“Dokter Langit, maaf meminta waktumu,” kata Zayna.
Dokter Langit tertawa kecil. Entah kenapa kadang mendengar Zayna memanggilnya Dokter Langit, rasanya ingin tertawa. “Sudah dibilang berapa kali jangan panggil aku dokter langit. Kalau bisa panggil Kanagara.” Zayna menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin saya berani.” “Pakai saya lagi, jujur saja, menyebalkan Za,” kata Langit seraya melipat kedua tangannya di dada. Zayna dan Langit sudah berteman cukup lama. Orang yang pertama kali membantu Zayna di rumah sakit ini saat dia ada masalah waktu itu adalah Langit. Zayna sedikit tidak suka dengan sikap Langit yang seperti ini. Awalnya dia memanggil Langit pakai nama saja, bahkan terkadang memanggilnya Kanagara, alias nama belakangnya. Namun beberapa temannya bercanda menegurnya untuk memanggil Dokter Langit pakai dokter. Zayna sudah berusaha sopan pada Langit tetapi Langit malah… “Saya ingin meminta tolong,” kata Zayna lembut. “Minta tolong apa? Pakai aku saja!” Zayna menurut karena tidak mau terlibat percakapan panjang dengan Langit. “Aku ingin ikut membantu Dokter Ardea. Kemarin mendengar kerja keras beliau,” kata Zayna. Langit diam sejenak. “Ingin aku bicara padanya?” Zayna menganggukkan kepalanya. Langit terdiam. Dia sama sekali tidak dekat dengan Dokter Ardea tetapi bukan berarti bermusuhan atau semacamnya. Bagaimanapun, mereka adalah rekan sejawat. Tetapi hanya, tidak dekat saja. “Aku coba dulu ya Za,” kata Langit. “Terima kasih banyak dok,” kata Zayna. Langit menganggukkan kepalanya kemudian pamit pergi karena dia sangat sibuk. Zayna juga bergegas kembali ke ruang pemeriksaan. Sebentar lagi, dia pulang. “Harusnya aku ngomong langsung kan ke Dokter Ardea bukannya malah minta Langit?” batin Zayna. Hati Zayna semakin hancur. Malamnya, Zayna dihubungi melalui pesan oleh Dokter Langit. Pastikan kamu tidak mengganggu alur kerja tim. Observasi diperbolehkan saat tindakan dan visit, mulai besok pagi pukul 07.30. Jangan terlambat. Zayna sumringah. Setidaknya, rasa sakit hatinya terobati. Keesokan harinya, Zayna datang ke rumah sakit lebih pagi dari biasanya. Zayna mendengar sedikit keributan di ruang administrasi. Zayna mencoba bertanya pada salah satu staff. “Ada apa?” “Ada wali pasien yang janji akan bayar minggu ini tetapi sampai sekarang belum ada kabar,” jawab staff. “Berapa?” “Dokter mau bayarin? Dengar-dengar sekitar 200 juta lebih.” “Siapa itu?” “Dokter tahu kan? Pasien yang ditangani Dokter Ardea?” Nafas Zayna tercekat. “Seorang lelaki ya?” Staff itu menganggukkan kepalanya. “Dengar-dengar dia bakal nyerahin sertifikat rumahnya. Padahal dengar-dengar dia sangat kaya, seorang arsitek.” Zayna tidak mengatakan apapun. Dia berlalu. Tak disangka ternyata Zafran belum membayar ke rumah sakit. “Dalam seminggu dia berjanji 200 juta, tapi dia belum bayar sampai sekarang, mungkin ada kendala lain bukan karena dia nggak mampu bayar,” batin Zayna. Tentu saja, Zayna paham kalau dia tidak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Setiap orang punya masalah masing-masing. Zayna menjadi ikut sedih. Padahal Zafran bukan siapa-siapanya ditambah lelaki itu mana peduli padanya. Seperti yang dikatakan Bilal, menyerah saja karena Zafran sangat dingin tetapi Zayna malah semakin suka. Akhirnya Zayna bisa ikut memeriksa Ibu Zafran bersama Dokter Ardea. Zayna menyapa ramah pada wanita yang ia kira tunangannya Zafran. “Selamat pagi dok,” sapa wanita itu pada Dokter Ardea dan Dokter Zayna. Zayna mulai memeriksa Ibu Zafran. “Reguler, tidak ada murmur. Nadi perifer teraba kuat. Ekstremitas hangat, tidak ada edema,” lapornya dengan singkat tapi jelas. “Ya. Kamu bisa keluar dulu. Nanti ikut saya ke ruang rawat 306, kita observasi pasien post-PCI lainnya!” ucap Dokter Ardea. “Baik dok,” jawab Zayna. Begitu keluar, Zayna langsung didekati wanita yang ia kira tunangan Zafran. “Dokter, bagaimana keadaan kakak saya?” Zayna terdiam sejenak. Dia berkata di dalam hati, “Jadi dia bukan tunangan Zafran tetapi bibinya.” “Stabil untuk saat ini. Tekanan darah dan nadinya sudah jauh membaik,” jawab Zayna. “Dokter, mengenai biaya rumah sakit, tolong kasih sedikit waktu lagi buat keponakan saya. Pasti dia bayar kok beberapa hari ini,” kata wanita itu. Zayna tidak tahu harus berkata apa. Jadi dia cuma tersenyum dan mengangguk. Pada saat yang sama, terdengar suara langkah sepatu mendekat. Zayna terpaku di tempatnya ketika menoleh ke samping, terlihat Zafran menghampiri ke arahnya lebih tepatnya ke bibinya dengan langkah cepat. Zafran sama sekali tidak menatap Zayna. Ekspresinya datar tetapi tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya. “Bagaimana keadaan umi?” tanya Zafran. Zayna seperti tidak bisa bergerak. Penampilan Zafran benar-benar rapi. Sangat menawan. Jantung Zayna berdegup sangat kencang. Dia berharap Zafran tidak tahu. “Masa dia beneran belum punya calon?” batin Zayna. Bahkan Bilal tidak tahu banyak tentang Zafran karena lelaki itu sangat tertutup. “Membaik kata dokter,” jawab si wanita itu. “Alhamdulillah.” Zayna merasa tidak bisa menghadapi Zafran. Sebelum Zafran berbalik dan menyapanya, dia pergi lebih dulu. “Mari,” kata Zayna pada wanita itu. Zafran sama sekali tidak melihat Zayna seolah-olah menganggap gadis itu tidak pernah ada disana. Wanita itu mengangguk ramah pada Zayna. Zayna menatap kosong ke lantai. Zayna curiga Zafran sudah punya calon. Mengapa dia begitu dingin padanya padahal dia baru saja memeriksa ibunya? Persetan soal dia memeriksa ibunya, tidakkah Zafran sedikit menghormatinya sebagai manusia? “Apa yang kupikirkan Zayna, malah kesannya kamu kayak mengharapkan perhatian, mana boleh kamu begini,” batin Zayna kesal. “Zayna, kamu kenapa?” Zayna tidak sadar kalau kedua matanya berkaca-kaca. Zayna melotot ke Langit yang berpas-pasan dengannya. “Kamu menangis!” Zayna mengusap kedua matanya. “Enggak! Selamat pagi dokter Langit!” sapa Zayna ramah. “Apa kamu dimarahi Dokter Ardea?” tanya Langit. Zayna seperti tersadar kembali. “Oh iya, aku harus bersiap buat observasi lagi.” “Beneran dimarahi?” tanya Langit dengan ekspresi tajam. “Enggak! Justru aku makasih banget sama Dokter Ardea,” jawab Zayna. “Jangan bohong Za! Jangan menutup-nutupi!” tukas Langit. “Serius dok. Aku nggak ada masalah apapun sama Dokter Ardea. Aku nangis karena kebawa suasana saja tadi di ruang pasien ngeliat dia jadi tiba-tiba ngebayangin ibu sendiri,” kata Zayna. “Bohong! Zayna yang kukenal nggak mungkin ngebayangin kayak gitu! Bohongnya juga sudah sangat kelewatan,” kata Langit. Zayna terperangah. Dia sendiri juga bingung sama dirinya sendiri. “Maaf dok. Tapi saya beneran nggak apa-apa,” kata Zayna. “Aku bakalan tanya sama Dokter Ardea!” “Jangan!” Sentak Zayna. “Dokter, serius aku nggak apa-apa. Jangan bikin masalah!” Langit terdiam sejenak memperhatikan Zayna yang terlihat sangat panik. Setahu Langit, Zayna terkadang punya masalah tetapi gadis itu hebat, seolah-olah tidak terpengaruh oleh badai masalahnya. Bahkan jika Zayna berada di titik terendah, gadis itu berusaha kuat. Namun Zayna baru saja menangis. Langit sangat penasaran. “Za, kita sudah jadi teman kan? Kalau ada masalah, cerita aja siapa tahu aku bisa bantu!”"Zayna, tolong siapkan alat USG portable dan catat vital signs. Kita mulai dari auskultasi jantung dulu."Zayna segera bergerak. Ia membantu Bu Hafsah duduk tegak dengan hati-hati—wanita itu masih tampak lemah setelah dua hari pasca-operasi bypass jantung. Dengan lembut, Zayna memasang elektroda baru di dada pasien untuk EKG dan menyiapkan stetoskop steril.Dr. Ardea mencondongkan tubuh sedikit, mendengarkan detak jantung dengan penuh konsentrasi."Tarik napas dalam, Bu. Bagus... murmur sistoliknya sudah berkurang signifikan. Graft-nya bekerja baik," ujarnya datar namun puas.Zayna mencatat hasil vital signs: tekanan darah 120/80 mmHg, saturasi oksigen 98%, nadi 78 kali per menit, reguler.Setelah itu, Dr. Ardea mengambil probe USG dan memeriksa area jantung melalui layar monitor, sementara Zayna berada di sisi lain ranjang, memastikan pasien tetap nyaman."Alirannya bagus. Tidak ada tanda kebocoran atau trombus. Jika stabil hingga besok, boleh mulai latihan pernapasan dan duduk lebi
Langit menghampiri Zayna dan Nadira yang tengah mengobrol.Nadira cukup terkejut dan langsung menyapa Langit. Zayna juga menyapa tetapi tidak seperti Nadira.“Selamat pagi dokter,” sapa Nadira.“Eh ada Dokter Langit,” kata Zayna.“Pagi-pagi sudah panas banget obrolannya. Ngobrolin apa kalian?!” tanya Dokter Langit dengan nada ramah tetapi tatapannya tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran.Nadira cuma cengengesan. Berbeda dengan Zayna yang malah menundukkan kedua matanya dan benaknya mulai mencari-cari topik apa yang cocok untuk diberikan kepada Dokter Langit.“Bukan apa-apa kok dokter. Iya kan Zayna?!” tanya Nadira.Zayna menoleh cepat ke Nadira.“Kalau jawab begitu, dokter Langit malah jadi semakin curiga Nad,” batin Zayna.“Lagi ngobrolin soal ke luar negeri,” jawab Zayna.“Begitu. Kirain ngobrolin soal surat hitam yang kemarin.”Zayna dan Nadira langsung saling pandang.Zayna tersipu malu dan mulai mengeluh.“Surat hitam apa dok?!” tanya Zayna.“Itu dari kamu kan Zayna? Aku tahu
"Hush, jangan sembarangan kalau bicara." Zayna sampai menyenggol lengan Nadira. Nadira menatap Zayna dengan sedikit kejengkelan di wajahnya dan lelah. Bagaimana tidak lelah, Nadira tahu betul temannya itu memang tipe yang tidak peka. Nadira pikir, Dokter Langit sudah cukup lama memendam perasaan pada Zayna tetapi karena Zayna bukan gadis yang mudah, seolah-olah Dokter Langit tidak punya jalan untuk mendekati Zayna. Nadira sempat mendengar rumor dulu ketika Zayna baru pertama kali masuk rumah sakit ini. Orang-orang mengatakan tatapan Dokter Langit pada Zayna berbeda. Ketika jam istirahat tiba, Nadira yang sedang datang bulan, memutuskan untuk menyerahkan surat dari Zayna kepada Zafran. Namun yang dia temukan malah orang lain. Namun Nadira bersyukur. Nadira tidak tahu apakah dia bisa menghadapi Zafran secara langsung atau tidak. "Permisi, bu," sapa Nadira pada wanita yang duduk di ruang tunggu itu. Wanita itu menoleh ke Nadira dan langsung berdiri. Anak disampin
Malam itu, Zayna tidak bisa berhenti gelisah. Namun ada perasaan bahagia. Tentu saja alasannya karena Zafran. Tak pernah Zayna sangka akan tiba dimana Zafran menanyakan perihal nomor Dokter Ardea. Bahkan jika dia sangat pemalu, sulit dipercaya melakukannya di hadapan teman-teman mereka. Bahkan ketika Zafran digoda, pria itu tidak memberika. reaksi apapun. Zayna sudah berkali-kali menenangkan diri tetapi hasilnya tetap saja. Zafran seperti terus-menerus menghantui pikirannya. Akhirnya Zayna memutuskan untuk menulis surat. Untuk Zafran, Assalamu'alaikum. Pertama-tama, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama Saya Zayna. Seperti yang anda tahu, saya bekerja di rumah sakit tersebut sebagai dokter umum. Mungkin anda belum tahu ini tetapi saya adalah teman alias sahabatnya Raisa, tunangan teman anda, Bilal. Saya sempat melihat anda waktu itu. Bukan karena saya berniat memperhatikan, tapi karena pandangan saya—entah bagaimana—terhenti pada sosok anda. Se
Semua yang ada di meja makan menatap Zayna. “Maaf,” bisik Zayna seraya mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan mulutnya serta pakaiannya yang basah. Zayna juga mengelap meja yang basah. “Nggak perlu terkejut sampai seperti itu, nak,” ucap Ibunya Langit dengan nada rendah. Barangkali supaya Zayna lebih tenang. Tetapi mana mungkin Zayna bisa lebih tenang. Gadis itu menatap Langit meminta penjelasan. Zayna menjadi merasa seperti dijebak. Bagaimana tidak, ketika sebelumnya ibu Langit bicara soal calon istri, Langit tidak mengatakan apapun. Sekarang untuk yang kedua kalinya, Langit juga diam. Zayna tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun dia harus mengatakan yang sebenarnya meskipun mungkin akan melukai perasaan Ibunya Langit. “Maaf, tetapi saya bukan calon pasangan Dokter Langit. Saya cuma temannya. Dokter Langit sudah sering bantu saya dan dia mengajak saya ke rumahnya karena beliau pernah silaturahmi juga ke keluarga saya,” ucap Zayna ramah. Wajah ibu Langit langsung
"Kenapa kamu tiba-tiba mempertanyakan itu?" Langit terlihat penasaran. Zayna terdiam sejenak sambil berpikir mungkin saja Langit merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut karena dianggap mengusik privasinya. "Gak ada dokter. Saya minta maaf. Saya tarik kembali pertanyaan saya," kata Zayna cepat. "Ayolah. Aku serius penasaran tahu." Zayna melirik ke arah lain, tampak ragu-ragu menjawab karena menurutnya Langit seperti tersinggung tetapi berusaha menahan amarahnya dan sepertinya dia akan meledakkan amarahnya kalau dia salah menjawab. "Karena Dokter Langit sudah banyak bantu saya jadi saya juga ingin bantu dokter Langit." "Apa hubungannya sama pasangan?" "Mungkin saja dokter ingin saya carikan pasangan hehe. Teman saya alhamdulillah cukup banyak.” “Menurut kamu banyakan teman kamu atau temanku?” tanya Dokter Langit tak lagi tersenyum. Zayna sadar bahwa keputusannya mengenalkan Dokter Langit dengan temannya adalah keputusan yang salah. Lagi pula sulit diperca