerita pada orang tuanya mengenai keberadaan Zafran di rumah sakit. Yang jelas, Zayna sejak pertama kali cerita sampai sekarang tidak menyebutkan nama lelaki incarannya karena terlalu malu. Orang tua Zayna resah karena putri mereka berpikir jangan-jangan Zafran adalah jodohnya karena mereka menjadi sering bertemu. “Abi, kayaknya kita perlu mencari dia. Zayna kelihatan nggak fokus. Kalau begitu terus, bisa berdampak pada caranya menjalani hidupnya!” ucap Summayah. Hadi menganggukan kepalanya. Zayna sudah masuk ke kamar jadi tidak mendengarkan orbolan mereka. Zayna menghabiskan sisa hari itu dengan belajar. Keesokan harinya, Zayna mendengar kabar dari Langit kalau Zafran telah membayar semua tagihan rumah sakit lunas. “Lelaki itu kelihatannya mapan,” ucap Langit. Zayna sama sekali tidak peduli Zafran mapan atau tidak. “Tetapi kamu lebih mapan, Za,” ucap Langit seraya tersenyum lembut. “Saya permisi dulu, Dokter Langit,” kata Zayna kemudian pergi ke dalam rumah sakit. Zayna melewati depan ruangan ibu Zafran dirawat. Dia menahan nafas saat melihat Zafran sedang menyuapi seorang anak perempuan yang duduk disampingnya dengan tangannya. Zafran tampaknya menyadari keberadaan Zayna. Dia tidak melihat ke arah Zayna sama sekali. Zayna mencoba melangkah lebih cepat dan tidak mempedulikan Zafran. Ketika Zayna semakin dekat dengan posisi Zafran dan anak kecil itu, Zafran tiba-tiba berdiri dan berbalik, melangkah entah kemana. Zayna akhirnya berhenti melangkah. “Mas! Jangan lama-lama!” teriak anak kecil itu pada Zafran. “Dia pergi karena ada urusan kan bukan buat hindarin aku?” batin Zayna tidak karuan kemudian menghela nafas panjang. Anak kecil itu menoleh ke arah Zayna dan terkejut. Dia tersenyum manis menganggukkan kepalanya pada Zayna. Anak itu pikir Zayna cuma lewat doang di depannya tetapi tiba-tiba dokter itu berhenti dan mendekatinya. “Halo dek, lagi nungguin siapa disini?” tanya Zayna ramah. Anak itu terkejut. “Ibu.” Zayna yakin kalau Zafran melihatnya mendekati anak ini, pasti marah besar. Wajahnya bukan dingin lagi malah gelap. “Begitu. Kamu sangat baik nungguin ibumu yang lagi sakit. Nih kakak kasih hadiah buat kamu,” kata Zayna kemudian mengambil permen dari saku pakaiannya dan memberikannya kepada anak itu. Anak itu senang karena dia tahu permen itu dan sudah lama ingin mencobanya tetapi belum kesamapian. “Makasih kak,” kata anak itu. Zayna tersenyum dan berlalu begitu saja. Hati Zayna sedih. “Aku nggak seharusnya begini terus. Aku harus fokus mengejar cita-citaku,” batin Zayna. Tak disangka, Nadira tidak sengaja melihat Zayna berbicara dengan anak kecil di depan ruangan pasien yang familiar. “Za, serius kamu tadi kayak gitu? Ini pertama kalinya loh aku ngeliat kamu yang interaksi duluan sama wali pasien di luar ruangan pemeriksaanmu,” kata Nadira. Zayna terkejut mendapati Nadira dibalik tembok terutama langsung berkata seperti itu. “Dia masih anak-anak,” ucap Zayna. “Apaan? Kamu juga gak pernah nyapa anak-anak duluan tuh. Akhir-akhir ini, kamu banyak berubah Za,” kata Nadira. “Mungkin karena aku mulai serius ingin jadi dokter spesialis?” tanya Zayna. “Bukan karena wali pasien itu?” tanya Nadira. “Huh?” “Yang baru saja lunasin biaya perawatan ibunya sebanyak 200 juta lebih,” jawab Nadira. Zayna terdiam sejenak. “Udah fokus kerja jangan gosip terus.” “Kamu suka sama dia kan Za?” tanya Nadira yang membuat Zayna langsung menghentikan kakinya. Di arah yang berlawanan, Zafran berjalan ke arahnya tetapi tetap tidak menatap Zayna malah melihat ke arah lain dengan dingin."Kenapa coba disini?!" tanya Zayna seraya tersenyum tipis. "Nungguin kamu. Katanya mau belanja bareng ya harus bareng," ucap Maisha. "Kalau aku ikut, takut boros." "Nggak apa-apa. Rezeki udah ada yang ngatur," ucap Maisha. Maisha menggandeng tangan Zayna dan mereka memasuki toko. Mereka menghampiri orang tua mereka. Daripada ibu mereka, ayah mereka malah sudah memasukkan banyak barang ke keranjang belanja sampai membuat kedua putrinya terdiam heran. "Waktu aku di acara lamaran Raisa, kayaknya nggak gitu banyak belanjanya. Kalau makam-makan gitu gimana kak? Apakah katering atau nyewa koki?!" tanya Zayna. “Katering aja lebih praktis, Zay,” jawab Maisha sambil mengintip keranjang belanja yang sudah penuh dengan berbagai kebutuhan. "Tapi umi maunya nyewa koki ya? Karena kalau katering khawatir kurang dan habis banuak karena tetangga-tetangga juga perlu dikasih kan?" tanya Zayna. "Enggak Za. Kan udah paketan dari sananya. Aku udah coba diskusi sama umi," ucap Maisha. Z
"Zayna, tolong siapkan alat USG portable dan catat vital signs. Kita mulai dari auskultasi jantung dulu."Zayna segera bergerak. Ia membantu Bu Hafsah duduk tegak dengan hati-hati—wanita itu masih tampak lemah setelah dua hari pasca-operasi bypass jantung. Dengan lembut, Zayna memasang elektroda baru di dada pasien untuk EKG dan menyiapkan stetoskop steril.Dr. Ardea mencondongkan tubuh sedikit, mendengarkan detak jantung dengan penuh konsentrasi."Tarik napas dalam, Bu. Bagus... murmur sistoliknya sudah berkurang signifikan. Graft-nya bekerja baik," ujarnya datar namun puas.Zayna mencatat hasil vital signs: tekanan darah 120/80 mmHg, saturasi oksigen 98%, nadi 78 kali per menit, reguler.Setelah itu, Dr. Ardea mengambil probe USG dan memeriksa area jantung melalui layar monitor, sementara Zayna berada di sisi lain ranjang, memastikan pasien tetap nyaman."Alirannya bagus. Tidak ada tanda kebocoran atau trombus. Jika stabil hingga besok, boleh mulai latihan pernapasan dan duduk lebi
Langit menghampiri Zayna dan Nadira yang tengah mengobrol.Nadira cukup terkejut dan langsung menyapa Langit. Zayna juga menyapa tetapi tidak seperti Nadira.“Selamat pagi dokter,” sapa Nadira.“Eh ada Dokter Langit,” kata Zayna.“Pagi-pagi sudah panas banget obrolannya. Ngobrolin apa kalian?!” tanya Dokter Langit dengan nada ramah tetapi tatapannya tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran.Nadira cuma cengengesan. Berbeda dengan Zayna yang malah menundukkan kedua matanya dan benaknya mulai mencari-cari topik apa yang cocok untuk diberikan kepada Dokter Langit.“Bukan apa-apa kok dokter. Iya kan Zayna?!” tanya Nadira.Zayna menoleh cepat ke Nadira.“Kalau jawab begitu, dokter Langit malah jadi semakin curiga Nad,” batin Zayna.“Lagi ngobrolin soal ke luar negeri,” jawab Zayna.“Begitu. Kirain ngobrolin soal surat hitam yang kemarin.”Zayna dan Nadira langsung saling pandang.Zayna tersipu malu dan mulai mengeluh.“Surat hitam apa dok?!” tanya Zayna.“Itu dari kamu kan Zayna? Aku tahu
"Hush, jangan sembarangan kalau bicara." Zayna sampai menyenggol lengan Nadira. Nadira menatap Zayna dengan sedikit kejengkelan di wajahnya dan lelah. Bagaimana tidak lelah, Nadira tahu betul temannya itu memang tipe yang tidak peka. Nadira pikir, Dokter Langit sudah cukup lama memendam perasaan pada Zayna tetapi karena Zayna bukan gadis yang mudah, seolah-olah Dokter Langit tidak punya jalan untuk mendekati Zayna. Nadira sempat mendengar rumor dulu ketika Zayna baru pertama kali masuk rumah sakit ini. Orang-orang mengatakan tatapan Dokter Langit pada Zayna berbeda. Ketika jam istirahat tiba, Nadira yang sedang datang bulan, memutuskan untuk menyerahkan surat dari Zayna kepada Zafran. Namun yang dia temukan malah orang lain. Namun Nadira bersyukur. Nadira tidak tahu apakah dia bisa menghadapi Zafran secara langsung atau tidak. "Permisi, bu," sapa Nadira pada wanita yang duduk di ruang tunggu itu. Wanita itu menoleh ke Nadira dan langsung berdiri. Anak disampin
Malam itu, Zayna tidak bisa berhenti gelisah. Namun ada perasaan bahagia. Tentu saja alasannya karena Zafran. Tak pernah Zayna sangka akan tiba dimana Zafran menanyakan perihal nomor Dokter Ardea. Bahkan jika dia sangat pemalu, sulit dipercaya melakukannya di hadapan teman-teman mereka. Bahkan ketika Zafran digoda, pria itu tidak memberika. reaksi apapun. Zayna sudah berkali-kali menenangkan diri tetapi hasilnya tetap saja. Zafran seperti terus-menerus menghantui pikirannya. Akhirnya Zayna memutuskan untuk menulis surat. Untuk Zafran, Assalamu'alaikum. Pertama-tama, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama Saya Zayna. Seperti yang anda tahu, saya bekerja di rumah sakit tersebut sebagai dokter umum. Mungkin anda belum tahu ini tetapi saya adalah teman alias sahabatnya Raisa, tunangan teman anda, Bilal. Saya sempat melihat anda waktu itu. Bukan karena saya berniat memperhatikan, tapi karena pandangan saya—entah bagaimana—terhenti pada sosok anda. Se
Semua yang ada di meja makan menatap Zayna. “Maaf,” bisik Zayna seraya mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan mulutnya serta pakaiannya yang basah. Zayna juga mengelap meja yang basah. “Nggak perlu terkejut sampai seperti itu, nak,” ucap Ibunya Langit dengan nada rendah. Barangkali supaya Zayna lebih tenang. Tetapi mana mungkin Zayna bisa lebih tenang. Gadis itu menatap Langit meminta penjelasan. Zayna menjadi merasa seperti dijebak. Bagaimana tidak, ketika sebelumnya ibu Langit bicara soal calon istri, Langit tidak mengatakan apapun. Sekarang untuk yang kedua kalinya, Langit juga diam. Zayna tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun dia harus mengatakan yang sebenarnya meskipun mungkin akan melukai perasaan Ibunya Langit. “Maaf, tetapi saya bukan calon pasangan Dokter Langit. Saya cuma temannya. Dokter Langit sudah sering bantu saya dan dia mengajak saya ke rumahnya karena beliau pernah silaturahmi juga ke keluarga saya,” ucap Zayna ramah. Wajah ibu Langit langsung