Hai gues, masih mantengin novel ini? Insya Allah dua bab lagi end ya. Ikuti terus kelanjutan dan keseruannya.
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Apa maksud kamu, Ziya?” tanya Khayra dengan tubuh yang bergetar. Sekuat tenaga dia tetap berdiri tegak, walau baru saja mendapatkan kabar yang tidak mengenakkan. “Aku hamil, Kak. Anak ini milik Yuda,” isak Ziya. Degh! “Ba-bagaimana bisa?” Khayra mendadak tidak bisa berkata-kata. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya. Dadanya terasa begitu sesak, seakan baru saja mendapat hantaman besar. “Aku berani bersumpah, Kak. Ini anak dari Yuda, kalau Kak Khayra tidak percaya, kita bisa lakukan tes DNA,” isak Ziya. “Ziya, Yuda adalah calon suami Kakak. Kami akan menikah dua bulan lagi. Ba-bagaimana bisa kalian—?” air mata yang sejak tadi ditahan oleh Khayra, akhirnya tumpah ruah membasahi pipinya. Hatinya benar-benar sakit sekaligus tidak percaya. Kedua tangannya berkeringat, bahkan kedua kakinya seakan sudah tidak mampu menopang tubuhnya. “Maafkan aku, Kak,” isak Ziya menundukkan kepalanya. “Kami melakukannya dalam keadaan tidak sadar, kami sama-sama mabuk saat itu,” isak Ziya. Khayra
“Kay, tunggu dulu!” Yuda segera menahan tangan Khayra yang berlari menjauh dari rumahnya begitu melihat mantan kekasihnya itu. “Lepasin!” Khayra menepis tangan Yuda dengan kasar. Mereka tiba di taman yang tampak sepi, tak jauh dari kediaman gadis itu. “Kay, maafin aku. Malam itu terjadi begitu saja. Aku khilaf, aku terpengaruh alkohol saat itu, Kay.” Yuda berusaha membujuk Khayra dan menjelaskan semuanya. “Ya, dan khilafmu itu sudah membuat dampak sejauh ini, Yud!” Khayra menyeka air matanya. Tubuhnya bergetar hebat, sekuat tenaga dia menahan dirinya untuk tidak memukul pria di depannya. “Aku tahu. Ini benar-benar di luar dugaan. Padahal aku sudah memakai pengaman—” Yuda tersadar akan apa yang baru saja dia katakan. Khayra memalingkan wajah seraya menyeka air mata di pipinya. “Kamu bisa menyembunyikan api, tapi tidak dengan asapnya, Yud. Entah memang efek mabuk atau tidak, sempat-sempatnya ingat memakai pengaman!” ucap Khayra benar-benar marah pada pria di depannya itu.“Kita ma
Khayra menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya sudah dipoles natural, dia mengenakan kebaya berwarna pastel sesuai tema dari acara yang akan diselenggarakan hari ini. Tanpa terasa tibalah acara pernikahan Yuda dan Ziya. Dua orang munafik kalau menurut Khayra. ‘Kamu kuat, Khayra,’ batin Khayra walau akhirnya air mata itu kembali luruh membasahi pipinya. “Ku mohon, berhentilah menangis, riasannya bisa rusak,” gumamnya bercermin dengan menyeka air mata memakai tissue. Tetapi percuma saja karena air mata itu malah semakin deras luruh membasahi pipi. Khayra menutup wajahnya menggunakan dua tangannya. Dia ternyata tidak sekuat itu untuk menghadapi ujian ini. Sakit sekali rasanya, sampai sulit sekali untuk bernapas. “Kay, Tante tidak pernah meminta bayaran apa pun padamu. Tante dan Om menerima dan merawatmu selama ini tanpa mempermasalahkan biaya yang sudah kami keluarkan untuk kamu. Bagaimana pun, kamu keponakan kami. Tapi kali ini saja, Tante mohon sama kamu, Kay. Tante
“Pagi semuanya,” sapa Khayra saat baru saja sampai di kantor. “Pagi, Ra,” jawab rekan-rekannya yang lain. Khayra menoleh ke dalam ruangan Kaivan di mana pria itu sudah duduk manis di singgasananya dengan sorot mata tajam mengarah pada Khayra. Khayra langsung memalingkan wajahnya dan menduduki kursi. “Hari ini katanya akan ada yang di minta ke area,” bisik Sunny. “Kenapa? Apa ada masalah jaringan?” tanya Khayra. “Tidak ada, hanya ada, katanya akan ke proyek,” jawab Sunny. “Paling Cecep lagi yang diajak, kan?” tanya Khayra. “Aku tidak tahu,” jawab Sunny. “Khayra, ke ruangan saya,” panggil Kaivan. Khayra dan Sunny saling memberi kode lewat mata. Khayra bingung kenapa dia yang dipanggil, biasanya yang menemani Kaivan ke area adalah Cecep. “Bapak memanggil saya?” tanya Khayra saat sudah berada di dalam ruangan Kaivan. Kaivan melihat ke arah Khayra dengan intens. “Kamu ikut saya ke area,” ucap Kaivan. “Kenapa saya?” tanya Khayra terlihat bingung. “Memangnya kenapa kalau kamu?
“Kamu sudah menunggu lama?” tanya Kaivan yang menemui Khayra di sebuah restoran yang berada tidak jauh dari kantor. “Tidak, Pak.” “Sudah pesan makan?” tanya Kaivan. “Sebelum makan, aku ingin membahas syarat-syarat dariku,” ucap Khayra merogoh sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Kaivan. Kaivan membuka amplop dan membaca isi surat kontraknya itu. “Syarat yang pihak kedua ajukan : Pertama, Menghargai keputusan dan kehidupan pribadi masing-masing pihak. Kedua, Pihak kedua tidak akan melakukan tugas seorang istri yang melayani suaminya. Ketiga, Setelah pihak kedua hamil, maka pihak pertama tidak berhak menyentuh pihak kedua. Keempat, Pihak kedua tidak mau berhenti bekerja di Perusahaan. Kelima, Menjaga kesetiaan selama pernikahan masih berlangsung. Keenam, Langsung gugat perceraian saat bayi sudah lahir. Ketujuh, Bayi akan bersama pihak kedua sampai usia minimal lima tahun.” “Aku tidak setuju,” ucap Kaivan saat membaca isi syarat itu. “Bagian mana yang tidak kamu setuj
“Bagaimana kalian bisa bersama?” Yuda melihat ke arah Khayra dan Kaivan secara bergantian. Khayra sendiri tidak bisa berkata-kata, hatinya bergemuruh karena emosi. Seikhlasnya dia menerima kenyataan, tidak membuatnya melupakan dan memaafkan pengkhianatan yang sudah dilakukan pria di depannya itu. “Khayra, ada hubungan apa kamu dengan Bang Kai? Apa semua ini?” tanya Yuda mendekati Khayra, tetapi baru saja akan melangkah, Kaivan menahan dada pria itu dengan telapak tangannya. “Jangan coba-coba mendekatinya,” ucap Kaivan yang kini berjalan ke samping Khayra yang masih berdiri di tempatnya. Kaivan tahu kalau tubuh Khayra bergetar dengan kedua tangan yang mengepal. Wanita itu sedang menahan dirinya dari rasa sakit, amarah dan dendam. Dengan lembut, Kaivan merangkul Khayra dan menarik tubuhnya untuk semakin rapat dengannya. “Kamu bisa lihat bagaimana kedekatan kami, Yuda,” jawab Kaivan dengan sorot mata tajam. “Khay? Apa