Tiga tahun kemudian.
“Mommy.”
Vina menoleh. Dengan senyum mengembang, ia merentangkan tangan dan menangkap tubuh anak perempuan mungil yang memanggilnya, ‘mommy.’
“Bagaimana les pianonya, Clara?” Vina mengusap rambut halus putrinya.
Anak perempuan berusia dua tahun itu mengacungkan jempol. “Ara mau konser.”
“Kata guru piano, Ara sangat berbakat. Apa mungkin keturunan dari Daddynya? Soalnya, mommy-nya kan buta nada,” bisik Rere dengan nada menyindir.
Vina berdiri mendengar ucapan tersebut. Ia tersenyum pada wanita di depannya.
“Terima kasih sudah anter Clara ke sini, ya, Re. Kamu memang adik terbaik.” Vina mencubit kencang pipi adiknya yang langsung memberengut.
“Tak masalah. Aku selalu senang berada di butik ini. Siapa tau bisa ketemu CEO misteriusnya.” Rere menyahut sambil mengusap pipinya yang agak merah akibat kegemasan sang kakak.
Vina mengerutkan dahi. Tiga tahun bekerja di butik, ia tidak pernah mendengar cerita tentang CEO tempatnya bekerja. Kenapa adiknya jadi sangat penasaran?
“Katanya sih, memang dirahasiakan karena orang terkenal.”
“Siapa?”
Seringai muncul di wajah Rere. “Aku kasih tau, Kak Vina juga nggak bakalan tau. Kakak kan taunya cuma kerja dan kerja saja. Mana tau tentang selebriti-selebriti terkenal.”
Vina mendengus pelan, tidak menyangkal pendapat adiknya. Ia melambaikan tangan saat Rere berpamitan. Lalu, menggandeng tangan Clara dan mendudukkannya di ruang istirahat karyawan.
“Clara di sini dulu, ya. Mommy sebentar lagi selesai.” Vina memberikan banyak kertas dan crayon untuk putrinya.
Kepala Clara mengangguk-angguk. Tangan kanannya mulai sibuk menggambar. Vina tersenyum menatap putrinya.
Clara sangat cantik. Memiliki mata indah dengan bulu mata lentik. Vina mengusap sayang rambut tipis Clara yang ikal di bagian bawah sebelum kembali bekerja.
Sejak Vina hamil hingga memiliki seorang putri cantik, lingkungan tempatnya bekerja sangat baik. Mereka menerima keadaan Vina bahkan membolehkan Clara bermain di area butik.
“Apa itu?” Vina bertanya saat melihat beberapa orang pekerja memasang pigura besar yang masih tertutup rapi di dinding bagian depan butik.
“Model spektakuler kita yang baru.” Manager Kim menjawab dengan wajah berbinar.
Beberapa saat berikutnya, Vina terpaku di tempat dengan mulut setengah terbuka. Napasnya terhenti beberapa detik, saat pembungkus pigura disobek. Ia masih sangat ingat wajah tampan itu.
Dengan jantung berdebar kencang, Vina menoleh menatap manager Kim yang sedang mengagumi foto tersebut. “Si – Siapa?” Nada suara Vina bergetar saat bertanya.
“Dylano Maximilly Goldson, brand ambasador sekaligus CEO kita.”
Ternyata benar itu adalah Dylan. Sayup-sayup, Vina mendengar manager Kim dengan penuh antusias bercerita. Selama ini, Dylano memang menyembunyikan identitasnya sebagai pemilik brand Gold Dy karena tidak ingin kesibukannya sebagai musisi terpecah. Orang-orang hanya berspekulasi, namun Dylan tidak pernah konfirmasi.
“Sekarang, ia mengurangi kegiatan sebagai musisi terkenal dan sudah mulai merambah dunia bisnis termasuk butik dengan nama brandnya sendiri.” Manager Kim menjelaskan.
Vina tidak bisa berkata-kata. Napasnya masih sesak melihat lelaki yang pernah meninggalkan benih di rahimnya ternyata adalah orang terkenal, bahkan rumornya setengah penduduk bumi adalah penggemarnya.
“Bulan depan, Tuan Dylano bahkan akan berkunjung ke butik kita.”
Ucapan Manager Kim justru membuat Vina bertambah sulit bernapas. Tubuhnya terasa disengat aliran listrik bertegangan tinggi. Matanya menatap ngeri poster di hadapannya.
“Mommy.”
Vina menoleh ke bawah saat tangannya dipegang seseorang. Clara turut memandang poster di depan mereka.
“Waah... tampan sekali modelnya,” celoteh Clara. “Mommy, apa Daddyku juga tampan seperti dia?”
Spontan, Vina menutup mulut Clara. Ia menunduk menyamakan pandangannya pada sang putri. “Ssstt... jaga sopan santunmu, Clara. Lelaki di poster itu pemilik tempat ini.”
“Berarti dia kaya, ya, Mom?” bisik Clara.
Vina mengangguk. “Iya. Oh ya, kenapa Clara berkeliaran di sini? Bukankah Mommy minta kamu menunggu di ruang karyawan saja?”
“Ara mau pup, Mommy.”
Cepat, Vina mengantar putrinya ke kamar mandi. Sambil menunggu Clara, Vina berusaha mengendalikan diri.
**
Hari-hari berikutnya, Vina seperti orang linglung. Ia merasa poster Dylan di dinding memandangnya dengan tatapan tajam. Berbagai alasan Vina untuk tidak bekerja saat Dylan datang ditolak mentah-mentah oleh manager Kim.
“Kalau tidak diperbolehkan cuti hari itu, aku mau mengajukan resign saja." Vina merajuk.
Manager Kim malah tergelak. “Bercanda, kamu! Sudah, sana kerja lagi.”
Di hari kedatangan Dylan, tubuh Vina bergetar hebat. Ia datang dengan wajah pucat dan menggunakan masker wajah dengan dalih sedang flu berat. Vina sangat berusaha untuk mengendalikan diri.
“Selamat datang, Tuan Dylano.”
Vina dan teman-temannya menunduk sedikit. Perlahan, Vina mengembuskan napas lega saat ia merasa Dylan seperti tidak mengenalinya. Seorang CEO tidak mungkin memperhatikan pegawai biasa, bukan?
Manager Kim dan para karyawan butik bertepuk tangan setelah Dylan menandatangi posternya. Setelah itu, Dylan dijamu di ruang kerja manager Kim. Tak berapa lama kemudian, manager Kim memanggil Vina.
“Tuan Dylano mau bertemu denganmu. Wanita yang berhasil membuat penjualan butik kita meningkat.”
Cepat, Vina menggeleng. “Tidak. Itu kerja tim. Bukan hanya aku.”
Namun, manager Kim mendorong Vina masuk ke ruangannya dan menutup pintu. Vina kini hanya berdua dengan Dylan yang sedang membaca berkas penjualan.
Hening beberapa detik. Vina langsung menunduk sedikit saat Dylan mengangkat kepala dan menatap dirinya. Lelaki itu bangkit dari kursi dan menghampiri Vina. Tanpa bisa dicegah, Dylan melepas masker Vina.
“Akhirnya kita bertemu lagi, istriku.”
Bulan madu hari terakhir. Pagi-pagi sekali, Vina menggeliat karena mendengar suara musik dari ruang tamu. Ia segera menoleh ke sisi ranjang yang kosong.Secarik kertas dengan satu kotak cukup besar berada di sisi tempat biasanya Dylan tidur. Vina mengambil dan membaca catatan tersebut.“Akh... permainan apa lagi ini.” Vina mendengus dan menggeleng samar setelah membaca pesan dari Dylan.Meski begitu, Vina menuruti apa yang tertulis pada kertas itu. Dylan memintanya berdandan cantik dengan gaun yang ia siapkan.Tak butuh waktu lama, Vina siap. Gaun yang dikenakannya berwarna navy elegan berpotongan dada rendah. Panjangnya hanya selutut menambah kesan feminim.Setelah puas dengan penampilannya, Vina keluar dari kamar. Ia membuka pintu dan tertegun sejenak.Ruang tamu di depannya sudah disulap dengan dekorasi mewah. Bunga-bunga hidup dipajang di berbagai sisi. Hidangan pun tersaji cantik di meja.Dylan muncul dengan pakaian jas lengkap berwarna senada dengan gaun Vina. Ia melangkah mende
“Kamu mau aku jadi Goldies?” Vina mengerutkan keningnya.“Iya, dong. Kamu harus menjadi penggemar setiaku, yang mendukung dan bersamaku hingga akhir masa karir bermusikku.” Dylan mengangguk.“Tetapi, penggemar setiamu sudah banyak. Dari berbagai belahan bumi.”Dylan berpikir sejenak. Ia menenggak lagi air mineral dingin lalu duduk di samping Vina. Tubuhnya ia sandarkan di sofa.“Sia-sia dong aku konser di depanmu.”Vina terkekeh. “Jadi Goldies atau tidak, aku akui penampilanmu mempesona barusan. Aku menyukainya. Selama ini, aku tidak pernah fokus melihatmu saat tampil.”“Benaran?” Dylan menoleh dan menatap istrinya.Kepala Vina mengangguk tegas. “Iya. Lagipula, kamu kan nggak mau nikah sama Goldies.”Dylan jadi memikirkan ucapan Vina barusan. Benar juga. Dulu ia memang bilang begitu karena tidak mau memilih salah satu Goldies menjadi istrinya karena akan melukai Goldies lain.Menjadi Goldies itu sulit karena ketika idola mereka menikah, mungkin patah hati. Tetapi bagi Dylan, lebih sul
Dylan garuk-garuk kepala mendengar permintaan sang putri. Lalu, ia mendapat jawaban tepat di otaknya."Daddy kan lagi nggak ada. Kamu minta tanda tangan sama siapa?""Daddy tanda tangan sekarang terus kirim ke rumah. Bisa kan?""Jualan yang lain aja, deh, ya.""Jualan apa dong? Kalau ada mommy, Ara juga bisa jualan spagetti." Wajah Clara terlihat memberengut. "Tapi kan mommy juga nggak ada."Vina dan Dylan saling melirik. Setelah beberapa hari mereka pergi, akhirnya Clara kesal juga karena tidak ada orang tuanya."Gini, deh. Clara pernah buat gelang dari manik-manik di ruang kerja mommy, kan? Clara ingat cara buatnya?"Clara mengangguk mendengar pertanyaan sang mommy."Clara jualan gelang aja. Nanti teman-temannya bisa pilih sendiri manik-manik yang mereka mau. Bisa?"Clara terlihat berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk. "Oke, mommy. Clara mau jualan gelang aja.""Oke. Mommy minta pelayan kirim semua manik-manik ke rumah Reino, ya.""Boleh semuanya dijual?""Boleh. Sekarang, Clara t
"Kalau itu sih nggak perlu suit.""Biar seru."Vina mendengus. Dengan gerakan yang sengaja ia pelankan, Vina melepas pakaiannya. Gerakan itu malah membuat Dylan bergairah.Namun Dylan juga bertahan dan menatap tanpa jeda tubuh istrinya yang setengah polos sekarang."Mmm... bentar aku mau pipis."Dylan memejamkan mata menahan kesal. Ada ada saja istrinya ini. Padahal ia sudah hampir menerkam Vina barusan."Aneh banget pipis dengan pemandangan ranjang begini." Vina berseru dari kamar mandi."Sudah, cepat, Chagiya!""Sabar."Vina kembali dengan hanya mengenakan celana dalam. Dylan memberi kode untuk melepasnya.Jika tadi Vina sengaja menggoda Dylan. Sekarang, tanpa malu ia melepasnya dengan gerakan sembrono."Aku boleh makan dulu? Makanan selamat datang dari hotel tadi tampak enak.""Astagaa." Dylan mendesis saat Vina meninggalkannya sendirian di ranjang.Tapi tak lama kemudian, Vina muncul lagi dengan piring berisi kue vanila keju di tangan. Dengan santai, wanita itu makan di depan sang
“Lalu, maksud penawaran anda apa?”“Ehem.” Teddy menjernihkan tenggorokannya sebelum bicara. “Saya tau dari media sosial anda sangat piawai dalam mendesain pakaian.”“Oh.” Vina mengangguk mengerti.“Saya ingin anda mendesain pakaian untuk para pramugari dan pramugara di maskapai ini.”Kedua alis Vina terangkat tinggi. Ia jadi melirik para pramugari dan pramugara yang masih menunggu tandatangan Dylan.“Pakaian untuk mereka?”“Iya, Nyonya. Nanti saya akan mengirim penawarannya melalui email.”Vina mengangguk lalu memberikan alamat emailnya. “Tapi, saya belum bisa janji, ya. Tergantung izin dari suami saya.”“Baik, Chagiya. Terima kasih.”Vina merasakan tepukan di punggungnya. Ia menoleh dan Dylan merangkul bahunya dengan senyum.“Yuk, sudah.” Lelaki itu memberi kode untuk pergi.Keluar dari pesawat, Dylan dan Vina mendapat pengawalan dari kru pesawat. Bandara memang cukup ramai karena pada akhirnya orang-orang tau Lano baru saja mendarat.Bahkan, Dylan dan Vina ditemani hingga keduanya
Vina dan Dylan mendapatkan pelayanan spesial dari awak pesawat. Lagu Lano bahkan diperdengarkan oleh pilot yang ternyata seorang Goldies.Seorang pramugari memberikan gift sebuah boneka berpakaian pramugari pada Vina. "Nyonya, ini untuk Clara."Vina tersenyum dan mengangguk berbarengan. "Terima kasih."Lalu Vina memperlihatkan boneka itu pada Dylan. "Lucu, ya."Dylan menjulurkan tangan dan mengelus kepala Vina sambil terkekeh.Selesai makan, Vina menonton sedangkan Dylan memilih mendengarkan lagu. Namun baru setengah jam, Dylan melihat istrinya telah tertidur."Kenapa Chagiya jadi sering tidur akhir-akhir ini?" Dylan bergumam sambil menatap istrinya.Akhirnya Dylan memejamkan mata. Entah kenapa memorinya kembali saat tadi pagi ia bertengkar dengan Vina.Kalimat Vina yang mengatakan bahwa ia penjahat dan Vina membencinya membuat Dylan membuka matanya lagi.Dylan menoleh ke samping. Tangannya terjulur membelai wajah sang istri."Kamu nggak serius benci aku, kan?"Vina menggeliat sedikit