Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK

Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK

Oleh:  Dyah Ayu Prabandari  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
2 Peringkat
57Bab
17.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Salma dikeluarkan dari grup ibu PKK karena restorannya terbakar. Sejak saat itu Bu Susi selalu mengejeknya. Hingga sesuatu saat Salma tahu apa penyebab tetangganya selalu bersikap buruk kepadanya.

Lihat lebih banyak
Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Meta Prayitno
Ceritanya cukup bagus, cuma endingnya kurang berkesan.
2023-03-28 20:44:10
2
user avatar
Dyah Ayu Prabandari
selamat membaca kakak
2023-01-31 17:24:11
0
57 Bab
1.Arisan
"Mau ke mana, Bun?" Mas Ridho berdiri tepat di belakangku. "Mau arisan sama ibu-ibu kompleks, Yah." Mas Ridho menautkan dua alis. "Ibu Susi tadi baru saja sampai rumah, katanya habis dari arisan."Aku menautkan dua alis, sedikit bingung dengan ucapan Mas Ridho. Bu Susi arisan apa? Kalimat itu seketika hadir lalu memenuhi isi kepalaku. Namun segera kutepis pikiran buruk yang sempat menerpa. Tidak mungkin arisan PKK dimajukan, tidak ada pesan masuk, baik di grup ibu PKK atau pesan pribadi. "Mungkin Bu Susi arisan yang lain, Yah. Namanya juga orang kaya arisannya di mana-mana."Suamiku hanya mengangguk tanpa membahas masalah arisan itu lagi. Setelah siap aku segera mengambil tas lalu melangkah menuju pintu depan. Motor sudah terparkir rapi di halaman rumah. Tentu Mas Ridho yang menyiapkannya. Dia tahu istrinya paling malas mengeluarkan kendaraan roda dua dari garasi. "Bunda gak pakai tas yang Ayah belikan?" Aku menggeleng. "Sayang, Yah. Cuman ke arisan doang. Nanti kalau ke kondang
Baca selengkapnya
2.Kejutan
Aku menghentikan langkah lalu berjalan kembali menuju pagar pembatas. "Aw... Sakit," rintih Bu Susi. Aku menutup mulut, menahan tawa yang hampir pecah. Memang enak jatuh, julid sih jadi orang. "Salma kurang ajar! Awas kamu, ya!"Aku berjalan mengendap, meninggalkan Bu Susi yang meringis kesakitan. Semoga karma yang didapat seketika membuat tingkah julidnya berkurang. Ya, semoga saja. "Kok udah pulang, Bun? Senyum-senyum lagi." Mas Ridho menatapku keheranan. "Ada yang mulutnya julid langsung ditegur sama Allah, Yah.""Siapa, Bun?""Tetangga sebelah, Yah.""Bu Susi?" Aku mengangguk lalu tertawa saat membayangkan ekspresi Bu Susi yang meringis kesakitan. Dia pasti memegangi pantatnya yang panas. "Maksud Bunda gimana, sih? Ayah gak ngerti, karma dan julid bagaimana?" Mas Ridho mendekat lalu menarik tanganku agar duduk di sofa. Aku mulai menceritakan semua. Dari arisan yang dimajukan tanpa sepengetahuanku juga omongan dan tatapan orang yang tak enak. Rasa kesal itu kembali hadir. Ak
Baca selengkapnya
3.Tanaman
"Bu... Bu Salma," ucap Bu RT terbata. Mulutnya terbuka lebar hingga mie yang belum masuk ke perut jatuh kembali ke mangkuk. Semua orang berbisik-bisik saat menatapku. Entah apa yang mereka katakan, aku tak terlalu memperhatikan. "Lho kenapa diam? Ayo makan!" Bu Tini memberi aba-aba. Herannya semua orang kembali menikmati makanan yang terbuat dari tepung itu. Sesekali mereka menatap ke arahku. Apa takut jika aku memintanya? "Aku dan Mbak Salma sudah dipesankan belum ini?" tanya Alisa memecah ketegangan yang sempat tercipta. "Kenapa dia ada di sini? Mbak Sari yang kasih tau, ya?" bisik Bu Susi tapi masih terdengar jelas di telingaku. Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Bu Sari memang istri Ketua Rukun Tetangga. Namun beliau tak berani menentang trio wek-wek yang duduk di sebelahnya. Lalu apa gunanya jabatan itu? Ah, aku lupa dia kakak ipar Bu Susi. Mana berani Bu RT menentang adik ipar yang tajir melintir, bisa berkurang uang bulanannya. Uang bisa membeli semua termasuk har
Baca selengkapnya
4.Pinjam Uang
Mendengar kata uang membuat perasaanku tidak enak. Aku menoleh kanan dan kiri, tak ada satu pun orang yang berada di luar. Pintu-pintu rumah itu telah ditutup rapat-rapat. Aku harus segera masuk sebelum mimpi buruk menjadi nyata. Kran kumatikan, lalu berjalan masuk rumah. Dengan hati-hati kututup pintu berwarna coklat itu. "Ada apa, Bun?" tanya Mas Ridho saat melihatku seperti dikejar setan. "Ada setan, Yah." Aku melangkah melewatinya yang tengah menyeruput kopi instan. "Setan apa?" tanyanya seraya meletakkan cangkir berisi kopi itu di atas meja. "Setan duit, Yah.""Mana ada setan duit, Bun?" Aku menghembuskan napas kasar, kesal karena Mas Ridho menghalangiku melangkah menuju ruang keluarga. Awas saja kalau setan duitnya datang, Mas Ridho yang harus tanggung jawab! "Sebentar lagi datang. Ayah yang harus tanggung jawab." Aku melanjutkan langkah, tak kuhiraukan sorot tanda tanya dari netranya. Baru saja kujatuhkan bobot di atas sofa, terdengar suara ketukan pintu. "Bu Salma ...
Baca selengkapnya
5. Liburan
Telinga kubuka lebar-lebar, tiap kata yang kelar dari dua wanita itu sungguh menyiksa hati.Orang yang kita tolong tak selamanya berterimakasih. Nyatanya ada saja yang menusuk dari belakang. Sudah ditolong tapi justru memutar balikkan fakta. Menghela napas, kuatur dada yang bergemuruh, hampir meledak. Beristighfar pelan agar amarah perlahan menghilang. "Kenapa, Bun?" tanya Mas Ridho yang sudah berdiri di sampingku. Lelaki yang menemaniku lima tahun itu menatap heran saat air bah turun dari kedua netra. Tangisku pecah kala ia menarik tubuh ini ke dalam pelukannya. "Kenapa?" Aku diam tapi tangisku semakin menjadi. "Malu dilihat orang, Bun. Nanti Ayah dikira KDRT lagi." Mas Ridho menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Cengeng memang, tapi hanya ini yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa sakit hati. "Ayo, masuk! Tidak enak dilihat orang." Mas Ridho menuntunku masuk ke rumah. Pupuk yang sempat ia ambil tergeletak di halaman begitu saja. "Duduk dulu, Bun." Mas Ridho mem
Baca selengkapnya
6.Tertinggal
"Bu Tini," ucapku pelan. "Bu Salma liburan di sini juga? Kok bisa kebetulan, ya?"Aku rasa ini kebetulan. Kalau pun kebetulan, mana mungkin wanita itu tahu kamarku. Apa jangan-jangan.... Ah, kenapa aku jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. Bisa saja ini kebetulan. Namun kenapa harus di sini? Saat aku ingin bebas dari mereka tapi kenyataan menolaknya. "I-iya, Bu.""Sebentar lagi Bu Susi, Tyo dan Bu Santi akan ke sini. Biasalah kami selalu piknik bersama. Namanya juga orang kaya, duitnya ada di mana-mana.""Putri Ibu tidak diajak?""Dia sudah SMP, jadi tidak suka pergi dengan emak-emak.""0...." Hanya itu yang kukatakan. "Kita juga bisa berlibur bersama lho, Bu Salma. Eh, tapi kalau Ibu punya uang." Dia menutup mulut seakan mengejekku. Astaga, kenapa ada orang seperti itu. Menilai sesuatu dari materinya. "Saya permisi, selamat berlibur.""Bu Salma, tunggu...."Segera kututup pintu rapat-rapat. Tidak kuhiraukan Bu Tini yang kembali mengetuk pintu. "Siapa, Bun? Kok ditutup pintunya
Baca selengkapnya
7.Bu Susu Kena Bully
Belum sempat aku menjawab perkataan Mas Ridho, sebuah panggilan masuk di nomorku. Aku menelan ludah melihat siapa nama yang tertera di layar ponsel. "Bu Susi, Yah." Aku berikan benda pipih itu pada Mas Ridho. Aku tahan rasa mual yang seketika hadir. Belum mendengar suara Bu Susi saja perutku sudah seperti ini. Bagaimana jika bertemu? "Ayah saja yang angkat," ucapku sambil menahan rasa sakit di perut. "Bu Salma ada di mana? Kenapa mobilnya tidak ada di tempat parkir. Jangan bilang Ibu meninggalkan kami, ya? Tega banget Bu. Gak kasihan sama kami? Kamu ke hotelnya bagaimana?" cecar Bu Susi. Aku bisa mendengar pembicaraan mereka karena Mas Ridho menyalakan pengeras suara. Namun aku diam, tak mengeluarkan satu kata pun. Biarlah suamiku yang menjawab runtutan pertanyaan itu. "Maaf, Bu Susi ini Ridho.""Eh, Pak Ridho to. Maaf, saya kira Bu Salma."Aku menutup mulut, manahan tawa yang hampir meledak. Nada suara Bu Susi jauh berbeda. Tidak segarang saat memanggil namaku tadi. "Maaf, ya,
Baca selengkapnya
Mogok
Sopir pickup itu keluar lalu berjalan mendekat ke arah kami. "Bagaimana ini, Yah?" bisikku. "Balik badan, kita pura-pura tak tahu."Aku dan Mas Ridho sontak membalikkan, kami berjalan perlahan bagai tak mengetahui apa pun. Sejujurnya jantungku berdebar, rasa takut seketika menelusup dalam rongga dada. Mereka yang berbuat salah lalu kenapa aku yang gugup? "Mbak! Mas! Tunggu!" teriak lelaki itu lantang. Kami berhenti lalu membalikkan badan. Mas Ridho tersenyum tapi aku memilih diam seraya menahan rasa takut yang tiba-tiba singgah di sini, di hati. "Apa apa, Pak?" tanya Mas Ridho ramah. "Tolong bayar uang jalan tiga wanita dam satu anak lelaki itu."Mas Ridho menautkan dua alis,menatap bingung pada lelaki di hadapannya. Meski aku tahu ia hanya pura-pura. Tapi kurasa acting-nya cukup bagus. "Maksudnya apa, ya, Mas? Saya tidak mengerti.""Jangan bohong, Mas. Kata tiga ibu tadi uangnya Mas dan Mbak yang bayar. Tiga wanita yang barusan turun teman kalian, kan?" Wajahnya lelaki tampak
Baca selengkapnya
Tamu Tengah Malam
"Duluan, ya, Bu Susi!" ucapku saat mobil kami melewati mereka. Tak lupa aku lambaikan tangan. "Salma, kurang ajar!" teriak Bu Susi sambil mengepalkan tangan ke atas. "Dorong, Bu!" teriak Bu Tini dari dalam. Ya Allah, maafkan diri ini yang tertawa di atas penderitaan orang lain. Namun aku tak bisa bohong jika mereka begitu lucu. Hanya kali ini. "Bunda udah ih, gak baik ngetawain orang lain. Tapi kali ini gak apa-apa, Ayah juga mau ketawa."Hampir saja aku marah karena Mas Ridho memintaku berhenti tertawa. Tapi ternyata suamiku juga melakukan hal yang sama. Setelah perjalanan panjang akhirnya kami sampai di rumah. Segera kami masuk sambil membawa barang-barang. "Sudah dibawa masuk semua, Bun?" tanya Mas Ridho sambil meletakkan barang-barang di dekat sofa. "Sudah, Yah. Ini yang terakhir." Aku letakkan beberapa kotak bakpia di atas meja. Kamu duduk sambil meluruskan kaki yang terasa pegal. Lelah karena perjalanan jauh. Liburan tak hanya membahagiakan tapi juga menguras tenaga dan
Baca selengkapnya
Keracunan
Pintu digedor berulang kali. Teriakan memanggil nama Bu Susi menggema. Tak bisakah lebih sopan? Ini sudah malam, menganggu orang lain saja. Namun sebuah logika bertanya, tak mungkin mereka bertindak seperti itu tanpa alasan yang jelas. "Ada apa ini, Pak?" tanya Mas Ridho seraya melangkah mendekat. Aku mengikuti lalu berdiri tepat di belakang Mas Ridho. Sambil bersandar di pagar aku menatap sekitar. Lima orang lelaki berdiri sambil memanggil nama Bu Susi. Semuanya adalah bapak-bapak komplek. "Bu Susi keluar! Kamu harus bertanggung jawab," ujar Pak Rudi sambil mengetuk pintu keras. "Ada apa, Pak?" tanya Mas Ridho lagi. "Bu Susi memberikan oleh-oleh peyek udang dan undur-undur. Setelah kami makan jadi muntah-muntah. Makanan itu pasti sudah tak layak di konsumsi.""Tapi jangan malam-malam begini, Pak. Mengganggu warga yang lain. Lebih diselesaikan besok pagi saja," ucap Mas Ridho. Namun rasa marah membuat masukan Mas Ridho tak dianggap. "Aku bakar rumah kamu, Bu Susi!" teriak Pak Ru
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status