Hari itu, langit biru bersih tanpa awan. Angin sepoi-sepoi membawa harum bunga yang disusun rapi di taman resort pinggir pantai. Laut berkilau memantulkan cahaya matahari sore, menjadi saksi bisu sebuah kisah panjang yang akhirnya menemukan muaranya.Ayu berdiri di balik pintu kaca besar, jantungnya berdebar kencang. Gaun putih sederhana namun elegan membalut tubuhnya. Senyum gugup terukir di bibirnya, air mata menetes pelan sebelum sempat ia usap.“Cantik sekali…” bisik Sarah yang berdiri di sampingnya, kali ini tanpa kebencian. Justru ada kelegaan di matanya, seolah beban panjang sudah dilepaskan.Ayu hanya tersenyum, lalu melangkah keluar. Musik lembut mulai dimainkan. Semua tamu berdiri.Dan di ujung altar, berdiri Ashraf dengan setelan jas hitam, wajahnya penuh rasa syukur. Mata mereka bertemu, dan seolah dunia berhenti berputar.Rio, yang kini lebih tenang, berdiri di samping Ashraf, menjadi pendamping ayah tirinya. Luka batinnya belum sepenuhnya sembuh, tapi di matanya ada caha
Setelah Letusan ItuAsap mesiu masih melayang di udara. Ayu menatap Rio dengan tubuh gemetar, jantungnya berdetak tak terkendali.Rio berdiri di tengah ruangan dengan pistol masih terangkat. Darah menetes dari bahu Davin, sementara Arman mundur beberapa langkah, wajahnya tetap dingin meski pelipisnya berdarah.“Rio…” suara Ayu bergetar, penuh isak. “Lepaskan senjatamu, Nak. Kau tidak harus melanjutkan ini.”Tapi tatapan Rio kosong. Ia seperti berdiri di antara dua jurang: satu sisi adalah cinta ibunya, sisi lain adalah warisan kebencian yang ditanamkan selama ini.“Aku sudah terlalu jauh, Mama…” katanya lirih. “Aku tidak bisa kembali. Davin terhuyung, menekan luka di bahunya. “Rio… dengarkan aku. Aku ayahmu! Kau sudah memilihku. Kau tidak boleh berbalik arah sekarang.”Namun Rio menoleh dengan tatapan tajam. “Kau membohongiku. Kau memanfaatkan aku, sama seperti semua orang di ruangan ini.”Davin terdiam. Untuk pertama kalinya, kesombongan di wajahnya retak. “Aku… hanya ingin kau kuat
Rio berdiri di depan ibunya, pistol bergetar di tangannya. Wajah polos anak kecil yang dulu selalu tersenyum pada Ayu kini telah berubah dingin, matanya memantulkan kegelapan.“Mama,” katanya, suaranya tegas namun penuh luka. “Aku sudah memilih. Aku akan bersama Ayah…”Ayu terperanjat. “Ayah…?”Rio menoleh ke arah Davin. Tatapannya penuh kebanggaan.“Ya. Ayah kandungku.”Kata-kata itu menghantam Ayu seperti palu besi. Ruangan seakan berputar, suaranya teredam oleh degup jantung yang mengamuk di telinganya.“Apa…?” bisiknya lemah. “Itu tidak mungkin…”Davin tersenyum tipis, penuh kemenangan. “Sekarang kau tahu, Ayu. Rahasia yang selama ini kututup rapat.”Ashraf yang babak belur mencoba bangkit, berteriak. “Jangan percaya dia, Ayu! Itu kebohongan!”Namun Rio menatap Ashraf penuh kebencian. “Kau membohongiku! Kau membuatku percaya kalau kau ayahku… padahal kau hanya mencuri Mama dariku!”Ayu hampir terjatuh, tubuhnya lemas. Ia menatap Rio, hatinya terbelah.---Di sisi lain, Sarah melan
Ruang tahanan itu dingin, bau karat dan lembap menusuk hidung Ayu. Tangannya terikat kuat, tapi bukan itu yang membuat napasnya sesak. Kata-kata Davin masih bergema di kepalanya:> “Aku punya mata di antara kalian.”Siapa? Ashraf? Arya? Atau Sarah?Ayu memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang menyesakkan. Namun ketakutan itu nyata. Seseorang yang selama ini berdiri di sisinya mungkin sementara itu, Ashraf dan Arya bersembunyi di perbukitan kecil yang menghadap markas Davin. Mereka sudah menunggu kode dari Ayu yang tak kunjung datang.“Sudah tiga malam, Ashraf. Kau masih yakin dia baik-baik saja?” Arya menatap tajam.Ashraf menghela napas berat. “Ayu bukan orang lemah. Dia pasti sedang mencari cara.”Arya mendengus pelan. “Atau mungkin dia sudah menyerah dan memilih bersama Davin. Kau terlalu percaya padanya.”Ashraf menoleh tajam. “Jangan bicara sembarangan!”Tapi jauh di dalam hatinya, keraguan kecil tumbuh. Ia tahu Ayu sedang menghadapi badai, dan jika Davin berhasil
Ledakan di pantai masih membekas di telinga Ayu. Mereka berhasil menyelamatkan diri dengan berenang menuju sisi lain pulau, meninggalkan kapal yang terbakar. Malam itu, mereka bersembunyi di hutan lebat, dingin, basah, dan penuh ketegangan.Ayu duduk bersandar pada batang pohon, tubuhnya gemetar. Bayangan wajah Rio di layar, dengan tatapan dingin yang asing, menghantui pikirannya.“Dia… bukan Rio-ku,” bisik Ayu, air matanya jatuh. “Itu bukan anakku…”Ashraf ingin meraih tangannya, tapi Ayu menarik diri. “Jangan sentuh aku.”Arya yang duduk tak jauh hanya menatap dengan tatapan penuh iba bercampur sesuatu yang lebih gelap—kepuasan terselubung.Sarah memecah kesunyian. “Kalau kita menyerang langsung, kita tidak akan selamat. Pulau ini penuh dengan jebakan. Davin sudah menyiapkan semuanya.”“Lalu apa yang kau sarankan?” tanya Ashraf, tajam.Sarah menatap Ayu. “Satu-satunya cara adalah menyusup. Dan hanya Ayu yang bisa melakukannya.”Ayu menoleh dengan kaget. “Aku?!”“Ya,” jawab Sarah man
Helikopter itu menghilang di balik kabut malam, meninggalkan suara gemuruh yang mengguncang dada Ayu. Tangannya masih terulur, seolah bisa meraih Rio yang sudah dibawa pergi. Lututnya goyah, tubuhnya jatuh berlutut di dermaga yang dingin dan basah.“Rio…” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.Ashraf meraih bahunya, mencoba menahan gemetar tubuhnya. Tapi Ayu menepis, menoleh dengan tatapan penuh luka. “Kau bohong padaku… selama ini, kau sembunyikan semuanya!”Ashraf terdiam. Tatapannya penuh penyesalan, tapi ia tahu ini bukan saatnya membela diri.Sementara itu, Arya berdiri tak jauh, pistolnya masih di tangan. Ia menatap Ashraf dengan kebencian yang kian membara. “Aku sudah bilang, Ayu. Semua ini karena dia. Kau harus memilih siapa yang bisa kau percaya.”Namun sebelum Ayu menjawab, suara Sarah yang lemah memotong. “Tidak ada waktu berdebat. Davin sudah bawa Rio. Jika kita terlambat, kita tidak akan pernah menemukannya.”Ayu mengusap air matanya, berdiri dengan sisa tenaga. Ia menatap