Dalam pesawat, Vina sama sekali tidak berinteraksi dengan Dylan. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan headphone di telinga… lalu tertidur hingga pesawat mendarat sempurna di tempat tujuan mereka.
Vina mengguncang pelan tubuh Dylan yang masih tertidur lelap.
“Apa?!” gumam pria itu terdengar kesal.
“Sudah sampai.”
Sementara Dylano memicingkan mata, Vina sudah lebih dulu bersiap untuk menuruni pesawat.
Suasana bandara terlihat begitu ramai. Petugas keamanan yang terdiri dari pengawal pribadi, juga polisi terlihat menyebar di segala penjuru. Mereka memang ditugaskan untuk men-sterilkan jalan, sebab penggemar Dylan sudah mulai membludak menunggu sang artis tiba.
Sorak-sorai para penggila Dylan terdengar mengelukan nama pria itu.
“Lanoo!! Lano!!”
Berada beberapa langkah di belakang Dylan, Vina mengamati bagaimana reaksi pria itu pada penggemarnya. Meski dikelilingi pengawal berbadan kekar, sesekali Dylan melambai dan menunduk santun pada para penggemar.
Melihat hal itu mengingatkan Vina pada pertemuan pertamanya dengan Dylan.
Ternyata saat itu Dylan kabur dari para pengawalnya, bukan dari para penagih hutang. Memori itu membuat Vina sangat malu.
“Vina.” Tamara menarik tangan Vina dan memintanya masuk ke mobil yang sama dengannya. “Aku tadi sudah bilang untuk menyiapkan Lano, bukan? Jangan sampai terjadi begini lagi!” ucap Tamara tegas sambil menyodorkan sebuah tablet ke arah Vina.
Di layar itu, terlihat tayangan saat Dylan tiba di bandara beberapa menit lalu. Berbagai komentar negatif bermunculan di kanal itu.
“Lano terlihat pucat. Apa dia sakit?”
“Ke mana asistennya? Kenapa pakaian Lano lecek begitu?”
Dalam beberapa menit saja, tayangan itu sudah memiliki ribuan komentar. Vina mengembalikan tablet. “Maaf.”
Jadwal Dylan yang sangat padat, juga briefing yang kurang membuat Vina keteteran. Usai serangkaian acara hari itu selesai, Dylan memasuki kamar Vina yang sekaligus menjadi ruang kostum dengan wajah memendam kesal.
“Kamu membuatku jelek di bandara barusan,” desis Dylan kesal saat mengganti pakaian. “Dan berhasil mempermalukanku di seluruh acara hari ini!”
Busana pilihan Vina nyatanya dinilai kampungan. Tidak cocok dengan acara dan juga gaya Dylan biasanya.
“Jangan mentang-mentang kita punya hubungan, aku akan membelamu.”
Vina menggeleng. Namun, Dylan yang kesal sudah tidak melihat reaksinya lagi.
Sadar hari ini kemampuannya terus dikritik, Vina bertekat untuk belajar lebih giat. Acara besok masih padat, tentu ia tidak ingin membuat bosnya, kembali mendapat kritik.
Saat Vina asyik scrolling, saat itulah suara bel di pintu kamarnya terdengar.
“Dylan? Mau apa kamu—"
Dylan masuk tanpa permisi. “Aku mau tidur di sini.”
“Eh, tidak bisa!” Vina langsung menolak keinginan Dylan. “Ini kamarku.”
“Aku tidak peduli. Aku bisa tidur di mana pun aku mau.” Lelaki itu naik ke ranjang, dan mendapati ponsel Vina yang layarnya sedang menampilkan berbagai berita dan foto tentang dirinya. Dylan mendengus pelan. “Jangan jatuh cinta padaku. Katamu, kita kan sudah cerai!”
**
“Lano mana?”
“Umm… itu, Dylan….”
Bagai pasangan mesum yang digerebek warga, Vina dengan wajah bantalnya membuka pintu.
Tamara langsung menyoroti pakaian Vina, yang tentu saja masih dalam kondisi normal.
“Tenang saja, aku tidak mengcurigaimu. Aku yang minta Lano ke sini untuk membicarakan kegiatan hari ini dan persiapannya. Kalian pasti bicara sampai dini hari.”
Boro-boro berdiskusi tentang acara hari ini. Sampai di ranjang, Dylan langsung tidur nyenyak. Vina mendesah dalam hati.
Tamara lalu mengecek jam di tangannya dan menoleh menatap Vina. “Setengah jam lagi kita berangkat. Cepat, siapkan Lano!”
Setelah Tamara keluar, Vina langsung bersiap, tanpa mandi. Ia membangunkan Dylan.
Pria itu menurut, lantas bergegas mandi. Beberapa menit setelahnya, Dylan keluar dengan hanya mengenakan handuk di pinggang.
Lelaki itu berdiri di depan Vina, lalu melepas handuk tanpa malu.
“Akh, mataku!” Spontan, Vina menutup mata. “Apa yang kamu lakukan!”
“Apa, sih?” Dylan malah menarik tangan Vina. “Kamu kan sudah pernah lihat semuanya.”
Dengan mata masih terpejam, jari Vina menunjuk ranjang. "Itu pakaianmu, cepat pakai!"
"Pakein!" Dylan berkacak pinggang di depan Vina dengan sorot mata tajam.
Setelah menghela napas beberapa kali, Vina berhasil mendandani Dylan. Selesai dengan pakaian, Vina juga memoles skincare agar wajah Dylan lebih cerah dan flawless di depan kamera.
Saat berdekatan, Dylan mengamati wajah cantik Vina. "Wajahmu tidak berubah. Harummu juga masih sama." Dylan berucap pelan.
Vina mengabaikan pernyataan Dylan. Jarak mereka semakin dekat. Dylan mendorong punggung Vina ke dadanya.
Lelaki itu memiringkan kepala. Bibir Dylan menyasar pada bibir Vina. Vina bisa merasakan embusan napas hangat Dylan di wajahnya.
Detik itu, Vina merasa tubuhnya kaku dan benar-benar tak bisa bergerak. Hingga pintu tiba-tiba terbuka ....
Kehidupan Dylan dan Vina kini berjalan lebih teratur dan penuh warna.Setelah Dylan resmi mengundurkan diri dari dunia hiburan, ia benar-benar fokus menjalankan bisnisnya yang terus berkembang. Keputusan itu membuatnya jauh lebih tenang.Dylan tak lagi dikejar jadwal padat konser, tur, dan sorotan media. Kini Dylan bisa mengatur ritme kerja sesuai dengan prioritas utamanya: keluarga.Vina merasa sangat bersyukur. Dulu ia sering khawatir Dylan kelelahan atau stres karena pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya.Kini, setiap pagi mereka bisa sarapan bersama, menyiapkan keperluan Clara dan si kembar, lalu Dylan berangkat ke kantor dengan wajah yang lebih rileks.Sore harinya, Dylan sering pulang lebih cepat agar bisa menemani Clara berlatih piano atau bermain dengan si kembar di halaman belakang rumah. Ada kebahagiaan sederhana yang tak bisa mereka beli dengan kesuksesan dunia hiburan.Vina sendiri juga semakin berkembang. Ia aktif di bidang desain busana, bahkan sering menerima pe
Sejak pengumuman itu, Clara semakin giat berlatih. Setiap hari selepas sekolah, ia akan duduk manis di depan piano di ruang musik rumah mereka. Jemarinya yang mungil menari di atas tuts, kadang tersendat, lalu ia mengulanginya lagi dengan tekun.Vina selalu setia menemani, duduk di sofa dengan senyum penuh rasa bangga. Sesekali ia merekam latihan Clara dengan ponselnya, lalu mengirimkan video itu ke Dylan yang masih berada di kantor.Malam itu, setelah Clara selesai memainkan lagu yang akan dibawakan di acara kenegaraan, Vina menghampirinya.“Sudah selesai, Sayang? Capek jari-jarinya?”“Nggak capek, Mommy. Kata guru piano, kalau latihan rutin nggak akan capek.”Vina mengusak lembut kepala Clara. “Clara, Mommy bangga sekali sama kamu. Kamu tahu tidak? Kamu akan jadi pianis termuda di acara kenegaraan. Itu artinya, semua tamu penting dari luar negeri juga akan mendengarkan permainan pianomu.”Clara tersenyum sedikit. “Iya. Guru Ara juga bilang gitu.”“Clara harus percaya diri karena mem
Begitu Dylan menyelesaikan lagu terakhirnya, tepuk tangan riuh terdengar dari “penonton kecil” di ruang tamu.Kean meloncat-loncat dengan antusias.“Wow, superstar! Superstar! Daddy keren banget!”Kael ikut-ikutan. “Aku mau tanda tangan, Daddy Lano!”Clara segera mengambil kertas gambar dan spidol. Ia pura-pura jadi fans garis keras, berlari ke arah Dylan.Clara gaya hebohnya mendekati Dylan. Gayanya benar-benar mirip seorang Goldies. “Mister Lano, boleh saya minta tanda tangan? Saya fans berat sejak kecil!”Dylan tertawa sampai terbahak, tapi tetap menuruti. Ia menandatangani kertas itu dengan gaya artis profesional.“Namanya siapa? Mau ditulis dengan ucapan apa?”Vina yang dari tadi hanya menonton sambil tersenyum, akhirnya ikut bergabung. Ia mendekat, pura-pura mengacungkan ponsel.Kali ini, Vina berpura-pura jadi reporter gosip. “Permisi, Mister Lano, bagaimana rasanya tampil di konser keluarga dengan penonton terbatas? Apa berbeda dengan konser di stadion besar dulu?”Dylan menu
Clara baru saja pulang dengan tas berat dan wajah lelah setelah seharian sekolah plus les piano. Begitu membuka pintu rumah, ia langsung disambut teriakan riang si kembar.Kean berlari mendekat dan berteriak, “Kak Ara! Tadi aku jadi kapten bola di sekolah! Semua anak nurut sama aku!”Kael ikut nimbrung sambil tersenyum. “Terus… bekalku habis. Temen-temen suka sate buah dari Mommy. Mereka minta lagi besok.”Clara terbelalak, menatap adik-adiknya yang penuh semangat.“Waaah, kalian heboh banget. Baru hari pertama sekolah aja ceritanya banyak.”Kean mengangguk cepat. “Iya! Terus habis pulang sekolah, kita diajak Daddy makan es krim. Aku pilih cokelat, Kael pilih vanila. Enak banget, Kak!”Kael menambahkan sambil menepuk perutnya. “Aku sampe kedinginan… tapi tetap habis.”Clara tergelak mendengar celotehan adik-adiknya. Ia menaruh tasnya di sofa lalu merebahkan diri di sofa.“Duh, kalian beruntung banget. Kak Ara habis les cuma dapat roti isi di jalan, gak ada es krimnya.”Kean langsung r
Pagi itu rumah terasa riuh. Vina sibuk menyiapkan bekal, sementara Dylan dengan sabar berusaha memasangkan sepatu untuk Kael yang terus bergerak tak mau diam. “Kael sayang, kalau kamu tidak tenang, sepatunya tidak bisa masuk.”Kael memberengutkan wajah dengan manja, lalu bergelendot pada tubuh Vina.“Nggak mau sekolah… maunya sama Mommy.”Di sisi lain, Kean justru terlihat antusias. Ia sudah rapi dengan tas kecil bergambar dinosaurus di punggungnya.“Daddy, cepat! Aku mau lihat mainan di sekolah!”Dylan terkekeh melihat perbedaan karakter kedua putranya.“Lihat tuh, Kean sudah siap duluan. Kael, masa kamu kalah sama kakakmu?”Kael mendengus, tapi akhirnya menurut saat Dylan mengikatkan tali sepatunya.Sesampainya di sekolah playgroup, suasana ramai oleh anak-anak yang ditemani orangtua masing-masing. Ada yang menangis kencang, ada yang ceria. Vina menggandeng tangan Kean dan Kael erat-erat.Saat guru menyapa ramah, Kean langsung berlari masuk kelas dengan riang.“Mommy, Daddy! Aku ma
Hari itu kantor polisi penuh wartawan. Berita besar sedang digoreng: kasus penggelapan dan penipuan bisnis Andreas dan Lawson akhirnya terbongkar.Andreas melangkah keluar dengan borgol di tangannya, wajahnya pucat pasi tapi masih berusaha menyunggingkan senyum sombong. Lawson, di sisi lain, menunduk lesu, seakan sudah kehilangan daya juang.Seorang wartawan mencecar pertanyaan. “Tuan Andreas, benarkah Anda selama ini menggunakan dana investor untuk kepentingan pribadi?!”Andreas mendengus kesal, ingin membalas, tapi polisi segera mendorongnya masuk ke mobil tahanan. Sementara itu, Dylan menonton dari layar televisi di ruang kantornya bersama Brandon.Dylan bersandar di kursinya, mata tajamnya penuh kepuasan.“Inilah yang mereka dapat karena serakah. Kesombongan Andreas akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.”Brandon, yang duduk di sampingnya, hanya menyeringai puas.“Semua bukti yang kita kumpulkan tidak terbantahkan. Mereka pikir bisa bermain-main dengan hukum, padahal jejak digit