Hari itu adalah hari pertama Naura masuk stase bedah. Degup jantungnya tak stabil sejak pagi. Ini jelas bukan hanya karena stase paling ditakuti, tapi karena satu nama muncul di briefing pagi ini.
“Tindakan laparatomi jam 10, operator, dr. Shaddam Dipta Arvino Dash.”
Nama itu... membuat perutnya mual seperti pasien yang akan dibedah. Bukan tanpa alasan. Dipta yang sekarang jauh berbeda dari Dipta semasa mereka kecil. Pria itu benar-benar menakutkan. Bahkan kini muncul sebagai salah satu dokter yang terkenal galak dan dingin. Kendati justru karena sikapnya, dokter dan perawat wanita begitu mengagumi sosoknya yang bikin hati awur-awuran.
Penampilan fisiknya yang mirip tokoh anime hidup benar-benar menyita perhatian satu rumah sakit.
Sungguh,
Langit mulai gelap. Naura baru selesai menutup laptopnya. Ia berdiri, menggulung sajadah kecil dan mukenanya, lalu menyelipkannya ke tas. Dia hendak pulang lebih awal. Hatinya masih belum pulih, dan ia memilih menyendiri dulu.Ia berusaha menghindar dari pria yang berlidah tajam itu. Baru kali ini ia merasa direndahkan oleh seorang dokter senior.“Naura, kamu yakin gak mau masuk tim dr Dipta?” tanya salah satu teman KOAS, Vina. Naura menghela nafas. Semua orang pasti sudah mengetahui gosip tentang dirinya yang diusir dari ruang operasi.“Enggak, Vin. Aku masih belum pantas bergabung dengan dokter perfeksionis itu. Aku tidak mau jadi beban. Lagipula, aku selalu cepat gugup. Aku tak mau membuat kesalahan.”Vina menepuk lembut pundaknya. “Aku paham perasaanmu, Naura. Selama ini kamu tidak pernah mengecewakan. Kamu adalah lulusan terbaik. Mungkin waktu di state bedah, kamu hanya lagi apes. Kurang hati-hati,”Naura tersenyum lembut menatap gadis berambut ikal itu. Mungkin hanya dia yang m
Matahari belum tinggi. Di dapur minimalis yang tertata rapi itu, aroma roti panggang dan kopi sudah memenuhi udara. Pun, aroma herbal favorit mulai menguar. Dewa duduk di meja makan, membaca laporan saham sambil sesekali mencuri pandang ke arah istrinya yang sibuk mengaduk oatmeal.Tidak ada hari yang lebih membahagiakan selain hari itu. Ia sangat bahagia bisa melihat istrinya berada di apartemennya. Dewa tidak sanggup jika harus LDR. Beruntung, istri cerdasnya sudah merampungkan skripsinya dan tinggal menunggu waktu sidang bulan depan.Andini, dengan kacamata besar dan celemek bergambar ayam lucu, terlihat lucu dan menggemaskan di mata Dewa.“Kamu ngeliatin aku kenapa? Ada oatmeal nempel di jidat aku?” tanya Andini tanpa menoleh.Dewa menutup surat kabar elektroniknya dan bersandar.“Nggak. Cuma... kayaknya kamu agak tumbuh dikit deh selama di KL. Apa jangan-jangan tumbuh perasaan?”Andini memutar badan, menatap suaminya dengan ekspresi setengah geli. Kalau bicara Dewa kadang random
Hari itu adalah hari pertama Naura masuk stase bedah. Degup jantungnya tak stabil sejak pagi. Ini jelas bukan hanya karena stase paling ditakuti, tapi karena satu nama muncul di briefing pagi ini.“Tindakan laparatomi jam 10, operator, dr. Shaddam Dipta Arvino Dash.”Nama itu... membuat perutnya mual seperti pasien yang akan dibedah. Bukan tanpa alasan. Dipta yang sekarang jauh berbeda dari Dipta semasa mereka kecil. Pria itu benar-benar menakutkan. Bahkan kini muncul sebagai salah satu dokter yang terkenal galak dan dingin. Kendati justru karena sikapnya, dokter dan perawat wanita begitu mengagumi sosoknya yang bikin hati awur-awuran.Penampilan fisiknya yang mirip tokoh anime hidup benar-benar menyita perhatian satu rumah sakit.Sungguh,
Di kantor pusat PT Hadinata Pharmaceutical, Dewandaru Hadinata, CEO yang lebih banyak dikenal dengan tatapan tajam dan kata-kata minim basa-basi sedang duduk membungkuk di belakang meja. Dasi dilonggarkan, jas digantung di belakang kursi kulit mahal. Wajahnya tak asing di majalah bisnis, tapi hari itu... wajahnya kusut.Hari ini partner luar negeri membatalkan kontrak ekspor. Salah satu produk unggulan mereka terkena isu label. Dan tim legal bikin keputusan sepihak.Dewa mendengus pelan. Hari ini benar-benar sial. Sampai akhirnya...Pintu ruangannya diketuk.“Pak Dewa, ada tamu…” ucap Zaka dari balik pintu.“Suruh tunggu di luar. Saya nggak terima siapa pun sekarang,” jawabnya datar.
“Minum dulu, Na. Ini teh kesukaan Mamimu waktu kuliah dulu,” katanya sambil tersenyum lembut. “Teh melati,”Naura mengangguk sopan. “Terima kasih, Aunty, eh, Mami. Wah... aku baru tahu rumah Mami segedeeee ini. Ini bukan rumah, tapi mansion seperti di Dracin,”Dengan cepat, Naura bisa cepat berbaur. Ia memang supel dan komunikatif. Padahal awalnya ia canggung bertemu dengan sahabat ibunya—yang memang sudah lama tak bersua.“Dracin kesukaan Mamimu.” Salwa tertawa kecil. “Ah, ini juga rumah lama. Udah sejak Dipta kecil. Rumah Daddy Jonathan, kakeknya Dipta. Cuma jarang penuh, karena kita semua sibuk. Ramai kalau nanti ada anak-anaknya Teh Nuha kemari. Maklum, Dipta kan anak tunggal,”Naura tersenyum, tapi pandangannya sempat terlempar ke arah tangga. Tak ada suara dari atas. Sejak Dipta naik ke kamar, suasananya sunyi. 
Ruang makan keluarga Hadinata malam itu tampak elegan seperti biasa. Meja panjang kayu jati dipenuhi aneka hidangan rumah yang menggugah selera; sup buntut, ayam bakar madu, sambal mangga, dan tumis kacang panjang.Surya, sang kepala keluarga, duduk di ujung meja, berwibawa dalam batik biru tua. Di sebelahnya Ratih, ibunda Dewa, dengan senyum manis yang sedikit kaku malam itu. Kursi-kursi lainnya telah terisi oleh Rania dan suaminya Rama, Amira, Bima dan Amanda yang sedang hamil, dan Jelita.Dewa menarik kursi, duduk dengan anggun dan sikap tenang, walau dadanya terasa sesak. Semenjak ada masalah di perusahaan dan istrinya, ia malas jika harus berkumpul di sana. Apalagi, ada Bima dan Amanda.“Terima kasih sudah menyempatkan datang, Dewa,” ujar Ratih sambil menyendokkan sup untuknya. Sang ibu sangat merindukan suasana kumpul semua anaknya.“Ya, Ibu,” jawab Dewa sing