"Oke, semua udah beres. Kamu tinggal pencet ini kalau mau tau dimana suami kamu berada. Misalkan seperti sekarang ini, coba kita liat dia dimana..." Ferdi menjelaskan padaku.
"Nah ini, kamu tau ini dia dimana? Kantornya kali ya," Ferdi menyodorkan ponsel itu kembali padaku.
"Iya, ini di kantor." jawabku saat melihat nama Perusahaan tempat Mas Heru tertulis di sana.
"Sip, berarti semua udah berfungsi dengan baik."
"Makasih ya, Fer. Tolong kirim nomor rekening, aku mau transfer pembayaran untuk semua ini,"
"Santai ajalah, Win. Besok-besok juga bisa."
"Tapi, aku nggak enak. Aku udah terima barang dan jasa dari kamu, tapi malah belum bayar sepersen pun."
"Ya elah, santai aja. Kayak yang mau pergi jauh nggak balik-balik aja sih?"
"Bukan gitu, aku udah selesai pakai jasa kamu. Seterusnya biar aku yang ngelakuin sendiri. Jadi, ya aku harus bayar dong jasa kamu."
"Kamu bayarnya nanti aja, saat semuanya benar-benar udah selesai dan nggak ada kendala apa-apa. Oke?"
"Tapi..."
"Nggak usah tapi-tapi, anggap aja masalah itu udah selesai."
"Aku pasti tetap akan bayar kamu, aku nggak suka ada hutang budi sama orang lain!"
"Ya sudah, kalau kamu terus memaksa. Kamu bisa bayar pas aku udah minta bayaran. Gimana?"
"Oke, aku setuju."
Perdebatan aku dan Ferdi pun berakhir dengan sebuah kesepakatan itu. Meski aku sendiri kurang yakin, Ferdi akan benar-benar meminta bayarannya. Karena Ferdi bertanya tentang kegiatanku setelah tamat SMA, kami pun larut dalam obrolan ringan.
Memang sejak dia lulus terlebih dahulu, aku hanya dua kali bertemu dengannya saat kuliah. Itupun karena tidak sengaja, saat menghadiri acara yang sama dari kampus tempat kami menuntut ilmu.
"Btw, udah jam empat sore, kamu nggak pulang?" tanya Ferdi tiba-tiba mengingatkanku.
Duh, betapa malunya aku bercerita di rumah pria asing berjam-jam hanya berdua saja. Sampai dia mengingatkanku pula, aku pasti terlihat seperti wanita yang gampang bergaul dengan sembarang pria saat ini.
"Eh, sorry ya. Bukan aku ngusir, maksud aku kan udah sore, kalau suami kamu pulang duluan apa nanti nggak jadi masalah? Kalau aku mah senang, bisa di temani cewek cantik ngobrol. Hhehe..." lanjut Ferdi merasa tak enak karena melihatku hanya diam tak merespon pertanyaan pertamanya tadi.
"Oh... I-iya... Santai aja, aku ngerti kok. Aku juga nih, jadi ngga enak sama kamu. Keasikan ngobrol jadi lupa waktu!" jawabku yang sudah mengambil posisi berdiri hendak pamit pulang.
"Nggak apa-apa, kapan kamu butuh aku, datang aja ke sini. Atau telpon aku, aku standbye kok buat kamu,"
Ferdi masih saja suka menggombal, sama seperti masih SMA dulu. Mungkin, itu sebabnya dulu aku selalu menolaknya. Karena mulutnya yang manis saat berbicara dengan para gadis, aku takut diperlakukan sama. Padahal saat itu, sejujurnya aku juga menaruh perasaan padanya.
Aku terlalu takut untuk sakit hati, karena melihat pacarku terlalu akrab sana sini dengan perempuan. Apalagi Ferdi yang memang jadi incaran cewek-cewek di sekolah, selain ketua Osis dia juga ketua tim basket.
"Heii... Kok malah melamun sih? Ntar kesambet setan patah hati lo," tegurnya memecah lamunanku.
"Eh, iya.. kalau gitu, aku pamit pulang dulu ya. Terima kasih untuk bantuan kamu hari ini."
"Iya, sama-sama. Terima kasih juga udah nemenin aku ngobrol. Hehe..."
Aku berjalan keluar dari rumah itu, saat aku membuka pintu mobilku, Ferdi memanggilku lagi. Saat aku menoleh dia sudah ada di belakangku.
"Aku lupa ngasih tau, kalau saat suami kamu di rumah, sebaiknya fitur pelacak itu di nonaktifkan. Karena bisa menimbulkan suara. Ntar malah ketauan. Semakin dekat kamu dengan sumber pelacak yang kamu tempel, ponsel kamu akan semakin berisik," ucapnya menjelaskan padaku.
"Untung saja kamu ingat tepat waktu, kalau tidak, sudah kalah sebelum berperang kita." jawabku lalu tertawa renyah.
Aku pulang ke rumah. Saat aku sampai, belum ada mobil Mas Heru di garasi rumah kami. Tentu saja, mana mungkin dia pulang sore seperti ini. Bukankah sekarang dia selalu pulang larut malam? Aku tersenyum miris. Lalu melangkahkan kakiku dengan gontai ke dalam rumah.
Aku menyiapkan makan malam, yang akhir-akhir ini memang selalu aku sendiri yang memakannya. Tak jarang aku memilih untuk delivery order, dari pada capek-capek masak tapi hanya makan sedikit dan sendirian pula.
Namun, sore ini aku sedang bersemangat untuk memasak. Masih jam tujuh malam, aku sudah selesai membuat kari ayam dan mie goreng seafood.
'Sebaiknya aku mandi dulu, baru setelah itu aku makan malam," ucapku pada diri sendiri. Aku meninggalkan makanan di atas meja dan kembali masuk ke dalam kamar.
Aku membersihkan diri dari keringat yang menempel seharian dan bau dapur sehabis masak. Setelah mandi, aku memakai dress selutut yang biasa aku kenakan jika di rumah. Aku menyisir rambut, memakai parfum dan mengoles skincare malam pada wajahku yang memang tidak bermasalah apa-apa selama ini.
Kemudian aku kembali menuju ruang makan. Sepertinya, mood-ku sedang bagus hari ini. Saat aku menyendok nasi ke dalam piring, terdengar suara deru mesin mobil Mas Heru memamsuki garasi.
Aku melirik jam dinding, setengah delapan malam. Tumben. Ya, mungkin itulah kata yang tepat untuk Mas Heru malam ini. Tapi, aku sedang malas untuk menyambutnya. Kubiarkan Mas Heru masuk sendiri, sementara aku kembali bersiap untuk makan malam. Karena perutku sudah tak bisa lagi di ajak berkompromi. LAPAR.
"Hai, Sayang." sapa Mas Heru saat memasuki rumah, dan berhenti di meja makan.
"Hai, Mas." jawabku singkat.
"Wah, istri Mas masak enak nih. Mas nggak diajak makan malam bareng nih?"
"Kalau mau makan, ya udah ayok sekalian."
"Kok jawabnya kayak nggak suka gitu?"
"Mas tumben pulangnya cepet?"
"Kamu nggak suka ya, Mas pulang cepat? Mas akan berusaha untuk pulang lebih cepat lagi seperti biasanya."
"Suka kok, Mas. Ya udah, yuk makan. Nih, aku ambilin ya. Mas cuci tangan dulu sana!"
Aku mencoba untuk kembali menata hatiku, lagi pula belum ada bukti yang nyata bahwa Mas Heru berselingkuh. Apalagi sama Mami. Mungkin aku terlalu takut. Tiba-tiba aku merasa takut Mas Heru menjadi benaran selingkuh atau menjauh karena sikapku yang berlebihan dan curiga tanpa alasan padanya.
"Nah, gitu dong. Ini baru Winda, istri Mas yang cantik dan lembut. Mas pikir, kemarin Winda yang Mas kenal udah kabur entah kemana." Mas Heru menyempatkan untuk menghadiahkan sebuah kecupan di keningku sebelum duduk di kursinya.
"Maafin aku ya, Mas. Mungkin, aku terlalu berlebihan." ucapku tulus.
"Iya, Mas ngerti kok. Itu hal yang wajar. Maafin Mas juga ya, udah buat kamu selalu khawatir dan malah berpikir yang nggak-nggak sama Mas."
"Iya, Mas."
Akhirnya malam itu kami makan dengan suasana hati yang bahagia. Makan malam yang sudah lama kurindukan. Aku menyesal telah curiga dan sampai memasang pelacak pada ponsel Mas Heru siang ini.
Aku mulai melupakan kejadian hari itu. Karena Mas Heru pun sudah kembali seperti Mas Heru yang aku kenal sejak pertama menikah dulu. Dua minggu berlalu sejak kejadian malam itu, Mas Heru berusaha pulang lebih awal setiap harinya. Akhir pekan kami juga dinner di luar seperti dulu. Mas Heru berhasil membuatku kembali terlena dengan sikap lembutnya.Aku bahkan lupa, bahwa aku pernah menempel chip pelacak di ponsel Mas Heru. Sampai siang ini, Nia menelponku."Beb, kamu dimana?" tanya Nia di ujung telpon."Aku di rumah dong, kenapa emangnya?" aku balik bertanya pada Nia."Aku lagi di klinik, nganterin klien-ku yang tadi pingsan saat pengadilan.""Trus?""Di sini ada suami kamu...""Mas Heru? Ngapain dia di klinik?""Itu dia yang mau aku bilang.. dia sama seorang wanita hamil. Apa mungkin dia punya saudara yang lagi hamil?""Nggak. Mas Heru nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Ya udah, kamu tolong pantau terus ya. Kalau
Aku memutuskan untuk ke rumah kontrakan yang disewa oleh Ranisa selama ini. Aku yang mencarikan rumah ini untuk Ranisa, dan aku juga pernah beberapa kali mengantarkannya pulang. Saat tiba di sana, rumah itu dalam keadaan kosong dan terkunci dari luar. Aku mengintip dari kaca, rumah itu memang sudah kosong sampai ke dalam. Seperti rumah yang sudah tidak berpenghuni lagi. 'Apa mungkin Ranisa pindah? Kemana dia pindah? Kenapa dia tidak memberitahu padaku?' gumamku dalam hati. Sekitar lima menit aku duduk di teras rumah kontrakan Ranisa itu, sampai akhirnya aku memilih untuk kembali pulang. Aku takut, Mas Heru sudah duluan pulang dari kantor. Saat aku berdiri, ada seorang Ibu-Ibu paruh baya yang menegurku dengan sopan. "Mba lagi nyari Neng Rani, ya?" tanya si Ibu padaku. "Eh, i-iya, Bu. Ibu kenal Ranisa?" tanyaku, setelah lebih dulu menjawab pertanyaan si Ibu. "Ya kenal atuh, Mba. Neng Rani kan lama tinggal di sini. Semua orang di sini juga
"Selamat malam, Sayang!" sapa Mas Heru padaku saat baru saja memasuki rumah."Selamat malam, Mas. Kok baru pulang?" tanyaku sambil membantunya melepaskan jas."Iya, tadi Mas mendadak harus revisi document yang mau di persentasikan besok," jawabnya dengan muka lelah.Aku tidak tega jika harus memberondonginya dengan pertanyaan lain. Wajahnya terlihat sangat lelah dan lesu sekali."Kamu mandi dulu ya, Mas. Biar aku siapkan makan malam untuk kita.""Makasih, Sayang. Kamu memang istri terbaik yang pernah aku miliki. Aku bahagia sekali memilikimu.""Mas lebay deh, ya udah sana, mandi dulu. Aku mau masak!"Cup...Sebelum pergi ke kamar, Mas Heru mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirku.Deg...Kenapa rasanya aneh begini? Kenapa bibir Mas Heru memiliki rasa manis? Nggak mungkin kan, Mas Heru memakai pelembab bibir?Sambil membuat nasi goreng kampung yang praktis, aku terus memikirkan hal itu. Tidak bias
Setelah berbalas pesan dengan Ranisa semalam, aku langsung tidur. Saat aku bangun, masih jam lima subuh. Kulihat wajah Mas Heru yang sangat tenang dalam tidurnya. Entah kapan Mas Heru membuka bajunya, aku tak menyadari. Karena memang Mas Heru terbiasa tidur tanpa memakai baju, hanya menggunakan boxer pendek. Saat aku ingin bergerak, kurasakan tubuhku berat. Seperti ada sesuatu yang menghimpit di bagian pinggangku.Aku melirik ke bawah, tangan kekar berbulu milik Mas Heru ternyata sedang melingkar di pinggangku. Pantas saja aku merasa berat dan susah untuk bergerak. Kuurungkan niat untuk beranjak dari ranjang empukku. Aku kembali menatap wajah Mas Heru. Kali ini, tanganku tak mau diam. Aku menyentuh matanya, hidungnya, lalu bibirnya. Rasanya, baru kemarin aku canggung tidur di sebelah pria tampan nan mempesona ini.Jariku lama terhenti di bibir Mas Heru, mungkin itu membuatnya tidak nyaman. Lalu, Mas Heru membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang tak bisa dijelaska
Sudah dua jam aku mengaktifkan aplikasi pelacak itu, tapi sepertinya saat ini Mas Heru masih stay di Kantor. Titik merah itu sama sekali tidak bergerak. Itu tandanya, Mas Heru tidak kemana-mana. Aku berharap, semoga kecurigaanku ini salah. Sampai jam makan siang, aku melihat bahwa titik merah itu mulai bergerak. Aku menunggu saja di rumah. Tidak ingin terlalu gegabah mengambil langkah. Kubiarkan saja Mas Heru pergi, mungkin dia pergi makan siang bersama para bawahannya. Mas Heru memang terkenal sangat baik dan friendly pada bawahannya. Itu juga yang membuat mereka senang bekerja di bawah pimpinan Mas Heru. Terlebih, Mas Heru sangat ahli mengambil hati para karyawan hanya dengan sesekali mentraktir mereka makan siang bersama. Satu jam berlalu, Mas Heru tidak bergerak dari posisinya tadi. Kucoba perbesar layar, untuk mengetahui posisi pas Mas Heru berada saat ini. 'Cobra Hotel?' ucapku lirih saat mengetahui dimana Mas Heru berada saat ini. Hotel i
Ranisa masih terdiam setelah lepas lima menit. Aku masih menunggu jawaban dari mulutnya. Ranisa terlihat gugup dan salah tingkah. Dia menggaruk kepalanya yang mungkin sama sekali tidak gatal. "Eh... Itu-itu kan... Em...dulu pas Kak Winda dan Mas Heru ngantarin Winda pulang, Rani pernah lihat." akhirnya Ranisa menjawab pertanyaanku itu, dengan kalimat yang cepat dah terburu-buru. "Kapan?" tanyaku lagi. "Udah lama sih, Kak. Oh iya, Kak. Ada Bu Donna, Rani layani dulu ya." pamitnya saat melihat pelanggan VIP masuk ke Butik. Hal ini tentu saja menjadi kesempatan bagus juga bagi Ranisa, untuk lari dari introgasiku tadi. Saat aku dan Mas Heru mengantarnya pulang? Itu sudah lama sekali, mungkin sudah tiga bulan terakhir. Dan ponsel Mas Heru ini, baru dua bulan yang lalu aku belikan. Sebagai kado pernikahan dariku. Saat itu Mas Heru membelikanku kalung emas putih berbandul inisial namanya. Aku memperhatikan gerak gerik Ranisa dari kejauhan, ping
Aku membuka mata perlahan, dan kupandangi sekelilingku. Sepertinya aku berada di sebuah kamar Rumah Sakit. Karena, bau obat-obatan dan alkohol pembersih luka tercium sangat menyengat di indera penciumanku. "Ke-kenapa kalian ada di sini?" tanyaku, saat melihat Mas Heru dan Ranisa berdiri berdampingan di samping kasur pasien yang kutempati. "Sayang.. aku akan menjagamu, tentu saja aku di sini," jawab Mas Heru sambil berusaha memegang tanganku, tapi langsung saja kutepis. "Jangan memanggilku dengan sebutan sayang lagi!" titahku mengalihkan pandangan dari mereka. "Sayang, tolonglah..." "Dan, kamu bilang akan menjagaku? Jangankan menjagaku, menjaga kesetiaan dan kejujuran saja kamu tak mampu, Mas!" bisikku dan tak terasa mataku sudah menumpahkan butiran hangatnya di sudut pipi. "Kak, jangan salahkan Mas Heru terus. Kami juga nggak ingin ini terjadi," Ranisa yang sejak tadi diam, ikut bicara. "Kamu.. nggak usah ikut campur, ini urusa
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai berkemas dan segera memanggil perawat untuk datang ke ruanganku. Aku tak ingin, bertemu dengan Mas Heru hari ini. Luka itu akan kembali berdarah jika aku bertemu dan berbicara dengannya saat ini. Jadi, aku putuskan keluar dari Rumah Sakit sebelum dia datang mengunjungiku. Siapa tau, nanti dia datang bersama istri simpanannya itu. Aku sudah berusaha keras agar tidak melontarkan kata-kata kasar pada Ranisa. Mengingat ia tengah hamil saat ini. "Bu, kenapa Anda ingin keluar sepagi ini?" tanya Perawat itu saat memeriksa tensi dan suhu tubuhku. "Aku sudah merasa baikan, Sus." jawabku singkat. "Baiklah, Ibu bisa menyelesaikan administrasi dulu sebelum pergi. Aku akan kembali dengan membawa rinciannya," "Tidak perlu. Aku akan langsung membayarnya di bagian administrasi saja. Agar tidak bolak balik!" "Baiklah, Bu. Mari, saya antar." "Terima kasih, Suster." Perawat muda i