Dylan berlari ke kamar mandi. Vina mengikuti dengan langkah cepat. Begitu sampai di wastafel, Dylan muntah-muntah.Vina mengusap pelan punggung Dylan. Namun, Dylan menolak dan mendorong istrinya keluar.“Kamu jangan di sini, Chagiya. Bau muntah,” ucap Dylan.“Aku nggak papa.”Karena Vina dengan keras kepala tetap menemani, dengan cepat Dylan membilas wastafel dan menyemprotkan pewangi ruangan di dalam kamar mandi.Begitu keluar dari kamar mandi, Dylan berteriak kencang. “Juannn!”Tergopoh, Juan datang menghampiri. Lelaki kekar itu menunduk dan terlihat bingung karena sudah lama sekali Dylan tidak tampak marah-marah.“Ada apa, Tuan?”“Tahan chef. Periksa makanan dan minuman di meja. Aku keracunan.”Dengan kening berkerut dalam, Juan menundk dan berbalik badan. Vina yang melihat menggeleng samar lalu mencoba menenangkan Dylan.“Tidak mungkin chef meracuni makanan dan minuman, sayang. Jangan asal menuduh. Tidak baik.” Vina meminta Dylan duduk santai.“Aku muntah-muntah pasti karena ada s
Dokter Femmy mengangguk-angguk sembari menggerakkan sebuah alat di perut bagian bawah Vina. Clara yang berada di pangkuan Dylan ikut menatap layar di samping mereka.“Mana adik Ara, dokter?” Clara memicingkan mata pada layar.“Ini.” Dokter menunjuk satu bulatan di layar. “Masih sangat kecil jadi belum terlihat bentuh tubuhnya.”Clara turun dari pangkuan Dylan dan menghampiri layar lalu menggeleng. “Masa itu adik Ara?”“Iya. Masih keciil.” Dokter Femmy mengelus kepala Clara lalu menoleh pada Vina dan Dylan. “Selamat. Bayi kedua kalian untuk saat ini aman.”Dokter Femmy mencuci tangan lalu mengetik berbagai catatan pada komputer di mejanya. Ia membiarkan Vina, Dylan dan Clara berbincang di samping layar USG.Dylan yang paling tidak bisa mengalihkan tatapannya pada layar. Clara yang mulai bosan beralih ke meja dokter dan banyak bertanya tentang gambar-gambar yang dipajang di dinding ruangan tersebut.Vina menyentuh lengan Dylan. “Sudah, yuk. Kamu kan dapat print USG itu.”Dylan menatap k
“Istriku hamil!”Bukannya menyambut jeritan senang Dylan, ketiga orang di layar ponsel malah mengerutkan kening. Mereka gagal fokus karena Dylan memegang banyak benda pipih di tangannya.“Apa itu di tanganmu?” Marcel tampak mendekatkan wajahnya ke layar.“Ini?” Dylan menunjukkan alat-alat tes ke depan kamera. “Alat tes kehamilan Vina. Semuanya garis dua.”“Hah?” Tamara, Marcel dan Rere serentak melongo menatap layar.Dylan mengangguk dengan perasaan bangga. Satu persatu alat tes malah ia perlihatkan ke depan kamera, membuat ketiga orang di layar menggeleng-geleng.“Ngapain tes sebanyak itu, sih?” Marcel yang lebih dulu bertanya heran.“Aku senang melihat alat tes ini berangsur menampakkan garis dua.” Dylan terkekeh. “Jadi, satu box aku pakai semua.”Detik berikutnya terdengar ketiga orang yang ditelepon Dylan berucap berbarengan. "Astagaa!"Dylan hanya menyeringai melihat Tamara, Marcel dan Rere menggeleng.“Selamat ya, Kak. Akhirnya.” Rere mengangkat jari jempolnya ke kamera. “Kak Vi
"Kenapa kamu jadi marah?" Vina membalas sewot. "Aku sedang menyampaikan kabar bahagia yang kamu tunggu-tunggu sejak lama, lho."Melihat istrinya kesal, Dylan segera memeluk Vina. Wanita itu meronta sedikit, namun Dylan hanya mengeratkan pelukan tanpa berkata apa-apa.Lalu, Vina mendengar Dylan terisak pelan. Ia melepaskan pelukan dan menatap mata Dylan telah berair membuat Vina bingung."Kamu jahat, Chagiya. Aku menunggu saat-saat di mana aku merasa berdebar saat mengecek kehamilanmu. Tapi kamu melakukannya sendiri tanpaku."Kini, Vina yang gelagapan. "Eh, itu... tadi bangun tidur aku mau pipis. Dan spontan menampung air seni karena akhir-akhir ini.... ""Stop!" Dylan mencegah Vina melanjutkan kalimatnya. "Kita ulang lagi. Berdua! Anggap aku belum tau!""Ulang? Gimana?" Vina menggeleng dengan raut kebingungan.Dylan menarik pelan tangan Vina ke kamar mereka. Tepatnya ke kamar mandi. Lelaki itu menarik sebuah laci dan mengeluarkan satu box kecil alat tes kehamilan."Ayo, pipis lagi. Ak
“Yaaahh... kok daddy dimarahi?” Dylan kini ikut memberengut. “Asal kamu tau ya, mommy tuh yang nggak ngabari daddy kalau pindah rumah. Daddy jadi sulit ketemu mommy dan Clara.”“Hah?” Clara menatap sang mommy. “Mommy kok jahat sama daddy? Kasihan kan daddy cari-cari kita.”“Soalnya, mommy dulu marah sama daddy.”Clara beralih menatap Dylan. “Oo... daddy dulu nakal, ya. Nggak boleh gitu lagi, ya.”“Iya, nggak. Daddy sudah baik kok sekarang.” Dylan terkekeh karena diomeli putrinya.“Bagus!” Clara menatap mommynya. “Mommy juga nggak boleh kabur-kabur nggak kasih kabar sama daddy lagi.”“Iya, nggak.”“Huffttt... Ara tenang sekarang kalau mommy daddy baik-baik aja.”Rasanya sepuluh hari tidak bertemu Vina melihat sang putri lebih dewasa. Vina dan Dylan mengantar putri mereka ke kamar untuk tidur.“Mommy daddy nggak usah nemenin Ara tidur. Ara kan sudah besar.” Clara naik ke ranjang dan menyelimuti dirinya sendiri.“Ya, sudah. Selamat tidur, Clara.”Vina dan Dylan bergantian mencium Clara.
Dylan menyewa pesawat pribadi untuk perjalanan pulang mereka. Vina disambut Fanny -- tetangganya."Ya ampun, Kak Vina." Fanny mencium pipi kiri dan kanan. "Aku kangen banget sama Ara."Vina terkekeh. "Kangen Clara atau daddynya?""Huss." Dengan wajah malu, Fanny melirik Dylan.Dylan malah dengan sengaja melambai dan tersenyum ramah pada Fanny. Vina tergelak saat Fanny terlihat salah tingkah.Tetapi, setelahnya Fanny bisa langsung bekerja secara profesional.Vina mendapat ucapan selamat ulang tahun dari kru pesawat dan selamat hari pernikahan untuk Vina dan Dylan.Bahkan ada beberapa sudut pesawat dihias dengan buket bunga cantik. Setelah lima tahun, akhirnya Vina merasa bahagia pada hari kelahiran sekaligus hari pernikahannya.Karena menggunakan pesawat pribadi, mereka tiba lebih cepat. Dylan dan Vina juga tidak harus melewati pintu kedatangan karena mobil mereka sudah terparkir di lapangan parkir pesawat.Jam dua siang, Vina dan Dylan sudah sampai di rumah. Tampak depan, rumah sepi.