Satu jam berlalu, suasana di dalam mobil beneran hening dan sunyi mirip kuburan. Tidak ada obrolan maupun musik yang menemani selama perjalanan. Namun sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Suara guntur terdengar nyaring lalu diikuti tetesan hujan yang awalnya merintik lalu menderas menimpa atap mobil.Naura meringis ketika mereka masih berada di jalan area perkebunan yang terlihat sepi dan menyeramkan. Mereka sudah melewati perbatasan Jakarta-Bogor. Ia mau mengantar dr Dipta pulang ke rumahnya.Pria dingin di sebelahnya hanya diam, melirik ke jendela lalu menyandarkan kepalanya pada kursi dan memejamkan matanya.‘Ini beneran kan orang bukan bot? Kok biasa aja ya lihat hujan gede. Mana ada petir lagi nambah dramatis.’Sisi lain, jantung Naura jedag-jedug, takut sekali. Jarak pandang pendek. Hujan lebat benar-benar berhasil menutupi jalan. Alhasil, ia tidak bisa melihat dengan jelas. Oleh karena itu ia melambatkan tempo kendaraannya. Baru saja ia menghela nafas, kucing belang yang se
Sore hari di apartemen, Andini masih berkutat di depan Laptopnya yang menyala di meja belajar, tab “BAB IV – HASIL PENELITIAN” terbuka rapi. Kini bab skripsinya sudah mengalami kemajuan. Dr Chan juga tidak mempersulitnya. Semua terasa lancar bagai air sungai. Gadis berkacamata tebal itu bersyukur akan hal itu. Ternyata, di balik kesedihan yang ia lewati, akhirnya ia bisa mendapatkan kebahagiaan setelahnya. Ia hanya butuh sabar dan berdoa.Andini duduk dengan hoodie kebesaran dan rambut dicepol asal-asalan. Di sebelah laptop, secangkir kopi susu buatan sendiri mengepul, dan sticky note warna-warni penuh semangat tertempel di pinggir layar.“Bismillah... bab empat, kita mulai dengan damai ya,” gumamnya, mengetik cepat. “Jangan rewel ya, please,”Tangannya menari di atas keyboard. Angka-angka dari kuesioner yang dikumpulkan beberapa minggu lalu mulai ia olah. Grafik mulai terbentuk, tabel SPSS yang dulu menakutkan kini tampak seperti sahabat karib. Ia mengerjakannya dengan teramat hati-
“Pak Dewa, ada tamu,” Suara Zaka terdengar saat ia melesak masuk ke ruangan CEO tepat setelah rapat penting di perusahaan.Mendengar suara Zaka, Dewa mengangkat mata sembari membetulkan kacamata baca yang bertengger di hidung mancungnya. Helaan nafas lolos di bibirnya. Hari ini ia cukup letih dengan pekerjaan kantor yang tidak ada habisnya.“Suruh masuk,” kata Dewa lalu menggeser tumpukan dokumen kerja itu ke samping laptop. Kini ia beralih pada ponselnya. Saat ia merasa jenuh, maka ia akan menggulir layar ponselnya untuk melihat foto-foto dirinya bersama kekasih hatinya.Gerakan tangannya terhenti tatkala menangkap suara seorang wanita yang familiar. Wajahnya seketika berubah tegang. “Mas, maaf mengganggu,” imbuh wanita bertubuh semampai itu menghampiri Dewa. Ia duduk di atas kursi ergonomis di depannya bahkan sebelum pria itu mempersilahkannya.Dewa hanya berkedip pelan. Zaka keluar dari ruangan itu untuk memberi ruang dan waktu.“Katakan dengan cepat! Aku sedang sibuk,” kata Dewa
Suara pintu apartemen mengayun pelan. Dewa masuk dengan langkah gontai, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa seperti sekarung beras dilempar ke lantai.“Huufff…”desahnya panjang. Benar-benar hari yang melelahkan.Ia membuka kemeja satu per satu dengan gerakan lambat, membiarkannya terlepas dan menggantung di sandaran kursi. Sorot matanya kosong. Bukan karena lelah fisik—tapi mental yang digerus rasa kecewa.Jempolnya menyentuh ponsel. Panggilan video call muncul dari layar ponselnya.Butuh beberapa detik sebelum wajah itu muncul di layar. Wajah yang jadi satu-satunya alasan senyum Dewa saat ini.Andini tampak sedang duduk di ruang tengah, mengenakan hoodie miliknya yang entah kenapa masih bisa terlihat lucu di wajahnya. Menggemaskan.[Om, baru pulang kerja ya?] sapa Andini lembut. [Hmm…Baru buka pintu. Dan... rasanya sepi banget.] Dewa mendongak, matanya lelah.Andini tersenyum kecil. [Pulang ke apartemen ya? Katanya mau tinggal di rumah Ayah dan Ibu,]Deg, Dewa sedikit tersentak. Ia lup
Di meja makan kecil yang berada dekat dapur berbentuk mini bar, dua mug cokelat hangat mengepul, ditemani sepiring roti panggang dan potongan buah.Naura menarik selimut tipis ke atas lututnya dan bersandar ke kepala kursi. “Aduh, Din... akhirnya malam ini juga ya, aku harus pamit.”Beberapa hari menjelang akhir magang di sana, Naura akan pulang ke Indo. Tentu saja, ia akan melanjutkan KOAS di Indo. Andini menoleh dari dapur, meletakkan sisa sendok di wastafel, lalu menghampiri sahabatnya dengan wajah tak rela. “Cepet banget, Nana. Baru juga ngerasain ada temen sekamar yang nggak ngorok.”Naura mendengus pelan. “Kamu nyindir aku?”“Siapa lagi? Walau ngoroknya manis sih... kalau pas habis mandi dan pakai minyak kayu putih,” Andini nyengir geli, lalu duduk di sebelahnya.Naura memicingkan matanya, “emang suamimu gak ngorok ya?”Andini menahan senyum. “Enggak! Om Dewa tidur kayak bayi. Tenang banget,”Naura manggut-manggut. “Fiks lah suami idaman,”Andini mengerlingkan matanya, menggoda
“Freya?” gumam Dewa, hampir tak percaya.Freya terkejut sejenak. Tapi kemudian tersenyum tenang. “Hai, Mas Dewa.”Dewa langsung menatap ibunya. “Bu, kenapa dia... tinggal di sini?”Ratih mengangkat alis, berusaha terlihat santai. “Freya sedang butuh tempat tinggal sementara. Kami ada kerjasama. Ibu tawarin tinggal di sini dulu, sambil nunggu selesai.”“Maksud Ibu, masak nggak bisa tinggal di hotel?” nada suara Dewa naik satu oktaf. Sisi lain, Freya hanya bisa menelan saliva mendengar perkataan Dewa yang terasa menusuk jantungnya. Mengapa pria itu bahkan tidak ingin melihatnya?Ratih menghela napas. “Kamu kan tahu, keluarga kita udah lama kenal. Freya juga anak baik. Gak ada yang salah…”“Salah, Bu. Saya udah nikah. Dan ini... sangat tidak pantas.” Dewa menarik nafas dalam. Ini tidak masuk akal! Bisa-bisanya sang ibu melakukan tindakan bodoh itu. Freya mendekat, mencoba meredakan ketegangan kendati hatinya terasa pahit mendengar setiap kata yang lolos dari bibir Dewa. “Aku gak ada nia