"Malang sekali nasibmu. Di saat kamu begitu bergairah pada Damian, dia tak menolehmu."Jarco membuka mulut Jenny, ingin mendengarkan jawabannya. "Tidak, Damian pasti akan menolongku," jawabnya terengah engah.'Bahkan dengan kejam dia memintaku untuk menyiksamu seperti ini,' batin Jarco. "Baiklah, terserah penilainmu. Ini baru permulaan, Sayang. Akan ku buat kamu menderita.""Akankah Jenny dilepaskan oleh Damian? Atau ada seseorang yang menolongnya?"Acara pernikahan "Ada apa, Kakek? Aku yang menikah, tapi mengapa kamu yang khawatir setengah mati?"Wajah Damian memancarkan senyum kemenangan saat dia mendekati Kakek Luhan yang terlihat gelisah. Kakek Luhan duduk di kursi pojok ruangan, tangan kanannya mencengkeram tangan kiri yang bergetar, mata tua itu menatap hampa ke arah pintu yang tidak juga dibuka oleh Jenny."Kakek, sepertinya rencana anda untuk menghentikan saya tidak berhasil," ujar Damian dengan nada mengejek, berdiri tegak di hadapan Kakek Luhan. "Mungkin Anda terkejut karen
Perusahaan Damian.Damian melangkah dengan gagah menuju ruang ganti yang sudah disiapkan oleh Andi di dalam perusahaan. Dengan sigap, dia mengenakan tuxedo hitam yang telah dipilihkan, memeluk sempurna pada setiap lekuk ototnya. Setiap kancing yang dikaitkan semakin menambah kesan aristokrat yang elegan. Rambutnya yang biasanya acak-acakan, kini disisir rapi dan diberi gel untuk memberikan kesan klimis yang memperjelas definisi rahangnya yang tegas.Cermin di depan Damian memantulkan sosok yang berbeda, seorang pria yang siap menghadapi hari besar dalam hidupnya dengan penuh percaya diri. Setelah memastikan penampilannya sempurna, Damian mengambil napas dalam-dalam, menyesuaikan dasi kupu-kupunya, dan dengan langkah pasti, dia berjalan keluar perusahaan disertai Andy di sampingnya.Di saat Damian hendak masuk mobil, tiba tiba saja diurungkannya."Ada apa Tuan?" tanya Andy ragu.Damian menggeleng pelan, dia merasakan ada yang tak beres, menunduk dan melihat jika ada cairan yang mengucu
"Tidak, Yura. Tetaplah di rumah sakit. Aku akan pulang secepat mungkin. Percayalah padaku."Air mata Yura tak terbendung lagi, mengalir membasahi pipi. Dunianya terasa runtuh mendengar Damian berada dalam cengkeraman kesakitan dan bahaya. Namun dia tidak bisa berada di sampingnya."Baiklah," ucap Yura penuh khawatir juga kecewa. Dia tak menyangka jika Damian harus kecelakaan. Semua ini pasti karena anak buah kakek Luhan. Keselamatan Damian sangat penting, seharusnya menempatkan bodyguard yang tangguh untuk mengantisipasi hal ini.Di tempat lainDamian menghela napas berat, tubuhnya merasakan setiap denyut kebingungan setelah percakapan dengan Yura. Ada rahasia yang harus dia simpan rapat-rapat, demi keselamatan hubungan mereka."Anda yakin dengan langkah yang akan Anda ambil, Tuan?" suara Andy, penuh dengan kekhawatiran, mencoba menyentuh kesadaran Damian. Masih ada waktu untuk memutar balik keputusan yang mungkin saja fatal.Damian menatap Andy dengan tatapan tegas dan tanpa ragu. "J
Damian meraih tangan Yura dengan penuh keinginan, menariknya dengan lembut dan pasti menuju sofa di sudut ruangan. Matanya yang berkobar memancarkan kegigihan, tak ingin menunda perasaan yang telah lama terpendam. Dengan gerakan cepat, ia mulai membuka kancing bajunya, nafasnya terengah-engah penuh antisipasi."Jangan!"Yura dengan cepat menepis tangan Damian, matanya memancarkan kecemasan. "Damian, kita berada di rumah sakit," bisiknya lembut dan tegas, mencoba mengingatkan Damian tentang janji yang telah mereka buat. "Kamu telah berjanji, sebelum kita menikah, kamu tidak akan menyentuhku.""Tapi, aku tak bisa mengendalikannya," ujar Damian sambil kembali mengungkung Yura, menciumi leher jenjangnya agar si pemilik merasakan hal yang sama, yaitu menahan sesuatu yang ingin meledak di dalam sana.Yura merasa dilema saat menikmati sentuhan Damian. Meski hatinya sangat menolak, namun tubuhnya justru menikmati setiap sentuhan yang diberikan kekasihnya itu. Dia berusaha sekuat tenaga menaha
"Aku akan membatalkan pernikahan ini," ujarnya.Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Yura, membuatnya segera melepaskan pelukan dan menatap Damian dengan mata berkaca-kaca. "Jangan, aku mohon," Yura memelas, suaranya bergetar, seolah menggantungkan nasibnya pada kata-kata berikutnya. "Apa yang kita dapatkan jika kamu membatalkan pernikahan ini? Apa kita akan bisa bersatu?"Damian hanya menggeleng pelan, matanya sayu, memandang ke arah yang tak ditentu. "Tidak, aku tahu Luhan. Jika semua rencana ini gagal, dia tidak akan tinggal diam," bisiknya serak, seraya menutup mata, membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Konflik di dalam hatinya bertambah sengit, perang antara cinta dan kenyataan yang harus dihadapi.Damian menangkup pipi Yura dan memandangnya lekat."Yura, apa kamu mencintaiku? Tak rela aku menikah dengan Jenny?"Yura menatap manik mata biru Damian.Memegang tangan Damian dan mengangguk.Damian mengusap air mata Yura, membelai lembut pipi chubby yang ki
"Dasar pembohong," gerutu Yura, kesal bukan main. Hatinya merasa sakit dan patah, karena ia terus menunggu kepulangan Damian yang tak kunjung datang. "Kenapa harus begitu? Aku merasa seperti orang bodoh yang terus saja menunggu tanpa tahu kapan kamu akan benar-benar kembali." Dalam hati kecilnya, ia bertanya-tanya apakah Damian telah melupakan janjinya, atau mungkin ada hal lain yang menghalangi kehadirannya."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku harus terus menunggu dengan sia-sia, atau mencoba melupakan janji yang telah ia ingkari?" Semakin lama Yura menunggu, semakin hilang pula kepercayaan dan harapannya pada Damian.Di sisi lain, Damian melangkah gontai menuju rumah sakit yang dia tinggalkan lebih lama dari yang dijanjikan. Langkahnya berat, setiap tapak seolah membawa beban penyesalan yang tak terukur. Setibanya di depan pintu, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Yura.Pintu terbuka, dan matanya langsung bertemu dengan tatap