Ashraf menatap tajam gadis yang kini melangkah masuk ke ruangannya. Langkah Mia ringan, santai, dan senyumnya sangat manis, seolah tidak menyadari aura dingin yang terpancar kuat dari pria di hadapannya. Namun, bukan senyum itu yang membuat Ashraf terpaku, melainkan keberadaannya.Mata Ashraf menyipit, dingin, dan penuh ketidaksukaan."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara rendah, tapi sangat dingin, membuat ruangan seketika terasa menegang.Mia berhenti di depan meja kerja Ashraf, tetap dengan senyumnya. “Mulai hari ini aku akan magang di sini, Kak Ashraf. Jadi… aku ditugaskan menjadi sekretaris pengganti kakak,” ujarnya ceria, seolah tidak peduli dengan sorot mata tajam yang ditujukan padanya.Wajah Ashraf langsung mengeras. Rahangnya mengatup, matanya menyala karena marah yang ditahan. Ia memalingkan wajahnya sekilas ke arah Arnold yang masih berdiri di dekat meja.“Arnold,” ucap Ashraf tegas. “Keluar. Sekarang. Bawa dia juga.”Arnold terdiam. Ragu.Ashraf bangkit d
“Pagi, Nathan,” sapa Chandra saat baru datang dan sudah melihat Nathan di mejanya. Nathan menoleh dan tersenyum tipis. “Pagi.”Chandra menaruh tas dan duduk di kursi meja kerjanya. Ia menatap Nathan yang semakin hari semakin tidak bersemangat. “Kamu kenapa sih, Than? Perasaan, makin hari makin lesu aja. Lagi ada masalah ya?” tanya Chandra sambil menyerongkan tubuh menghadap Nathan. “Aku nggak kenapa-kenapa kok, biasa aja,” jawab Nathan lagi, yang tidak membuat Chandra puas akan jawaban Nathan itu. “Kalau nggak kenapa-kenapa, kenapa makin hari wajah kamu makin kelihatan nggak semangat? Bener nggak, Tania.” Chandra meminta persetujuan Tania yang kebetulan lewat meja mereka berdua. Tania menoleh pada Chandra dan melihat ke arah Nathan sesaat. Namun, ia tidak menanggapi apapun dan langsung berjalan menuju meja kerjanya. Ia tahu alasan kenapa Nathan seperti itu dan ia tidak ingin salah bicara yang mungkin bisa menyakiti hati laki-laki itu. Chandra berdecak ketika Tania tidak menangga
“Kamu beneran mau kerja, Sweartheart?” tanya Ashraf saat mereka sedang sarapan. “Iya,” jawab Ayu sembari mengangguk. “Apa nggak sebaiknya kamu di rumah saja bersama Oma, Oma pasti akan kesepian kalau kamu pergi,” ucap Ashraf lagi sambil menatap ke arah Oma Sarah, mencoba meminta bantuan Oma-nya untuk menghentikan Ayu yang ngotot untuk pergi bekerja. “Sudahlah Ashraf, kalau Ayu mau bekerja jangan halangi dia. Oma tahu, pasti dia ingin sekali bekerja, apalagi setelah hampir dua minggu dia nggak masuk kerja ‘kan.”Ashraf mengembuskan napas kasar. Bukannya mendapatkan dukungan, Oma Sarah malah lebih mendukung keputusan Ayu. “Tapi, Oma. Aku yakin Ayu masih lelah, jadi akan lebih baik kalau dia istirahat dulu di rumah. Nanti setelah dia tidak lelah dia boleh bekerja lagi.”Oma Sarah geleng-geleng kepala, melihat tingkah cucunya itu. “Mau sampai kapan kamu nggak bolehin Ayu kerja, Ashraf? Ingat, dia juga punya tanggung jawab di perusahaan Galih, jadi jangan halang-halangi dia lagi.”“Aku
Tidak terasa usia pernikahan Ashraf dan Ayu sudah satu minggu, di hari itu juga hubungan mereka semakin dekat. Awalnya, Ayu berpikir jika semakin lama usia pernikahan mereka, Ashraf akan mulai bosan dan tidak meminta jatah tiap saat. Namun, ternyata pikiran Ayu salah, semakin lama Ashraf tidak membiarkan dirinya tenang. Hampir setiap waktu ketika ada kesempatan Ashraf selalu mengajak dirinya berhubungan dengan alasan agar Ayu cepat hamil. “Ashraf, apa kamu tidak bosan?” tanya Ayu ketika mereka baru menyelesaikan kegiatan panas mereka. Ashraf yang tengah sibuk memeluk Ayu dari belakang, mengerutkan keningnya. “Bosan? Bosan apa?” tanyanya. “Ya bosan. Tiap hari kita ‘kan begituan terus, kamu nggak ngerasa jenuh gitu?” Ashraf kemudian mengubah posisinya menjadi setengah tiduran, menyangga kepalanya dengan tangan dan mengubah Ayu untuk menghadapnya. “Kamu ini bicara apa, Ayu? Nggak ada kata bosan selama sama kamu, apalagi kita juga sedang berusaha buat kamu hamil ‘kan, jadi akan lebih
Tidak terasa usia pernikahan Ashraf dan Ayu sudah satu minggu, di hari itu juga hubungan mereka semakin dekat. Awalnya, Ayu berpikir jika semakin lama usia pernikahan mereka, Ashraf akan mulai bosan dan tidak meminta jatah tiap saat. Namun, ternyata pikiran Ayu salah, semakin lama Ashraf tidak membiarkan dirinya tenang. Hampir setiap waktu ketika ada kesempatan Ashraf selalu mengajak dirinya berhubungan dengan alasan agar Ayu cepat hamil. “Ashraf, apa kamu tidak bosan?” tanya Ayu ketika mereka baru menyelesaikan kegiatan panas mereka. Ashraf yang tengah sibuk memeluk Ayu dari belakang, mengerutkan keningnya. “Bosan? Bosan apa?” tanyanya. “Ya bosan. Tiap hari kita ‘kan begituan terus, kamu nggak ngerasa jenuh gitu?” Ashraf kemudian mengubah posisinya menjadi setengah tiduran, menyangga kepalanya dengan tangan dan mengubah Ayu untuk menghadapnya. “Kamu ini bicara apa, Ayu? Nggak ada kata bosan selama sama kamu, apalagi kita juga sedang berusaha buat kamu hamil ‘kan, jadi akan lebih
Melihat Ayu yang terdiam setelah dirinya mengatakan hal tadi, Oma Sarah tahu jika gadis di hadapannya sedang berpikiran yang tidak-tidak. Ia kemudian menepuk bahu Ayu hingga membuat Ayu tersentak kaget. “I-iya, Oma?” tanya Ayu gelagapan, merasa tidak enak karena sudah melamun saat ada Oma Sarah. “Kamu tidak perlu memikirkan hal yang tidak-tidak dan takut sudah Oma mata-matai. Oma bicara seperti itu karena Oma tahu seperti apa Ashraf dari kecil.” Wajah Ayu seketika memerah karena malu mendengar ucapan Oma Sarah. Ia ketahuan sudah berpikiran negatif pada Oma Sarah. “Maaf Oma, maksudku bukan begitu. Aku cuma ….” “Tidak masalah, Ayu. Kalau Oma jadi kamu juga Oma pasti bakal berpikiran kenapa Oma bisa tahu. Oma juga bakal berpikir jangan-jangan di kamar di pasang kamera CCTV.” Wajah Ayu semakin merah, ia semakin tidak enak. “Maaf, Oma.” Oma Sarah tersenyum, ia lalu mengusap lembut puncak kepala Ayu. “Sudahlah. Ngomong-ngomong masakan kamu sudah matang belum? Kalau belum biar Neta d