Seruni akhirnya mengikuti Catra keluar dari mobil. Mereka duduk bersisian di dalam warung pecel lele yang malam itu cukup ramai.
“Kamu mau makan dan minum apa?” tanya Catra setelah duduk.
“Ayam bakar sama jeruk panas, Pak,” jawab Seruni.
“Nasinya uduk apa biasa?” tanya Catra lagi sambil menulis menu yang dipesan.
“Sama kaya Pak Catra saja,” sahut Seruni.
Setelah menulis makanan dan minuman yang dipesan, Catra menyerahkan nota pesanan pada salah satu karyawan pecel lele. Sambil menunggu pesanan datang, Catra mengajak Seruni berbicara agar tidak bosan. Dia sekaligus ingin mencari tahu masalah yang sedang dihadapi oleh salah satu bawahannya itu.
“Seruni, sekarang kamu bisa ceritakan masalahmu. Santai saja, anggap aku ini temanmu,” pinta Catra sambil menyentuh tangan Seruni yang ada di atas meja.
“Saya tidak punya masalah apa-apa, Pak,” sangkal Seruni seraya menarik tangan yang disentuh oleh Catra. Dia merasa tak nyaman dengan sentuhan tersebut. Namun pria berkacamata itu menahan tangan Seruni, tak mau melepaskan.
“Jangan bohong, Seruni. Aku tahu kamu sedang ada masalah,” tukas Catra. “Apa kamu baru saja putus dari pacarmu?” tebaknya.
Seruni sontak menoleh pada Catra. Dia memandang atasannya itu dengan tatapan heran.
“Benar ‘kan tebakanku kalau kamu baru saja putus?” ucap Catra dengan penuh percaya diri.
“Bagaimana Pak Catra tahu?” Seruni akhirnya bicara.
Catra tertawa kecil. “Masalah wanita single seperti kamu ini kemungkinan besar ya soal pacar, jarang soal keluarga. Beda kalau sudah menikah, lebih kompleks masalahnya.”
“Seruni, jangan hanya karena seorang pria, kamu jadi patah semangat. Masih banyak pria lain di dunia ini,” sambungnya.
“Tapi semua pria yang dekat dengan saya tidak setia, Pak. Semua pacar saya selingkuh. Saya selalu dikhianati,” sahut Seruni. “Mungkin memang saya tidak ditakdirkan punya pasangan,” imbuhnya dengan wajah sendu.
“Paling parah mantan tunangan saya, Pak. Minggu kemarin ngamar sama selingkuhannya di hotel padahal bulan depan rencananya dia melamar saya, terus tiga bulan setelahnya kami akan menikah. Tapi ternyata semua hanya tinggal angan-angan,” sambung Seruni sambil menunduk. Menyembunyikan luka hatinya.
Tanpa Seruni sadari Catra merangkul bahunya. “Sabar ya. Berarti dia bukan jodohmu. Jangan lagi membuang waktumu untuk pria berengsek seperti dia. Kamu harus membuktikan kalau kamu lebih bahagia tanpa dia. Buat dia menyesal karena sudah meninggalkamu,” ucap pria berkacamata itu.
“Aku siap membantu kalau kamu mau balas dendam,” tambah Catra.
Seruni kembali memandang atasannya itu. “Balas dendam?”
Catra mengangguk. “Iya, balas dendam. Tunjukkan kalau kamu bisa dapat pria yang lebih baik dari dia dan hidupmu lebih bahagia tanpa pria berengsek itu.”
“Bagaimana caranya, Pak?” Seruni mulai tertarik dengan apa yang dikatakan oleh atasannya itu. Selama ini dia tidak pernah berpikir untuk balas dendam pada mantan-mantan pacarnya. Mungkin saja dengan balas dendam, sakit hatinya bisa hilang.
“Nanti kita bicara lagi. Sekarang makan dulu.” Catra menyodorkan ayam bakar, nasi uduk, sambal bawang, dan lalap pada Seruni saat pesanan mereka diantarkan ke meja.
Atasan dan bawahan itu kemudian makan dengan lahap tanpa banyak bicara selain Catra menanyakan apakah Seruni suka dengan makanannya. Mereka sama-sama lapar karena terakhir makan saat istirahat siang sebelum pergi ke mal untuk menjaga stan. Apalagi setelah Magrib banyak pengunjung yang datang ke stan dan keduanya harus melayani dan menjawab pertanyaan para pengunjung dengan baik.
Selesai makan, Catra membayar makanan dan minuman yang mereka pesan. Setelah itu keduanya langsung pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Catra pun melajukan kendaraannya menuju rumah orang tua Seruni.
“Pak, apa kita bisa bicara lagi soal balas dendam pada mantan tunangan saya?” Seruni memberanikan diri membuka pembicaraan lagi sesudah beberapa saat yang lalu dia memberi tahu alamat rumah orang tuanya pada Catra.
Pria berkacamata itu menoleh sekilas lalu tersenyum. “Bisa, tapi mungkin tidak akan selesai malam ini.”
“Tidak apa-apa, Pak. Yang penting saya tahu gambarannya biar saya bisa tidur nyenyak malam ini dan tidak penasaran,” sahut Seruni sambil memandang manajernya yang sedang mengemudi.
“Sebelum aku menentukan cara balas dendammu, boleh ‘kan aku tanya-tanya soal mantan tunanganmu itu?” tanya Catra.
Seruni mengernyit. “Buat apa, Pak?” tanyanya penuh rasa penasaran.
“Biar aku bisa merancang strategi yang tepat untuk balas dendam,” jawab Catra.
“Oh, begitu. Sebenarnya saya sudah malas mengingat mantan tunangan saya itu, tapi kalau Pak Catra ingin tahu silakan tanya, Pak,” timpal Seruni.
“Mantan tunanganmu kerja di mana dan apa posisinya?” Catra mulai bertanya.
“Kerja kantoran, Pak. Staf biasa,” jawab Seruni.
“Gajinya lebih besar dia atau kamu?” tanya Catra lagi.
“Kalau sama bonus ya jauh lebih besar saya, Pak. Kadang kalau sedang jalan berdua, saya yang keluar uang dan membelikan dia barang,” jawab Seruni.
Catra berdecak mendengar jawaban bawahannya itu. “Jangan-jangan dia jarang keluar uang kalau kalian jalan?” tebaknya.
Seruni menganggut. “Iya, Pak. Mungkin bisa dihitung dengan jari dia mengeluarkan uang.”
“Terus kamu selalu diam saja diperlakukan seperti itu?” Catra kesal sendiri mendengar jawaban dari bawahannya tersebut.
Seruni kembali menyengguk. “Saya maklum karena gajinya dipotong untuk bayar cicilan motor, Pak. Selain itu katanya dia juga harus memberi uang pada orang tuanya.”
“Dan kamu percaya begitu saja?” Lagi-lagi Catra berdecak.
“Namanya orang pacaran ya saling percaya, Pak. Saya juga terlalu cinta makanya saya percaya saja sama dia. Saya tidak pernah meragukan dia apalagi kami sudah bertunangan,” sahut Seruni.
“Apa kamu ga pernah berpikir dia hanya memanfaatkanmu?” Catra kembali bertanya.
“Sama sekali tidak pernah, Pak. Tapi setelah Pak Catra bicara seperti itu, saya jadi berpikir kalau saya dimanfaatkan sama mantan tunangan saya,” timpal Seruni.
“Apa dia coba menjelaskan siapa wanita yang tidur dengannya di hotel waktu kamu memergokinya? Atau coba menghubungimu lagi setelah itu?” cecar Catra.
Seruni menggeleng berulang kali. “Dia hanya diam, tidak menjelaskan apa pun. Dia juga tidak pernah menghubungi padahal saya tidak memblokir nomornya. Keluarganya pun sama sekali tidak datang untuk menegaskan putusnya pertunangan kami.”
“Mantan tunanganmu itu cowok mokondo. Untung saja ketahuannya sebelum nikah, coba kalau sudah nikah, kamu bakal diporotin sama dia habis-habisan. Aku yakin dia juga tidak punya tabungan, tapi gayanya sok kaya,” tukas Catra.
“Sekarang Pak Catra sudah tahu bagaimana mantan tunangan saya. Terus bagaimana cara saya balas dendamnya, Pak?” tanya Seruni kemudian.
“Aku pikirkan dulu, besok aku kasih jawabannya,” jawab Catra. “Kamu besok ada jadwal jaga stan atau tidak?” Pria itu menoleh ke samping kirinya.
Seruni menggeleng. “Tidak, Pak. Besok saya di kantor. Lusa saya ada jadwal jaga pagi.”
“Kalau begitu besok kita ngobrol saat makan siang,” putus Catra.
“Jadi besok saya harus makan siang dengan Pak Catra?” tanya Seruni.
Catra mengangguk. “Iya. Kenapa? Kamu tidak mau?”
Runi terkesiap mendengar pertanyaan Bagas. Dia tidak menduga manajer hotel itu akan menanyakan hal itu padanya. "Maksud Mas Bagas pacarku?" Bagas menggeleng. "Ga harus pacar, siapa pun yang sekarang sedang dekat denganmu."Seruni diam sejenak sebelum menanggapi Bagas. "Aku ga punya pacar, Mas. Aku ga mau berkomitmen lagi, Mas. Aku trauma dikhianati," akunya."Maaf karena sudah mengingatkanmu pada hal yang menyakitkan." Bagas jadi merasa bersalah. Seruni tersenyum ke arah Bagas. "Tidak ada yang perlu dimaafkan karena Mas Bagas tidak salah," ucapnya.Setelah itu tak ada lagi yang berbicara. Hening menguasai saat mobil Bagas melaju dengan kecepatan sedang. Seruni yang duduk di samping Bagas, memilih menatap keluar jendela, sementara manajer hotel itu fokus mengendarai mobil sambil sesekali melirik ke samping kirinya."Runi, kamu marah sama aku?" tanya Bagas tiba-tiba. Memecah kesunyian di antara mereka.Seruni menoleh dengan kening mengerut. "Marah? Enggak kok. Memangnya aku kelihatan
Seruni menatap Intan lekat. Dia seolah bertanya pada sahabatnya itu lewat tatapan mata, apakah mau menemani Bagas mencari sepatu atau pulang saja seperti niat mereka sebelumnya. Intan memandang Bagas dengan senyum menyeringai. "Nanti kita dapat apa kalau nemenin Mas Bagas?" Dia tidak mau kalau tidak mendapatkan apa-apa dari kakak sepupunya itu. "Kalian bisa beli apa pun yang kalian mau. Sepatu, tas, baju, atau apa saja terserah," timpal Bagas dengan santai. Dia terus menampakkan senyum di wajah tampannya. Intan mengangguk. "Oke kalau begitu. Ayo, kita temani Mas Bagas, Run," ucapnya dengan penuh antusias. Ketiga orang itu akhirnya masuk ke salah satu toko yang menjual sepatu impor. Bagas melihat-lihat model sepatu olahraga, tapi tak ada yang cocok di hatinya. Mereka pun masuk dan keluar toko beberapa kali karena lagi-lagi Bagas belum menemukan yang sesuai keinginannya. "Mas, sebenarnya model kaya apa sih yang pengen dibeli. Masa sudah lima toko kita masuki tapi belum ada yan
Seruni menutup matanya sambil menghela napas panjang. “Aku tahu, In, tapi aku ga bisa berhenti begitu saja. Jujur, aku nyaman saat bersama dia. Baru kali ini aku merasa dihargai.”"Apa dia pernah menyatakan cinta dan bilang mau berpisah dengan istrinya kalau kamu menerimanya?" tanya Intan dengan nada sinis.Seruni mengangguk. "Pernah. Tapi aku ga mau, In. Aku ga mau jatuh cinta dan berkomitmen lagi. Aku benar-benar trauma."“Terus hubunganmu sama dia itu apa kalau tidak ada komitmen, Run?” desak Intan yang merasa gemas pada sahabatnya.“Kami tidak ada komitmen apa pun, In. Hanya saling memberi kenyamanan satu sama lain,” aku Seruni.Intan membelalakkan mata mendengar pengakuan sahabatnya. Dia tak percaya sahabatnya yang dulu sangat lugu, benar-benar berubah 180 derajat dalam waktu sebentar. Tak bertemu dua bulan saja, Intan sudah merasa asing dengan perubahan Seruni.“Jadi hubungan kalian tanpa status?” tanya Intan memastikan.Seruni mengangguk. “Iya, In. Aku sudah trauma dikhianati.
Pertanyaan Intan sontak membuat Seruni terkejut. Bukannya bercerita tentang keseharian mereka malah menanyakan pria yang sudah mengkhianati cintanya. Namun dia juga bisa mengerti kenapa sahabatnya itu bertanya, mengingat betapa hancur hatinya saat mengetahui perselingkuhan sang mantan tunangan. Dan setelah peristiwa tersebut, baru hari ini mereka bertemu.Seruni mengulum senyum. “Buang-buang waktu dan energi saja kalau aku tidak langsung move on dari dia, In. Buat apa mengingat-ingat pria yang sudah mengkhianati cinta tulus kita,” tukasnya.Intan tampak menghela napas lega. “Syukurlah kalau kamu sudah move on. Apa itu berarti sekarang kamu lagi dekat sama seseorang?” tanyanya sambil menatap san
Intan tertawa mendengar pertanyaan kakak sepupunya. “Normalnya ‘kan orang itu sukanya sama yang sebaya atau yang selisih umurnya tidak banyak, bukan sama anak kecil, Mas. Udah kaya pedo—” Belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya, Bagas sudah menyela.“Heh, aku pria normal ya. Aku bukan pria seperti yang ada di pikiranmu itu.” Bagas dengan cepat meluruskan pemikiran sang adik sepupu yang mengira dia punya kelainan s3ksual karena suka dengan Seruni yang selisih umurnya delapan tahun lebih muda darinya.Intan kembali tertawa. “Iya, aku percaya Mas Bagas pria yang normal, kalau ga normal pasti udah jadi tulang lunak.” Gadis itu malah makin meledek sang kakak sepupu.
Seruni menyadari perubahan sikap Catra jadi dia harus bisa bersikap bijak agar tidak membuat pria yang sudah banyak membantunya itu tidak tersinggung atau sakit hati. “Kalau memang benar apa yang Pak Catra katakan tadi, saya tidak peduli. Saya tidak kenal dekat dengan Mas Bagas, kami juga baru dua kali bertemu,” ucapnya.“Berulang kali sudah saya katakan kalau saya tidak percaya lagi pada cinta dan komitmen. Jadi tidak mungkin saya menerima cintanya atau pria mana pun. Kita yang sudah sedekat ini dan melakukan hubungan yang sudah melampaui batas saja, tetap tidak ada komitmen 'kan?” sambung Seruni.“Banyaknya luka dan sakit yang sayang rasakan, membuat saya tidak mau membuka hati lagi. Bi