"Ini bau apaan sih, Mas?" Bu Susi menutup hidung. "Gak ada yang bau, Bu Susi salah cium kali." Mas sayur melihat kanan kiri, awas mencari bau yang Bu Susi maksud. Namun tetap saja tak ia temukan. "Bau bangkai, kalian gak cium apa?" Bu Susi menutup hidung. "Perasaan Bu Susi saja kali. Orang kita gak cium apa-apa kok. Gak usah ngadi-ngadi, Bu."Bu Susi diam sambil menutup hidung rapat. Ada-ada saja tingkah wanita itu. "Ayam satu bungkus, Mas. Kalau ada yang sayap, ya," pinta Bu Aini. Penjual sayur itu segera mengambil ayam permintaan Bu Aini. "Ubinya ada, Mas? Satu, ya."Lelaki itu segera mengambilkan pisang dan ubi. Kemudian memberikannya padaku. "Aduh, Bu Aini kentut, ya. Baunya kok gak enak.""Is, ngawur saja Bu Susi ini. Hidung kamu yang bermasalah. Periksa sana!" Bu Aini menunjuk Bu Susi sambil membawa kantung plastik berisi ayam. Bu Susi segera berlari, menyingkir dari kerumunan. Howeek... Howeek.... Bu Susi muntah di depan rumah Bu Aini. Tepat di tengah-tengah gerbang.
Plastik dan kertas model gamis sudah dibuang. Betapa terkejutnya kami saat melihat penampakan kain itu. Kain warna hitam dengan motif polkadot berwarna merah menyala. Sungguh aku tidak sanggup membayangkan akan mengenakan seragam model itu. Dibayar pun aku tidak mau. Astaga, begini jika duo wanita itu yang membeli kain seragam. Hancur. "Yakin mau pakai ini untuk seragam, Bu RT?" tanya Bu Aini mewakili isi hatiku saat ini. "Em, bagaimana ya, Bu. Saya bingung harus apa. Kain sudah terlanjur dibeli dan tidak bisa diganti.""Bukannya Bu RT ikut, ya? Harusnya warna di share di grup, kan? Tapi kenapa tidak? Ini seragam lho, Bu. Bukan beli untuk pribadi," ucap Alisa kesal. "Sa... Saya...." Bu RT gelagapan, ia bingung harus menjawab apa. Karena memang ia tak memiliki jawaban. Ah, mana mungkin Bu RT berani dengan adik ipar. "Jadi harus begaimana, dong, Bu?" tanyaku. "Dengan terpaksa itu tetap menjadi seragam kita. Kita bagaimana kita menjahitnya, Bu."Aku menghela napas dan mengangguk m
"Sudah berani makan nasi, Bun?" tanya Mas Ridho saat melihatku memindahkan nasi di piring. "Coba aja, Yah. Tempe mendoan buatan Ayah sepertinya enak," ucapku seraya melirik piring berisi tempe mendoan di atas meja. Tanpa menunggu jawaban aku segera melahap nasi dan tempe mendoan itu. Tidak ada rasa mual seperti sebelumnya. Di lidah memang ada sedikit rasa pahit. Namun itu biasa dialami ibu hamil. Seperti kata dokter tempo hari. "Boleh nambah, Yah?"Suamiku mengangguk lalu tersenyum. "Akhirnya kamu bisa makan nasi, Bun. Ayah seneng. Bosan tiap hari ada pisang dan ubi di atas meja," ledek Mas Ridho sambil melirik pisang ambon yang kemarin kubeli di tukang sayur. Aku memang bosan dengan pisang dan ubi. Namun mau bagaimana lagi jika hanya makanan itu yang mampu bertahan di dalam perut. Semoga kali ini tidak ada drama muntah untuk kesekian kalinya. "Siang mau Ayah masakin atau Ayah kirim dari restoran?" tanya Mas Ridho ketika kami selesai sarapan. Aku meletakkan piring, menoleh ke s
CIIT.... Seketika aku peluk erat perut wanita di depanku. "Hati-hati, bawa bumil ini!" Aku cubit perutnya hingga Alisa menjerit. "Ada kucing lewat, Mbak."Kucing warna hitam itu segera berlari, menjauh dari motor kami. Beruntung Alisa berhenti tepat waktu, meski jantungku serasa mau berhenti. Ketakutan. "Mbak, orang yang ngikutin dah pergi belum?" Seketika aku menoleh ke belakang. Lelaki dengan pakaian serba hitam menghilang entah ke mana. Aku bernapas lega, akhirnya dia pergi."Sudah hilang, ya, Mbak?""Sudah, Lis. Jangan-jangan dia gak ngikutin kita. Hanya searah saja.""Iya kali, Mbak. Kita ke PEDE an sih, Mbak?"Kami tertawa lepas, mentertawakan kecurigaan yang tidan bermutu. Terlalu banyak berita penculikan membuat aku berpikir yang tidak-tidak. Mana mungkin ada orang yang mau menculik kami. Di siang bolong begini. "Kita putar balik saja, Lis. Ke Abang penjual sop buah."Tanpa menjawab Alisa dengan hati-hati membelokkan kuda besinya. Perlahan kendaraan roda dua itu melaju,
Aku dan Alisa saling pandang lalu mengangguk bersamaan. Kami segera menghabiskan sisa buah yang ada di mangkuk. Pulang jalan terbaik menghindari pertanyaan yang tak ada habisnya. "Kami permisi, Pak Adit," ucapku lalu beranjak pergi diikuti Alisa di belakang. "Mbak Salma hutang penjelasan padaku," ucap Alisa saat aku naik ke motornya. Sudah kutebak, dia akan mengatakan itu. Mau tak mau harus kubuka kembali kenangan pahit itu. Hening. Sepanjang jalan kami memilih diam. Pikiranku berkelana, memikirkan kenangan lama yang menyiksa rongga dada. Bohong jika aku sudah melupakan semua kejadian itu. Buktinya kebencian masih singgah di hati ini. Kendaraan roda dua Alisa berhenti tepat di depan gerbang. "Penjelasannya besok, ya, Lis. Mbak capek."Wanita itu mengangguk lalu kembali melajukan motornya meninggalkan halaman rumah. Aku melangkah gontai masuk ke rumah. Setelah itu kurebahkan tubuh ini di atas ranjang. Lelah, tapi jauh melelahkan mendengar pertanyaan Mas Adit tadi. Lelaki itu ke
"I-ini tidak seperti yang Bu Susi pikirkan. Saya tidak berduaan dengan Pak Adit," ucapku terbata. "Tak seperti yang aku pikirkan gimana? Jelas-jelas kalian berduaan di warung es. Duduk berhadapan. Apa namanya kalau tidak selingkuh? Kalian sengaja, kan bertemu di sana. Supaya bebas pacaran, kan? Ngaku!""Saya bersama Alisa. Ibu lihat sendiri, kan? Saya boncengan dengan Alisa. Jangan menuduh orang sembarangan, Bu. Nanti jadinya fitnah!""Fitnah apa? Jelas-jelas kalian selingkuh. Ini buktinya!" Bu Susi terus saja menuduhku. Dia tak percaya dengan penjelasan yang aku berikan. Entah dari mana ia mendapatkan foto itu. Siapa yang iseng melakukan hal ini? Astaga... Kapan hidupku tenang? Terbebas dari masalah seperti ini? "Ngaku kamu, Salma! Ngaku!" Bu Susi menatapku tajam! Lelah memberi penjelasan pada orang yang tidak mau mendengar. Aku ambil teh yang sudah dingin itu,meminumnya sambil mendengar ocehan Bu Susi. Ini seperti di cafe menikmati minuman sambil mendengarkan musik. Namun kali i
Seketika semua orang berlari menuju gerbang. Mas Adit dengan cepat membopong Bu Susi yang meringis kesakitan. "Da... Darah." Aku menunjuk cairan merah yang ada di mata kakinya. Mas Adit menatap kaki Bu Susi, wajah lelaki itu semakin tegang."Mama kenapa, Pa?" Tyo menarik ujung koko yang Mas Adit kenakan. Anak itu bingung harus bagaimana. "Tolong!" teriak Mas Adit. Namun warga yang lain seolah diam. Entah ke mana hati nurani mereka. Mungkin kesal dengan tingkah Bu Susi yang selalu memancing emosi. "Adi, tolong antar Pak Adit," ucap Mas Ridho akhirnya. Setelah mendapatkan kunci mobil, asisten Mas Ridho itu segera mengantar Bu Susi ke rumah sakit terdekat. Aku hanya berharap janin dalam perutnya bisa selamat. Hanya itu. Tetangga terdekat mulai meninggalkan rumah kami. Hanya aku dan Mas Ridho yang masih duduk di teras. "Bunda gak capek?" tanya Mas Ridho. Aku menggeleng sambil membenarkan posisi dudukku. Pantat panas dengan pinggang serasa mau patah. Namun rasa khawatir membuatku
"Bu Susi bilang apa tadi? Rp. 200.000,- ?" ucap Bu Rini sambil menatap Bu Aini. Kedua wanita itu saling pandang. "Saya juga dengar seperti itu, Bu." Alisa ikut berkomentar. Kini semua mata tertuju pada satu titik yang sama, Bu Tini. Namun wanita itu tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Ibu-Ibu, saya permisi pulang dulu, ya." Bu Tini melangkah pergi. "Tunggu, Bu!" Sebuah tangan menghentikan gerakan tubuh wanita itu. Dengan sedikit kesal Bu Tini membalikkan badan, menatap tajam Alisa. Anak itu selalu berani. "Saya mau pulang, kenapa kamu cekal? Jangan kurang ajar sama orang tua!"Alisa tersenyum datar, melepaskan lengan yang sempat ia genggam. Tak ada raut bersalah. Sikapnya membuat Bu Tini naik darah. Anak itu terlampau berani. Tapi aku suka. "Bukankah dana sosial harusnya Rp. 500.000,- untuk anggota yang masuk rumah sakit. Tapi kenapa cuman Rp 200.000,-?""Dari mana kamu tahu uangnya hanya Rp. 200.000,-?""Tadi suara Bu Susi terdengar jelas. Memangnya Bu Tini gak denger?