"Benarkah? Hati-hati, nyawamu itu hanya satu! Jangan pernah lagi menempatkan dirimu dalam bahaya, janjikan itu padaku," Yura berbicara dengan nada mendesak, seolah-olah kata-katanya adalah kalimat terakhir yang ingin dia sampaikan.Damian mengangguk, memahami betapa pentingnya peringatan Yura, dan dengan penuh rasa terima kasih, ia memeluk Yura. Hangatnya opelukan itu menyimbolkan sebuah janji tulus; sebuah janji untuk selalu menjaga keselamatan bersama. "Terima kasih sudah sangat peduli padaku, Sayang." Suara Damian bergetar, mencerminkan campuran emosi kesyukuran dan relief yang mendalam.Tiba-tibaCacing di perut Yura meronta ronta, menabuh gendang hingga timbullah suara nyaring dari dalam sana. Yura mencoba menyembunyikan rasa malunya dengan tertunduk, sementara Damian yang duduk di sebelahnya, menatapnya dengan pandangan yang penuh pengertian.Dalam ruangan yang hening itu, suara perut Yura terdengar sangat jelas, membuat pipinya memerah. Damian yang menyadari keadaan itu, tersen
Damian mengikis jarak dengan Luhan dan berkata, "aku tanya sekali lagi, di mana surat perceraian itu?" tanya Damian dengan nada suara yang bergetar, mencoba menahan emosi yang meluap-luap.Kakek Luhan hanya tersenyum tipis, seraya mengambil satu biji cerutu dan menyesapnya setelah pengawal menyulutnya. "Aku rasa aku belum siap untuk memberikannya padamu, Damian. Masih banyak hal yang perlu kita bicarakan."Damian merasa darahnya seketika mendidih mendengar jawaban itu. Ia telah dipermainkan, dibohongi oleh orang yang seharusnya bisa dipercaya. "Pak Tua, aku sudah sangat sabar. Jangan uji kesabaran saya lebih jauh," ucap Damian, mengepalkan tangannya semakin kuat.Kakek Luhan membuang kasar nikotin itu dan menginjaknya hingga hancur, lalu menatap Damian dengan tatapan tajam. "Damian, kamu harus belajar satu hal, sabar itu memang perlu. Dan terkadang, untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan, kamu harus menunggu dengan cara yang benar.""Cara yang benar katamu?" Damian menghela napas be
"Malang sekali nasibmu. Di saat kamu begitu bergairah pada Damian, dia tak menolehmu."Jarco membuka mulut Jenny, ingin mendengarkan jawabannya. "Tidak, Damian pasti akan menolongku," jawabnya terengah engah.'Bahkan dengan kejam dia memintaku untuk menyiksamu seperti ini,' batin Jarco. "Baiklah, terserah penilainmu. Ini baru permulaan, Sayang. Akan ku buat kamu menderita.""Akankah Jenny dilepaskan oleh Damian? Atau ada seseorang yang menolongnya?"Acara pernikahan "Ada apa, Kakek? Aku yang menikah, tapi mengapa kamu yang khawatir setengah mati?"Wajah Damian memancarkan senyum kemenangan saat dia mendekati Kakek Luhan yang terlihat gelisah. Kakek Luhan duduk di kursi pojok ruangan, tangan kanannya mencengkeram tangan kiri yang bergetar, mata tua itu menatap hampa ke arah pintu yang tidak juga dibuka oleh Jenny."Kakek, sepertinya rencana anda untuk menghentikan saya tidak berhasil," ujar Damian dengan nada mengejek, berdiri tegak di hadapan Kakek Luhan. "Mungkin Anda terkejut karen
Perusahaan Damian.Damian melangkah dengan gagah menuju ruang ganti yang sudah disiapkan oleh Andi di dalam perusahaan. Dengan sigap, dia mengenakan tuxedo hitam yang telah dipilihkan, memeluk sempurna pada setiap lekuk ototnya. Setiap kancing yang dikaitkan semakin menambah kesan aristokrat yang elegan. Rambutnya yang biasanya acak-acakan, kini disisir rapi dan diberi gel untuk memberikan kesan klimis yang memperjelas definisi rahangnya yang tegas.Cermin di depan Damian memantulkan sosok yang berbeda, seorang pria yang siap menghadapi hari besar dalam hidupnya dengan penuh percaya diri. Setelah memastikan penampilannya sempurna, Damian mengambil napas dalam-dalam, menyesuaikan dasi kupu-kupunya, dan dengan langkah pasti, dia berjalan keluar perusahaan disertai Andy di sampingnya.Di saat Damian hendak masuk mobil, tiba tiba saja diurungkannya."Ada apa Tuan?" tanya Andy ragu.Damian menggeleng pelan, dia merasakan ada yang tak beres, menunduk dan melihat jika ada cairan yang mengucu
"Tidak, Yura. Tetaplah di rumah sakit. Aku akan pulang secepat mungkin. Percayalah padaku."Air mata Yura tak terbendung lagi, mengalir membasahi pipi. Dunianya terasa runtuh mendengar Damian berada dalam cengkeraman kesakitan dan bahaya. Namun dia tidak bisa berada di sampingnya."Baiklah," ucap Yura penuh khawatir juga kecewa. Dia tak menyangka jika Damian harus kecelakaan. Semua ini pasti karena anak buah kakek Luhan. Keselamatan Damian sangat penting, seharusnya menempatkan bodyguard yang tangguh untuk mengantisipasi hal ini.Di tempat lainDamian menghela napas berat, tubuhnya merasakan setiap denyut kebingungan setelah percakapan dengan Yura. Ada rahasia yang harus dia simpan rapat-rapat, demi keselamatan hubungan mereka."Anda yakin dengan langkah yang akan Anda ambil, Tuan?" suara Andy, penuh dengan kekhawatiran, mencoba menyentuh kesadaran Damian. Masih ada waktu untuk memutar balik keputusan yang mungkin saja fatal.Damian menatap Andy dengan tatapan tegas dan tanpa ragu. "J
Damian meraih tangan Yura dengan penuh keinginan, menariknya dengan lembut dan pasti menuju sofa di sudut ruangan. Matanya yang berkobar memancarkan kegigihan, tak ingin menunda perasaan yang telah lama terpendam. Dengan gerakan cepat, ia mulai membuka kancing bajunya, nafasnya terengah-engah penuh antisipasi."Jangan!"Yura dengan cepat menepis tangan Damian, matanya memancarkan kecemasan. "Damian, kita berada di rumah sakit," bisiknya lembut dan tegas, mencoba mengingatkan Damian tentang janji yang telah mereka buat. "Kamu telah berjanji, sebelum kita menikah, kamu tidak akan menyentuhku.""Tapi, aku tak bisa mengendalikannya," ujar Damian sambil kembali mengungkung Yura, menciumi leher jenjangnya agar si pemilik merasakan hal yang sama, yaitu menahan sesuatu yang ingin meledak di dalam sana.Yura merasa dilema saat menikmati sentuhan Damian. Meski hatinya sangat menolak, namun tubuhnya justru menikmati setiap sentuhan yang diberikan kekasihnya itu. Dia berusaha sekuat tenaga menaha