Aku mulai melupakan kejadian hari itu. Karena Mas Heru pun sudah kembali seperti Mas Heru yang aku kenal sejak pertama menikah dulu. Dua minggu berlalu sejak kejadian malam itu, Mas Heru berusaha pulang lebih awal setiap harinya. Akhir pekan kami juga dinner di luar seperti dulu. Mas Heru berhasil membuatku kembali terlena dengan sikap lembutnya.
Aku bahkan lupa, bahwa aku pernah menempel chip pelacak di ponsel Mas Heru. Sampai siang ini, Nia menelponku.
"Beb, kamu dimana?" tanya Nia di ujung telpon.
"Aku di rumah dong, kenapa emangnya?" aku balik bertanya pada Nia.
"Aku lagi di klinik, nganterin klien-ku yang tadi pingsan saat pengadilan."
"Trus?"
"Di sini ada suami kamu..."
"Mas Heru? Ngapain dia di klinik?"
"Itu dia yang mau aku bilang.. dia sama seorang wanita hamil. Apa mungkin dia punya saudara yang lagi hamil?"
"Nggak. Mas Heru nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Ya udah, kamu tolong pantau terus ya. Kalau bisa kamu ambil foto perempuan itu." titahku pada Nia.
"Oke-oke. Nanti aku kabarin kamu lagi, ya!"
Nia menutup telponnya. Siang ini aku kembali merasa tidak tenang. Aku kepikiran tentang Mas Heru dan perempuan hamil yang disebutkan oleh Nia di telpon tadi.
"Siapa perempuan hamil yang diantar oleh Mas Heru ke klinik, jika itu Mami, pasti Nia tau saat melihatnya tadi." aku bertanya-tanya dalam hati.
Kemudian, aku putuskan untuk menghubungi Mas Heru. Lebih baik aku bertanya langsung pada Mas Heru. Dari pada curiga tak menentu, bisa-bisa hubunganku rusak seperti terakhir kali aku mencurigainya waktu itu.
Tuuut.... Tuuuutt.....
Setelah dua kali berbunyi, telponku langsung diangkat oleh Mas Heru. Hatiku menjadi lega, setidaknya Mas Heru masih memprioritaskan diriku sebagai istrinya.
"Hallo, Sayang." sapanya di ujung sana.
"Hallo, Mas. Mas dimana sekarang?"
"Mas lagi di kantor dong sayang, memang dimana lagi mas berada jam segini?"
Dari caranya bicara, Mas Heru tidak menunjukkan gelagat orang yang sedang berbohong. Tapi mengapa Nia mengatakan kalau dia melihat Mas Heru di klinik?
"Oh gitu, nggak sih, Mas. Aku rencananya mau ke kantor kamu. Aku mau bawain makan siang buat kamu. Sekalian nanti mau ke butik juga, jadi kan aku searah,"
"Eehh, nggak usah, Sayang. Mas siang ini mau makan sama teman-teman kantor. Em, itu... Mas kan menang proyek besar, jadi bawahan minta traktiran. Jadi Mas pikir, nggak papalah sekali-sekali," ucap Mas Heru mulai terbata-bata.
Dari sini aku bisa mengira bahwa mungkin yang dikatakan Nia benar, tadinya aku hanya ingin mengetes Mas Heru. Apa benar dia ada di kantor, karena sejujurnya aku sama sekali tak berniat akan ke kantornya siang ini.
"Lo, kok gitu sih, Mas? Jadi kalau makan sama bawahan, aku nggak boleh ikut? Aku nggak bisa diajak ya?" rengekku sengaja membuat Mas Heru merasa bersalah.
"Bu-bukan gitu... Nanti ya, Mas telpon kamu lagi. Mas dipanggil sama Direktur dulu, nih. Daaaa..." ucapnya seiring dengan putusnya sambungan telpon itu.
Aku mencoba menghubungi Mas Heru lagi, tapi nomornya nggak aktif. Aku mencoba lagi setengah jam kemudian, tapi nomor Mas Heru masih nggak aktif.
"Awas saja kalau kamu berani berbohong sama aku, Mas. Kamu akan tau akibatnya!" rutukku dalam hati.
Lalu aku segera bersiap untuk pergi ke butik yang memang sudah kumiliki sejak masih gadis. Butikku lumayan laris, karena aku memang khusus menjual produk-produk berkualitas. Dan, tak sedikit pula artis Ibukota yang sengaja datang ke sini untuk berbelanja.
Aku memiliki Ranisa, sebagai karyawan tetapku di sana sejak setahun belakangan ini. Karena karyawan lamaku sudah menikah dan ikut dengan suaminya pindah ke luar kota. Awalnya aku ragu memperkerjakan Ranisa, karena saat itu dia masih SMA kelas tiga. Tapi, karena aku kasihan padanya, aku mengizinkannya bekerja paruh waktu. Setelah pulang sekolah sampai jam sembilan malam saja.
Ranisa bilang, saat itu dia butuh sekali banyak biaya untuk masuk ke Universitas impiannya. Namun, saat ujian kelulusan Ibunya meninggal dunia. Sepertinya hal itu menjadikan semangat Ranisa untuk berkuliah sirna.
Dan sepertinya, aku belum pernah memperkenalkan Ranisa pada Nia sahabatku. Karena aku memang jarang sekali ke butik beberapa bulan ini. Nia pun banyak kasus yang harus ditanganinya. Karir Nia sedang menanjak naik saat ini, aku akan merasa bersalah jika sering-sering menghubunginya untuk meminta bantuan.
Di butik, Ranisa dibantu oleh empat orang karyawanku yang lain. Biasanya Ranisa hanya akan melayani pelanggan-pelanggan tertentu saja. Saat aku datang, ke empat karyawanku sedang melayani pembeli yang memang cukup ramai siang ini.
"Dimana Ranisa?" tanyaku pada Putri, salah seorang karyawan yang berada paling dekat dengan posisi dudukku di meja kasir.
"Tadi katanya mau keluar sebentar, Bu." jawab gadis itu dengan agak takut-takut.
"Dari jam berapa dia pergi?"
"Jam sebelas, Bu."
"Sekarang sudah jam dua siang, dan dia belum kembali?" aku bertanya heran, namun enggan untuk membicarakan lebih lanjut.
Karena hal itu adalah masalah pribadiku dan karyawanku, tidak enak jika para pelangganku mendengarnya. Kubiarkan mereka melayani pelanggan sampai selesai. Dan tak terasa, sudah jam lima sore saat butik kembali sepi. Hanya menyisakan kami berlima di dalamnya.
"Putri, coba kamu telpon Ranisa!" titahku pada Putri.
"Tapi, nomornya nggak bisa di telpon, Bu. Putri w******p juga masih centang satu," jawab gadis polos itu padaku.
Aku khawatir Ranisa kenapa-napa, karena tak biasanya dia pergi dari butik dan tak kunjung kembali. Aku memang menyayangi Ranisa seperti adikku sendiri. Mungkin karena dia yatim piatu, aku merasa nasibku hampir mirip dengannya.
Bahkan, kubiasakan dia dekat dan meminta pertolongan pada Mas Heru jika sewaktu-waktu memang dibutuhkan. Meski tetap saja, sampai saat ini belum pernah kudengar Mas Heru bercerita bahwa Ranisa meminta bantuan apapun padanya.
Aku menelpon Ranisa dengan ponselku sendiri, tapi sama saja. Panggilan itu tidak terhubung. Aku mencoba untuk menelpon Mas Heru, hasilnya sama saja.
'Kenapa kedua orang ini tidak bisa dihubungi dalam waktu bersamaan? Apa ada hubungannya? Ah, mana mungkin. Mas Heru dan Ranisa, berjumpa saja mereka jarang. Mas Heru juga bukan tipe pria yang mudah akrab dengan perempuan yang baru dia kenal.
"Semoga Ranisa baik-baik aja. Aku takut banget terjadi apa-apa sama Ranisa. Karena terakhir dia bilang, ada nomor yang selalu neror dia beberapa minggu belakangan ini," ucapku pada karyawan lain, yang sama-sama menunggu dan mencemaskan keadaan dan keberadaan Ranisa.
"Aamiin," ucap mereka serempak.
"Ya sudah, kalian segera beres-beres. Kita tutup cepat hari ini. Saya mau mencari tau dulu dimana Ranisa." ucapku, kemudian meninggalkan kembali Butik itu ke empat karyawan teladan yang kupilih.
"Baik, Bu... Hati-hati di jalan." Putri mengingatkanku, yang langsung kuangguki tanda setuju.
Aku memutuskan untuk ke rumah kontrakan yang disewa oleh Ranisa selama ini. Aku yang mencarikan rumah ini untuk Ranisa, dan aku juga pernah beberapa kali mengantarkannya pulang. Saat tiba di sana, rumah itu dalam keadaan kosong dan terkunci dari luar. Aku mengintip dari kaca, rumah itu memang sudah kosong sampai ke dalam. Seperti rumah yang sudah tidak berpenghuni lagi. 'Apa mungkin Ranisa pindah? Kemana dia pindah? Kenapa dia tidak memberitahu padaku?' gumamku dalam hati. Sekitar lima menit aku duduk di teras rumah kontrakan Ranisa itu, sampai akhirnya aku memilih untuk kembali pulang. Aku takut, Mas Heru sudah duluan pulang dari kantor. Saat aku berdiri, ada seorang Ibu-Ibu paruh baya yang menegurku dengan sopan. "Mba lagi nyari Neng Rani, ya?" tanya si Ibu padaku. "Eh, i-iya, Bu. Ibu kenal Ranisa?" tanyaku, setelah lebih dulu menjawab pertanyaan si Ibu. "Ya kenal atuh, Mba. Neng Rani kan lama tinggal di sini. Semua orang di sini juga
"Selamat malam, Sayang!" sapa Mas Heru padaku saat baru saja memasuki rumah."Selamat malam, Mas. Kok baru pulang?" tanyaku sambil membantunya melepaskan jas."Iya, tadi Mas mendadak harus revisi document yang mau di persentasikan besok," jawabnya dengan muka lelah.Aku tidak tega jika harus memberondonginya dengan pertanyaan lain. Wajahnya terlihat sangat lelah dan lesu sekali."Kamu mandi dulu ya, Mas. Biar aku siapkan makan malam untuk kita.""Makasih, Sayang. Kamu memang istri terbaik yang pernah aku miliki. Aku bahagia sekali memilikimu.""Mas lebay deh, ya udah sana, mandi dulu. Aku mau masak!"Cup...Sebelum pergi ke kamar, Mas Heru mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirku.Deg...Kenapa rasanya aneh begini? Kenapa bibir Mas Heru memiliki rasa manis? Nggak mungkin kan, Mas Heru memakai pelembab bibir?Sambil membuat nasi goreng kampung yang praktis, aku terus memikirkan hal itu. Tidak bias
Setelah berbalas pesan dengan Ranisa semalam, aku langsung tidur. Saat aku bangun, masih jam lima subuh. Kulihat wajah Mas Heru yang sangat tenang dalam tidurnya. Entah kapan Mas Heru membuka bajunya, aku tak menyadari. Karena memang Mas Heru terbiasa tidur tanpa memakai baju, hanya menggunakan boxer pendek. Saat aku ingin bergerak, kurasakan tubuhku berat. Seperti ada sesuatu yang menghimpit di bagian pinggangku.Aku melirik ke bawah, tangan kekar berbulu milik Mas Heru ternyata sedang melingkar di pinggangku. Pantas saja aku merasa berat dan susah untuk bergerak. Kuurungkan niat untuk beranjak dari ranjang empukku. Aku kembali menatap wajah Mas Heru. Kali ini, tanganku tak mau diam. Aku menyentuh matanya, hidungnya, lalu bibirnya. Rasanya, baru kemarin aku canggung tidur di sebelah pria tampan nan mempesona ini.Jariku lama terhenti di bibir Mas Heru, mungkin itu membuatnya tidak nyaman. Lalu, Mas Heru membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang tak bisa dijelaska
Sudah dua jam aku mengaktifkan aplikasi pelacak itu, tapi sepertinya saat ini Mas Heru masih stay di Kantor. Titik merah itu sama sekali tidak bergerak. Itu tandanya, Mas Heru tidak kemana-mana. Aku berharap, semoga kecurigaanku ini salah. Sampai jam makan siang, aku melihat bahwa titik merah itu mulai bergerak. Aku menunggu saja di rumah. Tidak ingin terlalu gegabah mengambil langkah. Kubiarkan saja Mas Heru pergi, mungkin dia pergi makan siang bersama para bawahannya. Mas Heru memang terkenal sangat baik dan friendly pada bawahannya. Itu juga yang membuat mereka senang bekerja di bawah pimpinan Mas Heru. Terlebih, Mas Heru sangat ahli mengambil hati para karyawan hanya dengan sesekali mentraktir mereka makan siang bersama. Satu jam berlalu, Mas Heru tidak bergerak dari posisinya tadi. Kucoba perbesar layar, untuk mengetahui posisi pas Mas Heru berada saat ini. 'Cobra Hotel?' ucapku lirih saat mengetahui dimana Mas Heru berada saat ini. Hotel i
Ranisa masih terdiam setelah lepas lima menit. Aku masih menunggu jawaban dari mulutnya. Ranisa terlihat gugup dan salah tingkah. Dia menggaruk kepalanya yang mungkin sama sekali tidak gatal. "Eh... Itu-itu kan... Em...dulu pas Kak Winda dan Mas Heru ngantarin Winda pulang, Rani pernah lihat." akhirnya Ranisa menjawab pertanyaanku itu, dengan kalimat yang cepat dah terburu-buru. "Kapan?" tanyaku lagi. "Udah lama sih, Kak. Oh iya, Kak. Ada Bu Donna, Rani layani dulu ya." pamitnya saat melihat pelanggan VIP masuk ke Butik. Hal ini tentu saja menjadi kesempatan bagus juga bagi Ranisa, untuk lari dari introgasiku tadi. Saat aku dan Mas Heru mengantarnya pulang? Itu sudah lama sekali, mungkin sudah tiga bulan terakhir. Dan ponsel Mas Heru ini, baru dua bulan yang lalu aku belikan. Sebagai kado pernikahan dariku. Saat itu Mas Heru membelikanku kalung emas putih berbandul inisial namanya. Aku memperhatikan gerak gerik Ranisa dari kejauhan, ping
Aku membuka mata perlahan, dan kupandangi sekelilingku. Sepertinya aku berada di sebuah kamar Rumah Sakit. Karena, bau obat-obatan dan alkohol pembersih luka tercium sangat menyengat di indera penciumanku. "Ke-kenapa kalian ada di sini?" tanyaku, saat melihat Mas Heru dan Ranisa berdiri berdampingan di samping kasur pasien yang kutempati. "Sayang.. aku akan menjagamu, tentu saja aku di sini," jawab Mas Heru sambil berusaha memegang tanganku, tapi langsung saja kutepis. "Jangan memanggilku dengan sebutan sayang lagi!" titahku mengalihkan pandangan dari mereka. "Sayang, tolonglah..." "Dan, kamu bilang akan menjagaku? Jangankan menjagaku, menjaga kesetiaan dan kejujuran saja kamu tak mampu, Mas!" bisikku dan tak terasa mataku sudah menumpahkan butiran hangatnya di sudut pipi. "Kak, jangan salahkan Mas Heru terus. Kami juga nggak ingin ini terjadi," Ranisa yang sejak tadi diam, ikut bicara. "Kamu.. nggak usah ikut campur, ini urusa
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai berkemas dan segera memanggil perawat untuk datang ke ruanganku. Aku tak ingin, bertemu dengan Mas Heru hari ini. Luka itu akan kembali berdarah jika aku bertemu dan berbicara dengannya saat ini. Jadi, aku putuskan keluar dari Rumah Sakit sebelum dia datang mengunjungiku. Siapa tau, nanti dia datang bersama istri simpanannya itu. Aku sudah berusaha keras agar tidak melontarkan kata-kata kasar pada Ranisa. Mengingat ia tengah hamil saat ini. "Bu, kenapa Anda ingin keluar sepagi ini?" tanya Perawat itu saat memeriksa tensi dan suhu tubuhku. "Aku sudah merasa baikan, Sus." jawabku singkat. "Baiklah, Ibu bisa menyelesaikan administrasi dulu sebelum pergi. Aku akan kembali dengan membawa rinciannya," "Tidak perlu. Aku akan langsung membayarnya di bagian administrasi saja. Agar tidak bolak balik!" "Baiklah, Bu. Mari, saya antar." "Terima kasih, Suster." Perawat muda i
Mas Heru tau dengan cepat, dimana aku berada. Siang itu, dia menjemputku ke rumah Nia. Karena aku tidak mau menimbulkan keributan di rumah Nia, aku mengalah dan pulang bersama Mas Heru. Nia memberiku semangat. Aku sudah banyak bercerita pada Nia sejak pagi. Aku yakin, Nia akan membantuku dalam hal ini. Ya, aku ingin berpisah dari Mas Heru. Dan kupercayakan Nia untuk mengurus perceraianku. Dia Kuasa Hukum yang sangat tepat untukku. "Winda... Jangan bertingkah seperti anak-anak. Ada masalah sedikit langsung minggat," ucap Mas Heru dengan nada kasar padaku. Entah apa yang akhirnya membuat Mas Heru berubah seperti ini. Dulu dia bahkan tak pernah meninggikan suaranya padaku. "Sedikit kamu bilang, Mas? Hah...memang laki-laki itu maunya enak sendiri. Mikirin dirinya sendiri, mikirin perasaan sendiri." ucapku dengan nada berteriak. Di dalam mobil itu kami terus bertengkar selama perjalanan ke rumah. Aku dengan emosi terus saja menjawab s