Aku menikmati hari-hariku seperti biasa di butik. Apalagi, saat ini ada Diana yang selalu bersamaku mengurus bisnisku ini. Diana memiliki jiwa marketing yang tinggi. Dia memasarkan juga isi butikku ini di laman sosial medianya dan juga akun jual beli seperti Shope3, Buka Lapik, Tokopedina dan Lazata.
Semenjak itu, orderan di butik menjngkat drastis. Sampai-sampai kini aku harus membagi karyawanku untuk bagian packing pesanan online dan yang untuk melayani pembeli langsung yang datang ke toko.
Tak lupa, aku membelikan Diana sebuah kendaraan roda dua bermerek Vespa keluaran terbaru. Agar dia lebih mudah kemana-mana. Aku belum berani membelikannya mobil karena usianya masih 17 tahun ini. Biarlah nanti saat umur 18 saja dia kubelikan kendaraan roda empat itu untuknya.
Ini sudah bulan ke 5 setelah perceraianku dengan Mas Heru. Aku berharap dia sudah insyaf di dalam penjara dan merenungi semua kejahatannya selama ini. Aku dengar, Ranisa menjadi ibu tunggal untuk an
Aku sudah bersiap-siap hendak pergi ke butik Winda. Ya, Winda yang notabane nya adalah mantan pasienku beberapa waktu lalu. Sejak awal bertemu dengannya 5 bulan yang lalu, aku merasakan getaran berbeda dalam hatiku. Namun, karena saat itu ia adalah pasienku, maka aku berusaha bekerja dengan profesional. Aku membantunya untuk perlahan bangkit dari keterpurukannya. Depresi pasca teror dan percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh mantan suaminya begitu membekas di hati dan pikirannya. Wanita yang usianya lebih tua dariku itu, masih memiliki wajah yang khas anak ABG. Tentu itu semua karena dia rajin merawat wajah dan penampilannya. Rugi sekali pria yang berstatus mantan suaminya itu. Telah menyia-nyiakan wanita secantik bidadari ini. Klinik memang libur hari ini, karena satu kali dalam seminggu aku mengambil waktu untuk istirahat. Aku mengambil hari senin sebagai hari liburku. Kenapa? Tentu saja karena aku kasihan pada calon pasien yang selalu punya kendala untuk
POV Dokter Hanan Akhirnya siang itu kami habiskan dengan berbincang ria sambil menyesap secangkir kopi dan beberapa cemilan yang Winda pesan tadi. Setelah Ferdi pergi, aku mulai rileks saat bercerita dan bercanda tawa bersama Winda. Saat butik tutup karena jadwal makan siang pun, Winda ternyata sudah memesan makanan delivery untuk seluruh karyawannya dan juga untuk kami berdua tentunya. Gagal sudah rencanaku untuk mengajaknya makan siang di luar kali ini. Tapi tak mengapa, dapat bertemu dan melihatnya sudah hidup dengan normal kembali saja, aku sudah sangat bahagia. Mungkin, nanti aku bisa mengganti dengan mengajaknya makan malam saja. Aku akan lihat dulu bagaimana situasinya nanti sebelum mengajak Winda makan malam di luar. "Habisin dong, makannya dikit banget sih?" tanya Winda padaku saat kami sedang makan siang bersama. "Aku memang makannya dikit. Nggak bisa makan banyak-banyak, ntar begah. Lagian lambungku kecil, nggak
Pov Winda Aku sudah menuggu Hanan sejak setengah jam yang lalu. Mungkin lebih tepatnya bukan aku menunggunya, tapi akunya saja yang terlalu cepat selesai bersiap-siap. Jam 6.30 aku sudah selesai berdandan. Padahal, Hanan mengatakan akan datang menjemputku jam 7 tepat malam ini. Mungkin saja karena sudah lama aku tidak merasakan bahagia seperti ini, aku menjadi sangat bersemangat. Atau memang karena ada perasaan lain yang mulai tumbuh di hatiku untuk Dokter itu? Entah lah, aku tidak tau dan tidak mau mengartikannya terlalu cepat pula. "Cieee.. yang mau kencan ni yee." goda Diana padaku saat aku sudah mulai pindah menunggu Hanan ke ruang tamu. "Apaan sih, Dek. Biasa aja deh," jawabku malu-malu pastinya. "Mi.. Mami... Liat ni, anak gadis Mami lagi kasmaran." pekik Diana pada Mami yang sedang berada di meja makan. Ada-ada saja kelakuan Diana, masa aku dikatakan anak gadis? Padahal, kakaknya ini sudah berstatus janda. Yang se
Setelah selesai makan malam, aku langsung diantar pulang oleh Hanan. Karena memang, masing-masing kami ada tugas penting besok pagi. Aku akan sibuk karena barang butik masuk banyak besok pagi, sementara Diana harus sekolah tatap muka. Jadi aku yang harus menghandle nya besok. Hanan juga mengatakan bahwa besok ada janji temu dengan seorang pasien berusia 12 tahun korban pelecehan seksual. Gadis remaja itu butuh penanganan khusus dari psikolog ahli agar mau menceritakan semua kejadian yang telah ia alami. Tidak butuh waktu lama, kami sudah sampai kembali di depan rumahku. Hanan berlari ke luar mengitari mobil dan membukakan pintu untukku. Aku seraya menjadi seorang Nyonya besar dibuatnya. Hanan sangat pandai menarik perhatianku. Hal-hal sederhana yang ia lakukan terasa sangat spesial bagiku. Aku masih belum yakin dengan perasaanku sendiri. Tapi, jelas ada yang berbeda. Jika aku katakan aku menyukainya, ya, itu benar. Namun, jika aku mengatakan aku mencintainya,
Pov Ranisa Semenjak aku dan bayiku pulang ke rumah dari rumah sakit pasca bersalin, lima bulan sudah berlalu. Semenjak itu pula aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan Mas Heru. Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak ingin membawa bayiku ikut serta ke penjara untuk menjenguknya. Jika ditinggalkan, tidak seorang pun yang bisa aku percaya untuk menjaga putraku. Kini usia Farel sudah lima bulan pula. Tak sekali pun ia berjumpa dengan Papi nya yang sangat memanjakannya sejak masih dalam kandungan. Meski Mas Heru tidak pernah tau tentang kebenaran ini. Hanya karena aku tak ingin hidupku dan anakku semakin menderita, makanya aku terpaksa menjerat Mas Heru malam itu. Tak dapat aku pungkiri, semakin lama bersama semakin tumbuh pula rasa cinta dan sayangku padanya. Makanya aku dengan tega mengambil Mas Heru dari Kak Winda. Wanita yang memang sudah banyak sekali berjasa dalam hidupku. Entah lah, aku tidak bisa menjelaskan lagi. Hanya demi keb
Pov Ranisa "Ya, aku akan menggantikan Heru sebagai suamimu mulai saat ini." "Apa kau sama sekali tidak pernah tertarik padaku, Ran?" tanya Mas Riko lagi padaku. "Dalam hal apa Mas Riko akan menggantikan Mas Heru? tanyaku lagi dengan polosnya. "Tentu saja semuanya, Sayang. Dari urusan dapur, sampai ke kasur." bisiknya kemudian mengecup bahuku yang terekspos dengan lembut. Aku memejamkan mata menerima perlakuan Mas Riko. Bagaimana pun juga, tubuhku memang sudah lama tidak menerima sentuhan dari pria. Mas Heru khususnya karena dia adalah suamiku. Aku ingin menolak, tapi tubuhku malah menerimanya dengan baik. Ya Tuhan. Apa yang sedang aku lakukan bersama pria lain di dalam rumahku? Sementara suamiku sedang berada di penjara saat ini, entah bagaimana kabarnya dan keadaannya saat ini. "Mas..." lirihku tak berdaya menahan segala gejolak di dalam dada. Mas Riko sepertinya semakin terpancing dengan suaraku yang me
Pov Ranisa Selama setengah jam perjalanan, kami hanya berbicara mengenai hal-hal ringan saja. Sambil sesekali bercanda tawa dengan Farel. Kami sampai di sebuah Restoran pinggir pantai yang sangat indah dan pastinya terkesan mewah. Mas Riko turun terlebih dahulu, dan mengitari mobil untuk membukakan pintu untukku. Aku merasa sangat tersanjung dengan perlakuan manis Mas Riko. Terlebih dahulu, Mas Riko menggendong Farel agar aku tidak terlalu kesulitan saat turun sambil menggendong bayi. Bukan kah wanita sangat suka diperlakukan istimewa seperti itu? Bagaimana aku bisa mengelak terus setiap kali Mas Riko memberikan perhatiannya padaku? Sementara aku sendiri memang haus akan perhatian dan kasih sayang pasca Mas Heru di penjara. Kami masuk ke dalam restoran itu layaknya sepasang suami istri dengan seorang bayi di dalam pelukan Mas Riko. Aku juga terpaksa menggandeng tangan Mas Riko karena ia terus memaksa selama jalan menuju pintu masuk.
Pov Ranisa "Sayang, mulai sekarang jangan sungkan meminta apa pun padaku. Aku akan memenuhi semua kebutuhanmu," ucap Mas Riko saat kami sudah selesai menyantap semua hidangan yang tadi aku pesan. "Baik, Mas. Aku boleh meminta apa pun kan?" jawabku dengan hati yang senang. Jika saja tidak ada orang di sini, ingin sekali aku melompat-lompat saking senangnya mendengar ucapan Mas Riko tadi. Sebelumnya, saat bersama Mas Heru pun aku memang sudah biasa dimanjakan dengan barang-barang mewah dan makanan Restoran. Aku juga rutin perawatan kecantikan ke salon. Semua itu tentu saja atas permintaanku dan Mas Heru tak pernah menolaknya. Setidaknya aku sudah terbiasa menikmati fasilitas mewah dan makanan ala orang kaya. "Mas, apa benar nanti kita akan menikah siri?" tanyaku mengulang kembali perkataan Mas Riko tadi. "Tentu saja, Sayang. Kenapa? Apa kamu meragukan aku?" "Bu-bukan begitu, Mas. Aku ga mau nanti