“K-kamu bukan lagi suamiku.”
Usai terdiam beberapa detik, Vina menyahut dengan menekan rasa deg-degan.
"Jadi, kita sudah bercerai?" Dylan mengangkat sebelah alisnya.
Vina mengangguk singkat. Semoga Dylan tidak tau bahwa ia berbohong.
Dulu, Vina memang ingin bercerai, atau melakukan pembatalan pernikahan. Namun, saat sadar dirinya hamil, Vina tentu saja mengurungkan niatnya.
Ia tidak ingin anak yang dilahirkannya tidak memiliki ayah.
"Benar, kita tidak ada hubungan apa-apa sekarang." Vina berkata dengan nada santai padahal detak jantungnya tak karuan.
Dylan memicingkan mata pada Vina. Lalu, tangannya terjulur ke depan Vina dan berkata tegas. "Mana surat cerainya? Aku mau lihat."
Akh, sial. Vina mengumpat dalam hati. Kepalanya semakin menunduk dengan jari-jari tangan saling meremat.
"Ummm aku... aku menghilangkannya." Dua kali kebohongan. Vina mengembuskan napas berat.
"Benarkah? Dokumen sepenting itu kamu hilangkan?" Saat tidak kunjung mendapati sahutan dari Vina, Dylan berdecak kesal. "Kapan kamu mengajukan perceraian?"
"Satu hari setelah kita menikah." Paling tidak, Vina tidak sepenuhnya membual karena hari itu ia benar-benar pergi ke gedung administrasi pencatatan pernikahan.
Dylan kembali mendengus. Kali ini pria itu berkacak pinggang, menatap Vina dengan pandangan terluka. "Apa alasanmu meninggalkanku sendiri di kamar hotel saat itu?"
“Aku menyesal menikah terburu-buru.” Kali ini, Vina berkata jujur. “Kita baru bertemu. Bagaimana kalau ternyata kamu pria jahat?”
Dylan tersenyum sinis, "Sekarang, kamu sudah tau siapa aku. Apa sekarang kamu menyesal kita bercerai?"
Sekilas, Vina mendongak menatap Dylan, lalu menggeleng. "Tidak," sahutnya dengan tenang.
Mendengar jawaban Vina, sepertinya Dylan bertambah kesal.
Dylan terdengar menggeram. "Aku tidak mau tau. Selama aku tidak melihat surat perceraian itu, aku anggap kita masih terikat pernikahan!"
Deg.
Vina spontan mendongak menatap wajah Dylan.
Baru akan membuka mulut untuk menolak pernyataan tersebut, Dylan kembali berkata tegas. "Kamu akan bekerja sebagai asisten dan penata busana pribadiku, ikut tur keliling dan bermacam kegiatan yang aku ikuti!"
Vina menggeleng keras. Tur keliling? "Aku tidak bisa." Ia tidak bisa meninggalkan Clara. “Butik ini bergantung padaku,” dalihnya kemudian.
"Bisa. Karena aku bosnya!" Dylan berkata dengan nada yang lebih tegas.
"Ya sudah, lebih baik aku mengundurkan diri."
Pandangan mereka beradu dengan sengit. Keduanya tidak terlihat ingin mengalah. Namun, Dylan tentu saja tidak ingin dikalahkan.
Untuk itu, pria itu tersenyum jumawa, sebelum berkata, "Kalau kamu mengundurkan diri, butik ini akan aku tutup. Semua karyawan aku berhentikan tanpa pesangon sepeser pun."
Mata Vina membelalak. "Jangan!” Ancaman Dylan bukan hanya akan berimbas padanya, tetapi pada seluruh pekerja. “Mereka sangat membutuhkan pekerjaan ini."
"Kalau begitu... kemasi barangmu dan pergi ke bandara X besok pagi!"
**
"Maaf, ya, Clara." Vina memeluk tubuh putrinya. Sejak pulang ke apartemen, Vina terus memberi pengertian pada putrinya.
Meski baru berusia dua tahun, Clara sangat cerdas dan penurut. Anak perempuan itu mengangguk-angguk.
"Mommy janji video call setiap hari."
"Tenang saja. Clara aman bersamaku." Rere mencoba menenangkan. "Kakak harusnya bangga mendapat pekerjaan ini. Banyak yang hanya bisa menghalu untuk bisa dekat-dekat dengan Dylan. Kakak tau kan, dia itu pujaan wanita seantero jagat raya!!"
Penasaran dengan ucapan adiknya, Vina duduk di depan laptop. Ia mengetik nama Dylan di pencarian. Sederet informasi keluar, lengkap dengan berbagai foto.
“Pantas saja Clara sudah terlihat memiliki bakat di bidang musik.” Vina menggumam kala melihat prestasi Dylan sejak kecil. “Rupanya menurun dari ayahnya.”
Selesai mencaritahu tentang Dylan, Vina menatap sang anak.
Bagaimana kalau Dylan tahu jika mereka memiliki anak? Bayangan-bayangan buruk lantas berkelebat di pikiran Vina.
Tidak, tidak. Ia tidak ingin Dylan merebut Clara dari sisinya. Dan lagi, agaknya Vina pun tidak sanggup berada di sisi Dylan sebagai seorang istri, sebab ia tahu… pria itu punya segudang wanita yang jauh lebih baik darinya.
Sebuah ide lantas terbersit begitu saja. Benar, Vina harus menyembunyikan putrinya dari Dylan. Kalau perlu, segera mendaftarkan perceraian.
Dini hari, Vina sudah siap menuju bandara. Saat berada di titik kumpul, Vina berdiri dan mengamati sekeliling.
"Kamu Vina? Penata busana Lano yang baru, kan?" Seseorang menyapa Vina.
Vina membalik tubuh. Lalu tercengang melihat wanita cantik di depannya. Wajah itu mirip dengan wajah Clara.
"Mmm... iya." Gugup, Vina menjawab.
Untung Vina sudah mencaritahu tentang Dylan semalam. Ia tahu, Lano adalah nama panggung yang pria itu gunakan.
"Hai. Aku Tamara, manager sekaligus kakak sulung Lano."
Mereka berjabatan. Pandangan mata Vina tidak lekat dari Tamara.
Dulu, saat melahirkan hingga sekarang, Vina sempat bertanya-tanya mirip siapa Clara itu. Ternyata wajah Clara mirip dengan wajah Kakak Dylan, bahkan mata indahnya juga sama. Vina hanya mewarisi warna kulit, juga rambut.
Mereka berjalan bersisian. Tamara cukup ramah dan lincah. Wanita itu terlihat sangat sibuk mengatur beberapa orang.
"Pelajari tugasmu ini. Lano bukan lelaki yang mudah.” Tamara memberi beberapa lembar berkas, lalu menepuk lengan atas Vina dan berjalan mendahului ke dalam pesawat. “Semoga kamu kuat.”
Vina mengernyit mendengar hal itu. Namun, otaknya lantas mengarahkan memorinya pada saat ia dan Dylan ‘melakukannya’ dulu.
Dylan. Kuat.
Oh, astaga! Vina lantas menggelengkan kepalanya.
Bisa-bisanya dia berpikir mesum ke arah sana!’
Kehidupan Dylan dan Vina kini berjalan lebih teratur dan penuh warna.Setelah Dylan resmi mengundurkan diri dari dunia hiburan, ia benar-benar fokus menjalankan bisnisnya yang terus berkembang. Keputusan itu membuatnya jauh lebih tenang.Dylan tak lagi dikejar jadwal padat konser, tur, dan sorotan media. Kini Dylan bisa mengatur ritme kerja sesuai dengan prioritas utamanya: keluarga.Vina merasa sangat bersyukur. Dulu ia sering khawatir Dylan kelelahan atau stres karena pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya.Kini, setiap pagi mereka bisa sarapan bersama, menyiapkan keperluan Clara dan si kembar, lalu Dylan berangkat ke kantor dengan wajah yang lebih rileks.Sore harinya, Dylan sering pulang lebih cepat agar bisa menemani Clara berlatih piano atau bermain dengan si kembar di halaman belakang rumah. Ada kebahagiaan sederhana yang tak bisa mereka beli dengan kesuksesan dunia hiburan.Vina sendiri juga semakin berkembang. Ia aktif di bidang desain busana, bahkan sering menerima pe
Sejak pengumuman itu, Clara semakin giat berlatih. Setiap hari selepas sekolah, ia akan duduk manis di depan piano di ruang musik rumah mereka. Jemarinya yang mungil menari di atas tuts, kadang tersendat, lalu ia mengulanginya lagi dengan tekun.Vina selalu setia menemani, duduk di sofa dengan senyum penuh rasa bangga. Sesekali ia merekam latihan Clara dengan ponselnya, lalu mengirimkan video itu ke Dylan yang masih berada di kantor.Malam itu, setelah Clara selesai memainkan lagu yang akan dibawakan di acara kenegaraan, Vina menghampirinya.“Sudah selesai, Sayang? Capek jari-jarinya?”“Nggak capek, Mommy. Kata guru piano, kalau latihan rutin nggak akan capek.”Vina mengusak lembut kepala Clara. “Clara, Mommy bangga sekali sama kamu. Kamu tahu tidak? Kamu akan jadi pianis termuda di acara kenegaraan. Itu artinya, semua tamu penting dari luar negeri juga akan mendengarkan permainan pianomu.”Clara tersenyum sedikit. “Iya. Guru Ara juga bilang gitu.”“Clara harus percaya diri karena mem
Begitu Dylan menyelesaikan lagu terakhirnya, tepuk tangan riuh terdengar dari “penonton kecil” di ruang tamu.Kean meloncat-loncat dengan antusias.“Wow, superstar! Superstar! Daddy keren banget!”Kael ikut-ikutan. “Aku mau tanda tangan, Daddy Lano!”Clara segera mengambil kertas gambar dan spidol. Ia pura-pura jadi fans garis keras, berlari ke arah Dylan.Clara gaya hebohnya mendekati Dylan. Gayanya benar-benar mirip seorang Goldies. “Mister Lano, boleh saya minta tanda tangan? Saya fans berat sejak kecil!”Dylan tertawa sampai terbahak, tapi tetap menuruti. Ia menandatangani kertas itu dengan gaya artis profesional.“Namanya siapa? Mau ditulis dengan ucapan apa?”Vina yang dari tadi hanya menonton sambil tersenyum, akhirnya ikut bergabung. Ia mendekat, pura-pura mengacungkan ponsel.Kali ini, Vina berpura-pura jadi reporter gosip. “Permisi, Mister Lano, bagaimana rasanya tampil di konser keluarga dengan penonton terbatas? Apa berbeda dengan konser di stadion besar dulu?”Dylan menu
Clara baru saja pulang dengan tas berat dan wajah lelah setelah seharian sekolah plus les piano. Begitu membuka pintu rumah, ia langsung disambut teriakan riang si kembar.Kean berlari mendekat dan berteriak, “Kak Ara! Tadi aku jadi kapten bola di sekolah! Semua anak nurut sama aku!”Kael ikut nimbrung sambil tersenyum. “Terus… bekalku habis. Temen-temen suka sate buah dari Mommy. Mereka minta lagi besok.”Clara terbelalak, menatap adik-adiknya yang penuh semangat.“Waaah, kalian heboh banget. Baru hari pertama sekolah aja ceritanya banyak.”Kean mengangguk cepat. “Iya! Terus habis pulang sekolah, kita diajak Daddy makan es krim. Aku pilih cokelat, Kael pilih vanila. Enak banget, Kak!”Kael menambahkan sambil menepuk perutnya. “Aku sampe kedinginan… tapi tetap habis.”Clara tergelak mendengar celotehan adik-adiknya. Ia menaruh tasnya di sofa lalu merebahkan diri di sofa.“Duh, kalian beruntung banget. Kak Ara habis les cuma dapat roti isi di jalan, gak ada es krimnya.”Kean langsung r
Pagi itu rumah terasa riuh. Vina sibuk menyiapkan bekal, sementara Dylan dengan sabar berusaha memasangkan sepatu untuk Kael yang terus bergerak tak mau diam. “Kael sayang, kalau kamu tidak tenang, sepatunya tidak bisa masuk.”Kael memberengutkan wajah dengan manja, lalu bergelendot pada tubuh Vina.“Nggak mau sekolah… maunya sama Mommy.”Di sisi lain, Kean justru terlihat antusias. Ia sudah rapi dengan tas kecil bergambar dinosaurus di punggungnya.“Daddy, cepat! Aku mau lihat mainan di sekolah!”Dylan terkekeh melihat perbedaan karakter kedua putranya.“Lihat tuh, Kean sudah siap duluan. Kael, masa kamu kalah sama kakakmu?”Kael mendengus, tapi akhirnya menurut saat Dylan mengikatkan tali sepatunya.Sesampainya di sekolah playgroup, suasana ramai oleh anak-anak yang ditemani orangtua masing-masing. Ada yang menangis kencang, ada yang ceria. Vina menggandeng tangan Kean dan Kael erat-erat.Saat guru menyapa ramah, Kean langsung berlari masuk kelas dengan riang.“Mommy, Daddy! Aku ma
Hari itu kantor polisi penuh wartawan. Berita besar sedang digoreng: kasus penggelapan dan penipuan bisnis Andreas dan Lawson akhirnya terbongkar.Andreas melangkah keluar dengan borgol di tangannya, wajahnya pucat pasi tapi masih berusaha menyunggingkan senyum sombong. Lawson, di sisi lain, menunduk lesu, seakan sudah kehilangan daya juang.Seorang wartawan mencecar pertanyaan. “Tuan Andreas, benarkah Anda selama ini menggunakan dana investor untuk kepentingan pribadi?!”Andreas mendengus kesal, ingin membalas, tapi polisi segera mendorongnya masuk ke mobil tahanan. Sementara itu, Dylan menonton dari layar televisi di ruang kantornya bersama Brandon.Dylan bersandar di kursinya, mata tajamnya penuh kepuasan.“Inilah yang mereka dapat karena serakah. Kesombongan Andreas akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.”Brandon, yang duduk di sampingnya, hanya menyeringai puas.“Semua bukti yang kita kumpulkan tidak terbantahkan. Mereka pikir bisa bermain-main dengan hukum, padahal jejak digit