Aku berdiri mematung, mengedarkan pandangan ke segala penjuru dapur, tanpa tahu harus melakukan apa pagi ini?
Niat awal tadi, mau ala-ala istri sholehah yang menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat kerja.Tapi masalahnya, aku....Menggigit jari, lalu menggaruk kepala yang tak gatal.Sadar, kalau dari dulu aku cuma bisa masak air dan indomie doang.Tapi kalau gak ngapa-ngapain, takut malah nanti dikira istri yang tidak becus melayani suami.Walaupun ibu mertua sangat baik, tapi kan gak enak hati juga kalau sepagi buta ini tinggal ongkang-ongkang kaki di kamar.Seketika itu, jadi ingat sahabatku yang baik hati walau kadang rada gak waras.Aku merogoh ponsel dari saku switer dan segera menelponnya.“Halo,” ucapnya pelan. Suaranya ada serak-serak manja menggoda.Aku tebak dia baru bangun tidur.“Maesaroh. Bantuin gue pliss!” Aku to the point.“Apaan? Lu gak bisAku mengarahkan pandangan menatap punggung lebar pria itu dengan perasaan yang entahlah!Bingung. Ah, pokoknya macam-macam rasanya. Perhatian Nizar padaku masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah darinya. Aku hanya melihatnya berubah dari segi penampilan. Dulu, ia tak pernah memakai kacamata di hari dan waktu biasa. Sekarang, di setiap keluar rumah, selalu pakai. Berada di rumah pun, kadang dipakai. Seolah menjadi identitas baru untuk seorang Nizar Ghifari.Lekas kutepis pujian yang terlintas dalam pikiran tentangnya, tetapi sisi lain senantiasa mengingat cara pria bercambang tipis itu meninggalkan dan mencampakkan diri ini setelah menjalin kasih selama 5 tahun. Saat itu, aku merasa tak melakukan kesalahan, walau memang sedikit egois dan sering ngambek. Tapi, bukankah itu sifat umum yang dimiliki wanita? Tapi, dia pergi begitu saja. Hanya meninggalkan pesan, ‘Kamu terlalu baik buat aku.’Luka
Kedatangan Sarah sontak saja memutuskan ketegangan yang tercipta antara aku dan Nizar. Aku bangkit dari dudukku. Berpelukan dan cipika-cipiki dengan Sarah ala-ala perempuan sosialita kalau bertemu.Tak ketinggalan, kulihat Nizar dan Mas Irfan juga bersalaman, lalu saling melempar senyuman. “Kalian udah lama?” tanya Sarah menatapku bergantian dengan Nizar. “Mayan, udah karatan pantat gue duduk di sini,” sindirku membuat Sarah tertawa sambil memukul lenganku. Kebiasaan dia kalau gemas malah main tangan. Anehnya, karena ia hanya kerap ringan tangan kalau sama aku. Jika dengan orang lain, dia bisa tenang. “Dih, kek besi aja pantat lu. Udah, ah. Ayo ke depan, mumpung belum banyak orang. Gak ikhlas gue kalo berdiri paling belakang, yang ada niat nonton Fabio Asher malah dapatnya cuma liatin kepala orang doang,” ujar Sarah, kemudian berlalu lebih dulu. Aku mengikutinya. Sedang para suami berjalan di belakang kami. Malah k
Aku mundur seolah membiarkan sepasang insan itu melepaskan kerinduan.Tanganku yang tadinya tertaut dengan tangan Nizar pun sedikit merenggang, tapi saat ingin melepas, Nizar justru mengeratkan genggamannya. Entah, siapa gerangan gadis muda itu? Dia pasti habis nonton Fabio Asher juga. Terlihat dari pakaiannya yang basah kuyup, sama seperti kami. “Gak nyangka ketemu Kak Nizar di sini. Ibu baik-baik aja, Kak?” tanya wanita yang tidak kutahu namanya itu setelah mengurai pelukan. Dilihat-lihat, mereka sudah saling mengenal lama agaknya. Kalaupun belum, gak mungkin sedekat itu. Apalagi sampai membahas Ibu mertuaku. Tapi, tetap saja, dada ini agak sesak melihatnya.Aku gak cemburu kan? Tolong siapa pun di sini, katakan kalau aku gak cemburu!Lagian, gak mungkin juga aku cemburu sama Dia? Aku tersenyum kecut sambil menunduk. Menghela napas berat, menoleh ke arah Sarah sebentar yang ternyata saat ini jug
Minggu pagi, yang biasanya selesai salat subuh kembali tidur dan bangun ketika lapar, kini aku harus bangun pagi-pagi sekali. Ikut membantu Bi Sumi di dapur. Walaupun, lebih banyak nonton dan nanya soal masakan ke Bi Sumi layaknya reporter yang sedang wawancara di acara masak-masak. Namun, aktivitasku terhenti ketika Nizar datang dengan pakaian olahraganya.“Vy, joging bareng, yuk!” ajaknya.Aku yang memang tergolong pribadi yang malas olahraga tentu saja menolak, tetapi bukan Nizar namanya kalau menyerah begitu saja. Dia baru berhenti mengajak, ketika aku dengan sangat terpaksa memutuskan ikut joging bersamanya.“Ya udah, iya. Tapi aku ganti baju dulu,” ujarku. Setelah ganti baju dengan pakaian olahraga lengkap dengan sepatu kets, kami pun mulai joging dari rumah hingga ke lokasi car free day yang tak jauh dari rumah.“Vy, tanding lari, yuk! Kalau menang kamu boleh jajan apa aja sepuasnya di sini.” Nizar me
Wanita yang sebenarnya cantik itu menghentakkan kaki sebelum akhirnya pergi bersama segudang kekesalannya. Aku menatap punggungnya hingga menjauh, tersenyum penuh kemenangan. Setelah itu, menghela napas lalu membuka botol air minum yang konon akan diberikan khusus untuk Nizar. Lumayan ini, gak perlu beli lagi. Kadang-kadang rezeki datangnya tak terduga. Dan aku pun meminumnya hingga tandas setengah. Entah emang haus atau karena masih kebawa kesal dan aura-aura panas melihat wanita tadi sok manis banget di hadapan Nizar?Aku saja yang notabene istri sah gak pernah tuh mau nempel-nempel begitu. Kayak memang terkesan memamerkan bukit kembarnya pada Nizar. “Gak usah cemburu gitu, ah, Sayang. Aku milik kamu, kok.” Nizar tersenyum lebar. Tuh, kan, kebiasaan besar kepala dia. “Tapi, aku suka kalau kamu cemburu.”“Siapa yang cemburu? Kagak ya! Cuma gak enak aja liat pemandangan kek gitu,” semburku. Nizar berdehem pelan. Dari raut wajahnya, sepertinya ia tak bisa percaya begitu saja dengan
“Aw!” ringisku saat hendak beranjak dari tempat tidur.Area sensitif di bawah sana rasanya perih banget astaga. Aku jadi ingat, Sarah pernah bilang kalau melakukan itu pertama kali tubuh berasa kayak remuk redam. Tapi, aku juga tidak pernah membayangkan bakal sesakit dan se-perih ini. Sepertinya, Nizar memang suka sekali menyakitiku. Sudah menyakiti hati, malah sekarang badanku yang dibikin sakit dan pegal-pegal.“Mau aku bantu?” tanya Nizar, sigap menahan tubuhku yang sedikit tertatih. Pandangan kami sempat terkunci satu sama lain. Ya ampun! Aku jadi malu ber-semuka dengannya kalau mengingat kejadian tadi. Semacam gak ada harganya banget aku jadi cewek. “Aku bisa sendiri,” ketusku menolak sontak memutuskan kontak mata dengannya. Aku tetap melangkah pelan, walau kurasa sedikit mengangkang karena yang di bawah gak nyaman banget kalau jalan. Mana belum pakai baju lagi, jadi kudu pakai selimut untuk membalut tubuh. Lengkaplah ke
“Maaf, harusnya aku bisa lebih hati-hati dan gak ngebiarin kamu minum air itu tadi.” Nizar tertunduk lesu. Sesekali membuang napas berat. Padahal bukan salahnya, tapi malah menyalahkan diri. “Terus, kalau aku gak minum, kamu yang mau minum begitu?” tanyaku ketus. Sengaja menyerangnya dengan pertanyaan ambigu yang memicu perdebatan. Bukan wanita namanya, kalau tidak senang memancing. Memancing keributan sama pasangannya.Lagian, aku tak suka dia jadi menyalahkan diri begitu. Aku merasa kehilangan sosok Nizar yang kelebihan dosis percaya diri.“Bukan begitu, Sayang. Tapi....”“Gak usah dibahas lagi, Niz. Keadaan gak akan bisa diubah,” ucapku cepat.“Vy... aku harap kamu gak nyesal karena udah ngasi semuanya ke aku.” Aku tertawa sinis. “Kalau aku nyesal, kamu mau apa? Mau balikin yang udah kamu renggut?”Nizar diam, menunduk. Tetapi, kulihat ia tersenyum tipis. “Gak, Vy.”Detik berikutnya, pri
Aku bangkit bersama emosi yang menggebu. Membalas tak kalah tajam tatapan Alana yang seolah menghakimiku. Dan sekarang kami saling beradu tatapan kebencian mendalam beberapa detik.Hingga akhirnya aku memutuskan aliran aksi tatap-tatapan ini dengan tawa licik.“Alana... Alana....” Aku tertawa sambil memegangi perut. Kesannya malah kayak orang gila. “Lu pikir gue doyan suami orang?!” Nada suaraku meninggi. Tawaku terhenti, berganti dengan gelengan. “Kagak, Alana! Kagak!”“Dan lu harus tau....” Aku mengacungkannya jari telunjuk tepat di depan wajahnya, seperti yang ia lakukan padaku tadi. “Gue sudah menikah.”Mendengar perkataanku, paling tidak aku melihat raut wajah Alana berubah syok bukan kepalang. Perlahan tapi pasti, kepalan tangannya yang tadi mengeras kayak batu pun pelan-pelan mengendur.“Kak Div, lu...?” tanyanya sedikit terbata. Barangkali, sulit untuk percaya dengan kenyataan ini. “Apa? Mau bilang gue ngarang