Tiket penjualan konser Dylan sold out. Berita konsernya mendunia dan menjadi trending topic.Rangkaian tur akan di awali dan diakhiri di negara Dylan sendiri namun di stadion berbeda.Dylan menghela napas panjang. Vina sedang mendandaninya untuk menghadapi wartawan. Hari ini ia akan melakukan conferensi pers untuk menjelaskan tentang konsernya.“Selamat sore, semuanya. Terima kasih telah datang,” ucapnya dengan suara berat namun ramah.Kilat kamera para wartawan membuat Dylan tersenyum beberapa saat. Ketika keadaan lebih tenang, ia melanjutkan ucapannya.“Ada satu hal penting yang ingin saya sampaikan hari ini, sebelum kita bicara soal konser tour saya minggu depan."Ruangan langsung hening.Dylan menarik napas panjang, kemudian menatap lurus ke depan. Di mejanya tersusun berpuluh mike milik wartawan.“Konser ini… adalah yang terakhir,” ucapnya pelan tapi jelas.Sejenak tak ada suara. Saking terkejut, para wartawan terdiam, bahkan beberapa ternganga.Lalu, beberapa tangan terangkat ce
Proses perawatan kulit pasca melahirkan Vina berjalan lancar. Hanya butuh dua jam penyelesaian menggunakan teknologi canggih, operasi kecil itu berhasil."Nggak sakit, kan?" Dokter bedah kecantikan bertanya sambil membalut perut Vina dengan perban besar."Nggak. Apa karena masih ada pengaruh obat biusnya?" Vina terkekeh sambil menduga-duga."Tenang. Untuk dua hari pertama, boleh menggunakan obat pereda nyeri yang aman untuk ibu menyusui."Vina mengangguk. Ia mengamati perutnya yang dibalut kencang. Rasanta tak sabar ingin melihat hasilnya."Satu minggu lagi kita buka perban dan lihat hasilnya." Dokter berkata seolah tau apa yang dipikirkan Vina."Semoga sesuai harapanku." Vina mendesah pelan."Kamu akan kaget. Begitu dibuka kamu sudah bisa menggunakan crop top yang memperlihatkan perut ratamu."Vina tergelak, lalu mengernyit. Perutnya terasa tertarik. Tidak sakit tapi ada rasa tidak nyaman."Nggak papa. Nggak perlu terlalu ditahan biar luwes lagi perutnya." Dokter menenangkan Vina.Ma
Dylan tampak bersikap tak peduli Vina bicara dengan Emil. Mungkin juga karena ada Clara di meja makan, jadi Dylan menahan emosinya.Tapi, jelas terlihat di wjaah Dylan, lelaki itu kesal. Tangannya sampai menggenggam erat garpu dan memelintir spagetti dengan kasar.“Akh ... iya. Sudah kuterima. Terima kasih.”“Cantik. Bunganya cantik.”“Baik, Emil. Salam kembali untuk Tuan Sebastian.”Bibir Dylan mencebik mendengar ucapan Vina. Matanya lalu mendelik kala Vina selesai menelepon. Tapi sekali lagi, ia tidak protes karena ada Clara di antara mereka.Selesai makan, Vina kembali menemani si kembar di ruang bayi. Sementara Dylan mengajari Clara berlatih piano. Mereka bertemu kembali di kamar utama.Setelah melakukan rutinitas sebelum tidur, Vina naik ke ranjang. Melihat wajah sang suami, Vina tau Dylan pasti masih ingin membahas tentang Emil.“Sudah dong, sayang. Mukanya jangan ditekuk terus.” Vina merayu sang suami.“Kamu tau aku tidak suka kamu berhubungan lagi dengan Emil. Tapi tetap saja
Vina tidak mau memperpanjang kekesalan Dylan. Setelah memutuskan hubungan komunikasi dengan Emil, ia menggandeng tangan Dylan keluar ruang desain.“Janji ya nggak ketemuan sama Emil?” Dylan malah tetap mengajak Vina bersitegang.“Nggak.” Vina menyahut. “Nggak dalam waktu dekat,” ujarnya lagi sambil menyeringai.“Chagiyaa.” Dylan merengut. “Nggak boleh!”“Kenapa, sih?”“Ya nggak usah pake alasan. Nggak boleh ya nggak boleh.”“Kok gitu? Bilang aja kamu cemburu.”Dylan hanya diam. Wajahnya datar menahan emosi. Vina paling tau ekspresi itu.Suaminya itu kalau cemburu paling jarang mengaku. Paling pintar kasih alasan jika sudah menuntut hingga akhirnya Vina menyerah dan menurut.“Bukan gituu. Kamu kan banyak urusannya. Clara, si kembar aja masih nyusu, belum sebentar lagi aku konser. Jangan nambah kerjaan. Gitu lho, maksudku.”Nah, benar, kan. Banyak alasannya. Vina berusaha menahan gelak tawa.“Kerjanya kan mudah. Aku juga suka. Desain pakaian itu bisa sambil menyusui dan bisa aku lakukan
Vina sampai memeluk suaminya dan menciumi Dylan. Lalu bercerita bahwa ia sebenarnya sangat bingung untuk minta izin. Takut tidak diperbolehkan.“Aku cuma mau kamu happy, Chagiya. Lakukan apa yang membuatmu bahagia. Kamu tau batasannya dan aku yakin kamu tidak akan berlebihan. Aku percaya padamu.”Vina merebahkan kepalanya di lengan atas Dylan. Layar datar besar di depan mereka masih menyiarkan acara amal para selebriti. Tapi jelas bukan itu yang membuat Vina senang.Lalu teleponnya memberikan notifikasi pesan. Vina meraih benda komunikasi itu dan melihatnya sekilas. Emil mengirimi sebuah foto.Foto itu adalah foto Emil bersama Kelly dan Brandon.“Sungguh gaun ini buatanmu? Luar biasa... aku sudah tau kamu hebat dalam fashion. Tapi tidak mengira bisa berbakat begini.”Vina tersenyum simpul. Ia mengamati foto Kelly yang tampak sangat elegan. Apalagi ditunjang dengan riasan yang cantik.Jari-jari Vina mulai mengetik untuk membalas pesan Emil.“Biasa saja, pasti banyak yang lebih bagus da
Hingga esok pagi, Vina belum menemukan cara bagaimana menjelaskan pada Dylan tentang rencana perawatan kecantikannya. Apalagi, meski hari ini akhir minggu, Dylan masih harus rekaman.Vina sudah disibukkan dengan berbagai kebutuhan Dylan untuk pergi. Sebelum berangkat, Dylan bermain sebentar bersama Clara dan si kembar.Dylan bersenandung untuk Kael. Bayi itu tampak tenang. Menguatkan dugaan bahwa putra bungsu mereka memang senang mendengar daddynya bernyanyi.“Daddy lama nggak rekamannya?”“Nggak. Menjelang sore sudah pulang.”“Ya sudah. Ara mau ikut daddy.”Baik Vina maupun Dylan sama-sama mengerutkan dahi. Keduanya saling merilik tak mengerti dengan pernyataan Clara.“Clara mau ikut daddy? Ngapain?” Vina bertanya dengan wajah serius.“Mau jagain daddy. Ara ganti baju dulu, ya.” Anak kecil itu segera melesat pergi dari ruang bayi.Vina menatap Dylan. “Nggak papa, Clara ikut?”“Nggak papa. Ada Juan yang nemenin Clara.”Vina mengangguk. Ia lalu bergegas ke kamar Clara untuk membantu put