"Ni -- Nikah denganmu?"
Lelaki asing itu mengangguk. "Sayang kan semua yang kamu siapkan ini sia-sia?" Ia mengendik pada gaun dan kamar pengantin.
"Kamu gila! Kita tidak saling mengenal dan.... "
Terdengar gelak tawa yang memotong ucapan Vina. Dylan membalas dengan kalimat sindiran. “Bertunangan lama pun nggak menjamin sampai pelaminan, kan? Lagipula, ini balas dendam yang tepat."
Vina bukan wanita yang spontan. Segala sesuatu biasanya ia persiapkan dengan matang. Namun kali ini emosi sedang menyelimutinya.
Dan ternyata, begitu ia menyetujui ide dadakan tersebut, rencana berjalan sangat lancar. Di kamar pengantin itu Vina dan Dylan menikah secara resmi.
Dylan melepas cincin hitam di jari kelingkingnya. Benda itu bahkan pas saat Dylan menyisipkan di jari manis Vina.
"Kalian sekarang sudah resmi sebagai suami-istri."
Mendengar ucapan tersebut, bukannya saling bertatapan mesra seperti layaknya pasangan pengantin baru, keduanya malah terkekeh bersama. Kegilaan ini sejenak menghibur Vina.
Vina menatap suaminya yang sedang menuang minuman ke gelas tinggi. Ia baru benar-benar sadar pada pesona Dylan. Suaminya itu jauh lebih tampan dari mantan tunangan brengseknya.
"Untuk pernikahan kita." Dylan memberikan satu gelas kepada Vina.
"Untuk pernikahan kita," ulang Vina .
Mereka membenturkan gelas satu sama lain lalu meminum cairan beralkohol tersebut. Rasa pahitnya membuat Vina mengernyit. Ia melirik Dylan yang malah tampak menikmati.
"Ini pertama kalinya aku bertindak tanpa perencanaan." Vina menatap gelas kosongnya.
"Oh ya? Aku sering begini. Rasanya menegangkan sekaligus memyenangkan, bukan?”
Dylan lalu mengulurkan tangan. Ia menarik Vina untuk berdiri dan berdansa. Mereka merapatkan tubuh mengikuti irama lagu romantis.
Tatapan menghanyutkan dari Dylan mulai menimbulkan getaran hebat di jantung Vina. Ia bahkan juga menikmati belaian tangan lelaki itu di punggungnya.
Sejurus kemudian, mereka saling memagut. Vina bisa merasakan Dylan mencoba menahan hasrat. Lelaki itu tak sabar untuk pengalaman malam pertama mereka.
"Kita akan melakukannya." Dylan berbisik penuh perasaan. "Dan kita akan membuat ini menjadi malam panjang yang tak terlupakan."
Vina tersenyum canggung. Mereka masih berpelukan beberapa saat hingga akhirnya Dylan membimbing Vina ke ranjang.
Seperti terkena sihir mantra penurut, Vina diam saja ketika Dylan mulai melucuti pakaiannya. Petualangan baru mereka sebagai suami istri benar-benar berlangsung sepanjang malam.
Menjelang siang, Vina terjaga karena sinar matahari menyilaukan matanya. Ia memicingkan mata dan melirik jam di ponselnya.
"Hampir jam sebelas siang." Vina menggumam pelan.
Vina menatap dirinya yang tak berbusana. Ia ingat betul apa yang dilakukan semalaman bahkan sampai pagi tadi, hingga merasakan sekujur tubuhnya sakit terutama di bagian bawah perut.
Suara dengkuran pelan membuat Vina menoleh. Dylan masih terlelap. Ketampanan lelaki itu tidak berkurang meski dengan rambut berantakan. Kepala Vina menggeleng pelan.
"Ini tidak benar. Bisa-bisanya aku menikah dengan lelaki tak dikenal ini. Bagaimana kalau ia penjahat, pemabuk, sudah berkeluarga? Atau... "
Vina bergidik mengingat lelaki di sampingnya bahkan sedang dikejar-kejar tiga lelaki kekar saat mereka bertemu. Perlahan, Vina bergeser dan tertegun sejenak menatap seprei. Kemudian dengan cepat turun dari ranjang dan membereskan barang-barangnya.
Sebelum pergi, Vina meninggalkan tumpukan uang dan selembar surat untuk Dylan. Ia melirik ranjang dan mengamati kamar pengantinnya, lalu bergegas keluar.
Dalam taksi yang membawanya pergi, Vina termenung. Ia segera menyadarkan diri agar kembali pada kenyataan.
Paling tidak, ia benar-benar menikah di hari kelahirannya, dengan gaun pengantin impian dan menikmati malam pertama di hotel berbintang lima, meski bukan dengan lelaki pilihannya.
Sambil berpikir apa yang akan ia lakukan selanjutnya, Vina memainkan cincin di jari manis. Ia menatap benda hitam yang melingkar itu, lalu mengumpat pelan. "Akh, sial. Aku lupa mengembalikan cincin murahan ini pada Dylan."
Segera, Vina melepasnya. Sebelum memasukkan ke dalam saku, ia mengamati cincin hitam yang bermata ungu itu. Vina membaca tulisan di bagian dalam cincin dan menggeleng tak mengerti.
Kembali ke apartemennya, Vina mengumpulkan semua benda yang berhubungan dengan Andreas – mantan tunangannya. Satu box besar ia angkut ke rooftop gedung.
Vina membakar semua benda itu ke dalam tong besi, termasuk tas yang sedang ia kenakan.
Cintanya kini rusak dan akan menjadi abu. Vina mendengus pelan pada isi tong. Matanya tiba-tiba terbelalak melihat ujung kertas yang mulai dilahap api.
“Tidak, tidak... buku nikahnya!!”
Dengan sebatang besi, Vina menarik keluar tas yang tadi ia gunakan. Cepat, Vina membuka tas dan terduduk lemas mendapati surat nikahnya telah terbakar sebagian.
"Yaa... bagaimana aku mengajukan cerai jika surat-surat resminya terbakar begini?"
Vina duduk lemas di lantai. Ia mencoba membaca nama panjang Dylan. Namun sayang, justru bagian itulah yang terbakar.
Sampai di kamar, Vina membuka laptop. Jarinya mengetik di pencarian tentang cara mendaftarkan perceraian melalui online.
Kepala Vina menggeleng saat membaca data yang harus dilengkapi seperti nama lengkap dan tanggal lahir. Sadar, bahwa ia tidak tau apa pun tentang Dylan membuatnya kesulitan mengisi data-data yang diminta.
“Sial... kamu benar-benar nekad menikahi lelaki tak dikenal itu, Vina!” Vina mengutuk dirinya sendiri.
Satu bulan berlalu.
Sebelum berangkat kerja di butik sebagai konsultan busana pribadi, Vina sudah merasa tak enak badan. Pulang dari butik, Vina mampir ke klinik. Ia menceritakan gejala yang sejak pagi ia alami pada seorang dokter umum di sana. Wanita ramah itu memberikan obat pertolongan pertama lalu menyodorkan satu benda pipih.
“Sebelum minum obat, sepertinya anda harus mengecek urine lebih dulu.”
Ucapan itu menyadarkan Vina bahwa ia sudah terlambat menstruasi. Tiba di apartemen, Vina langsung ke kamar mandi.
Setelah beberapa saat menunggu, Vina menatap benda pipih di atas wastafel. Garis dua. Tak terasa air matanya mengalir di pipi. Tubuh Vina melorot ke lantai dan terisak sedih.
“Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?”
Kehidupan Dylan dan Vina kini berjalan lebih teratur dan penuh warna.Setelah Dylan resmi mengundurkan diri dari dunia hiburan, ia benar-benar fokus menjalankan bisnisnya yang terus berkembang. Keputusan itu membuatnya jauh lebih tenang.Dylan tak lagi dikejar jadwal padat konser, tur, dan sorotan media. Kini Dylan bisa mengatur ritme kerja sesuai dengan prioritas utamanya: keluarga.Vina merasa sangat bersyukur. Dulu ia sering khawatir Dylan kelelahan atau stres karena pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya.Kini, setiap pagi mereka bisa sarapan bersama, menyiapkan keperluan Clara dan si kembar, lalu Dylan berangkat ke kantor dengan wajah yang lebih rileks.Sore harinya, Dylan sering pulang lebih cepat agar bisa menemani Clara berlatih piano atau bermain dengan si kembar di halaman belakang rumah. Ada kebahagiaan sederhana yang tak bisa mereka beli dengan kesuksesan dunia hiburan.Vina sendiri juga semakin berkembang. Ia aktif di bidang desain busana, bahkan sering menerima pe
Sejak pengumuman itu, Clara semakin giat berlatih. Setiap hari selepas sekolah, ia akan duduk manis di depan piano di ruang musik rumah mereka. Jemarinya yang mungil menari di atas tuts, kadang tersendat, lalu ia mengulanginya lagi dengan tekun.Vina selalu setia menemani, duduk di sofa dengan senyum penuh rasa bangga. Sesekali ia merekam latihan Clara dengan ponselnya, lalu mengirimkan video itu ke Dylan yang masih berada di kantor.Malam itu, setelah Clara selesai memainkan lagu yang akan dibawakan di acara kenegaraan, Vina menghampirinya.“Sudah selesai, Sayang? Capek jari-jarinya?”“Nggak capek, Mommy. Kata guru piano, kalau latihan rutin nggak akan capek.”Vina mengusak lembut kepala Clara. “Clara, Mommy bangga sekali sama kamu. Kamu tahu tidak? Kamu akan jadi pianis termuda di acara kenegaraan. Itu artinya, semua tamu penting dari luar negeri juga akan mendengarkan permainan pianomu.”Clara tersenyum sedikit. “Iya. Guru Ara juga bilang gitu.”“Clara harus percaya diri karena mem
Begitu Dylan menyelesaikan lagu terakhirnya, tepuk tangan riuh terdengar dari “penonton kecil” di ruang tamu.Kean meloncat-loncat dengan antusias.“Wow, superstar! Superstar! Daddy keren banget!”Kael ikut-ikutan. “Aku mau tanda tangan, Daddy Lano!”Clara segera mengambil kertas gambar dan spidol. Ia pura-pura jadi fans garis keras, berlari ke arah Dylan.Clara gaya hebohnya mendekati Dylan. Gayanya benar-benar mirip seorang Goldies. “Mister Lano, boleh saya minta tanda tangan? Saya fans berat sejak kecil!”Dylan tertawa sampai terbahak, tapi tetap menuruti. Ia menandatangani kertas itu dengan gaya artis profesional.“Namanya siapa? Mau ditulis dengan ucapan apa?”Vina yang dari tadi hanya menonton sambil tersenyum, akhirnya ikut bergabung. Ia mendekat, pura-pura mengacungkan ponsel.Kali ini, Vina berpura-pura jadi reporter gosip. “Permisi, Mister Lano, bagaimana rasanya tampil di konser keluarga dengan penonton terbatas? Apa berbeda dengan konser di stadion besar dulu?”Dylan menu
Clara baru saja pulang dengan tas berat dan wajah lelah setelah seharian sekolah plus les piano. Begitu membuka pintu rumah, ia langsung disambut teriakan riang si kembar.Kean berlari mendekat dan berteriak, “Kak Ara! Tadi aku jadi kapten bola di sekolah! Semua anak nurut sama aku!”Kael ikut nimbrung sambil tersenyum. “Terus… bekalku habis. Temen-temen suka sate buah dari Mommy. Mereka minta lagi besok.”Clara terbelalak, menatap adik-adiknya yang penuh semangat.“Waaah, kalian heboh banget. Baru hari pertama sekolah aja ceritanya banyak.”Kean mengangguk cepat. “Iya! Terus habis pulang sekolah, kita diajak Daddy makan es krim. Aku pilih cokelat, Kael pilih vanila. Enak banget, Kak!”Kael menambahkan sambil menepuk perutnya. “Aku sampe kedinginan… tapi tetap habis.”Clara tergelak mendengar celotehan adik-adiknya. Ia menaruh tasnya di sofa lalu merebahkan diri di sofa.“Duh, kalian beruntung banget. Kak Ara habis les cuma dapat roti isi di jalan, gak ada es krimnya.”Kean langsung r
Pagi itu rumah terasa riuh. Vina sibuk menyiapkan bekal, sementara Dylan dengan sabar berusaha memasangkan sepatu untuk Kael yang terus bergerak tak mau diam. “Kael sayang, kalau kamu tidak tenang, sepatunya tidak bisa masuk.”Kael memberengutkan wajah dengan manja, lalu bergelendot pada tubuh Vina.“Nggak mau sekolah… maunya sama Mommy.”Di sisi lain, Kean justru terlihat antusias. Ia sudah rapi dengan tas kecil bergambar dinosaurus di punggungnya.“Daddy, cepat! Aku mau lihat mainan di sekolah!”Dylan terkekeh melihat perbedaan karakter kedua putranya.“Lihat tuh, Kean sudah siap duluan. Kael, masa kamu kalah sama kakakmu?”Kael mendengus, tapi akhirnya menurut saat Dylan mengikatkan tali sepatunya.Sesampainya di sekolah playgroup, suasana ramai oleh anak-anak yang ditemani orangtua masing-masing. Ada yang menangis kencang, ada yang ceria. Vina menggandeng tangan Kean dan Kael erat-erat.Saat guru menyapa ramah, Kean langsung berlari masuk kelas dengan riang.“Mommy, Daddy! Aku ma
Hari itu kantor polisi penuh wartawan. Berita besar sedang digoreng: kasus penggelapan dan penipuan bisnis Andreas dan Lawson akhirnya terbongkar.Andreas melangkah keluar dengan borgol di tangannya, wajahnya pucat pasi tapi masih berusaha menyunggingkan senyum sombong. Lawson, di sisi lain, menunduk lesu, seakan sudah kehilangan daya juang.Seorang wartawan mencecar pertanyaan. “Tuan Andreas, benarkah Anda selama ini menggunakan dana investor untuk kepentingan pribadi?!”Andreas mendengus kesal, ingin membalas, tapi polisi segera mendorongnya masuk ke mobil tahanan. Sementara itu, Dylan menonton dari layar televisi di ruang kantornya bersama Brandon.Dylan bersandar di kursinya, mata tajamnya penuh kepuasan.“Inilah yang mereka dapat karena serakah. Kesombongan Andreas akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.”Brandon, yang duduk di sampingnya, hanya menyeringai puas.“Semua bukti yang kita kumpulkan tidak terbantahkan. Mereka pikir bisa bermain-main dengan hukum, padahal jejak digit