Arkan melangkah dengan tegap menghampiri Andri, wajahnya penuh keyakinan. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Andri dengan senyum hangat dan penuh kebahagiaan.
"Cantik," bisik Arkan lembut, matanya menatap Andri dengan penuh kasih membuatnya menjadi salah tingkah. "Sudah siap?" tanyanya lagi sambil mengalungkan lengan Andri kedalam tangannya, seolah memberi dukungan yang tenang namun kuat. Andri hanya mengangguk, senyumnya pun tak pudar dari wajahnya. "Mas," lirih Andri pelan sesaat sebelum keduanya kembali melangkah. Arkan segera mengalihkan pandangannya kepada Andri, seolah bertanya mengapa? "Terimakasih," bisik Andri lirih. Hanya itu yang bisa Andri ucapkan untuk saat ini kepada lelakinya. Setelah itu, keduanya pun segera melangkah menuju meja tempat ijab kabul akan dilangsungkan yang berada tak jauh dari atas pelaminan. Di sepanjang perjalanan menuju meja ijab kabul, bisik-bisik dari para tamu mulai terdengar, mengiringi langkah keduanya. Sayup-sayup, Andri mendengar jelas ucapan para tamu undangan itu. "Kok mempelai prianya beda dengan yang di undangan?" seseorang berbisik penuh heran. "Iya, kok mempelainya lebih muda dan gagah, ya?" timpal yang lain dengan nada yang sedikit kagum. "Eh tunggu, bukannya itu lelaki masa kecil Andri? Itu loh, si Arkan yang suka ngerusuh dan suka bikin keributan?" seorang tamu lagi menambahkan, setengah terkekeh. Dan banyak lagi bisikan-bisikan lain yang menambah kesan heran dan juga suatu kehangatan di hari bahagia itu. Seolah pernikahan mereka mampu membawa kehangatan di masa lalu dan juga harapan baru dalam satu langkah bersama. "Gak usah dengerin mereka bilang apa, Dek," lirih Arkan pelan sambil merapatkan lengan Andri. Andri hanya mengangguk sambil terus melangkah bersama lelakinya itu. Panggilan baru yang Arkan sebutkan tadi membuat hatinya nampak meronta-ronta dan ingin berdisko ria rasanya. Tak lama, keduanya tiba di depan meja ijab kabul. Dengan sopan, Arkan menarik kursi dan mempersilakan Andri duduk terlebih dahulu. Setelah memastikan Andri nyaman, barulah ia mengambil tempat di sebelahnya. Di hadapan mereka, Pak Penghulu sudah siap memimpin prosesi akad. Di sebelahnya pun tampak Andre, saudara kembar Andri, yang duduk sebagai wali nikah mereka. Keputusan ini sedikit mengejutkan para tamu yang datang, karena biasanya posisi wali diisi oleh sang ayah. Namun, Andre dan ayah mereka telah sepakat untuk bertukar peran hari itu, dengan Andre sebagai wali nikah, sementara ayah mereka menjadi saksi. Pak Penghulu sempat ragu menerima permintaan ini, namun atas permohonan dari kedua mempelai, akhirnya ia mengizinkan perubahan tersebut. Suasana menjadi haru, penuh makna, dan seolah menambah keistimewaan dalam momen yang mereka impikan. Andre sebenarnya masih merasa berat saat harus menikahkan Andri dengan Arkan. Meski Andri adalah saudara kembarnya, hubungannya dengan Arkan tak pernah benar-benar akur sejak dulu. Ia masih tak rela, jika kakaknya itu menikah dengan lelaki yang dulu pernah ia hajar karena membully mereka terus. Namun, demi menghargai Kakek Gala dan juga Ayah, Andre pun menahan semua perasaan kesalnya. "Bagaimana, Mas Andre? Sudah siap menikahkan saudari kembarnya?" tanya Pak Penghulu dengan ramah. Andre hanya mengangguk, sedikit gugup namun mantap. "Baik, kalau begitu, bagaimana dengan kedua mempelai? Sudah siap juga?" tanya Pak Penghulu kepada Andri dan Arkan. "Insyaallah siap, Pak," jawab keduanya serempak dan penuh keyakinan. "Baik, bismillahirrahmanirrahim. Mas Andre, nanti baca kalimat ini, dan Mas Arkan akan mengikuti. Jika lupa atau grogi, bisa di baca kertas yang sudah saya tulis ini," ucap Pak Penghulu memberikan arahan dengan tenang. Andre mengangguk, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan debar jantungnya yang terasa semakin kencang. “Bismillah, saya nikahkan dan kawinkan engkau, Arkana Alfarizi bin Devano Alfarizi, dengan saudari kembar saya, Andriyani Eka Devandra binti Revan Devandra, dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat, satu set perhiasan seberat 13 gram, dan uang tunai sebesar tiga belas juta rupiah, dibayar tunai," ucap Andre dengan gugup. Arkan menarik napas panjang sebelum mengucapkan kalimat yang akan mengikatnya dengan Andri selamanya. Suasana di ruangan itu berubah hening, seolah waktu berhenti saat Arkan bersiap menjawab. "Saya terima nikah dan kawinya, Andriyani Eka Devandra binti Revan Devandra dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai," ucap Arkan dengan suara yang tenang namun mantap. "Sah," seru para saksi dan hadirin yang berada disana. "Alhamdulillah," ucap Penghulu dengan sedikit lega. Sesaat setelah selesai dan hendak memberikan berkas-berkas, ada keheningan yang sedikit ganjil. Pak Penghulu tampak terdiam, memeriksa sesuatu pada dokumen di hadapannya. Beberapa tamu mulai berbisik, dan Andre pun memandang Pak Penghulu dengan raut wajah bingung. Pak Penghulu mengangkat pandangannya perlahan, matanya menatap Arkan dan Andri dengan sorot mata yang cukup serius. "Maaf, sepertinya ... ada sesuatu yang salah," ujarnya, dengan nada yang penuh teka-teki. Andri dan Arkan saling pandang, keduanya nampak kebingungan. Apa yang dimaksud Pak Penghulu disana? "Ada apa, Pak Penghulu?" tanya Arkan, suaranya pelan tapi terdengar di keheningan itu. Ia menggenggam tangan Andri, mencoba memberikan ketenangan. "Kenapa, berkas dan dokumen yang masuk di kantor kami, tak sama dengan yang baru saja di sebutkan? Apa, saya salah alamat atau kalian ingin memanipulasi berkas di kantor KUA?" tanya Penghulu itu dengan tatapan yang tajam. Deg! Jantung Andri seakan berhenti, ia lupa jika nama mempelai prianya memang berganti sehari sebelumnya. Namun, ia tak menyangka bahwa urusannya akan serumit ini. Kini, ia bingung dan tak tau apa yang sebenernya terjadi. Ia pun meremas pelan lengan Arkan, seolah meminta bantuan harus menjawab apa. "Biar saya yang jelaskan Pak Penghulu ...."Andri yang merajuk memilih untuk segera pulang meskipun saat itu pancongnya masih ada setengah.Arkan mendesah pelan, hanya bisa mengangguk dan mengikuti kemana langkah sang istri pergi.Namun ternyata, drama meraka tak hanya berakhir sampai di sana saja.Semenjak pulang dari jembatan hingga malam tiba, Andri mendadak diam seribu bahasa. Suasana rumah mendadak sunyi senyap, padahal biasanya ramai oleh suara TV dan ocehan sang istri.Arkan memijat pelan pelipisnya. Diamnya Andri, bukan berarti sebuah kedamaian. Kerena setelah ini, pasti akan ada drama yang lebihh besar lagi.Arkan bergegas ke dapur, lalu membuka kulkasnya. Setengah gelas es kopi masih tersedia di sana. Beberapa semangka beku dan juga sebungkus jamur enoki.'Hadehh, mana cemilan bumil abis pulak! Gimana cara naikin moodnya dia ya?' batin Arkan pilu.Arkan mencoba berpikir keras, bagaimana caranya kembali meluluhkan hati sang istri dari segala kesalahpahaman yang terjadi tadi.Akhirnya, Arkan ambil kertas, spidol, dan sa
"Kenapa emangnya, Mas?" tanya Andri pura-pura polos.Arkan mendesah pelan. "Bawa dua aja, ngidamnya udah absurd banget. Apalagi sepuluh, bisa mati mendadak aku," gerutunya.Andri terkekeh pelan mendengar itu. Ia pun segera mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan menyerahkannya kepada Abang odong-odong tadi."Mang, kalau ada anak yang mau naik, angkut aja ya," ucapnya. "Kalau kurang, saya masih ada di sana, sambil makan pancong," ujarnya lagi seraya menunjuk tempat Arkan duduk.Abang odong-odong itu pun mengangguk paham. Setelah itu, Andri pun kembali melangkah ke tukang gerobak lainnya. Hari ini, ia ingin puas-puaskan nyemil apapun, mumpung kedua bayinya tak ada drama dan Arkan mau untuk di ajak jalan-jalan.Setelah membeli seporsi lumpia basah dan juga telur gulung, Andri pun kembali ke tempat Arkan berada.Arkan mengernyit heran melihat apa yang dibawa sang istri saat itu."Beli apaan lagi, Sayang?" tanya Arkan penasaran."Lumpia basah sama telur gulung. Mas mau?" tanya Andri
Sore mulai menyapa. Seperti janji di pagi hari tadi, rencananya hari ini mereka akan berburu pancong di jembatan.Andri sudah bersiap semenjak kumandang adzan ashar tadi. Sementara Arkan, masih sibuk memindahkan beberapa mainannya ke ruang tamu."Mainan teross yang diurusin!" seru Andri sedikit kesal.Arkan mengernyit heran. "Bumil sensitif banget. Biasanya juga santuy markutuy kalau aku lagi ngurusin maenan. Kenapa sekarang jadi serba salah sih?"Andri mendengus sambil menyilangkan lengannya di dada. Arkan mendesah pelan. Ini tidak baik, pasti setelah ini akan ada drama yang panjang kali lebar lagi.Tak butuh waktu lama, selang beberapa menit kemudian, Arkan pun untuk bergegas mandi, dan memakai kaos santai serta celana pendeknya, setelah itu bergegas mengambil kunci motornya."Sudah siap, Ndoro Putri? Ayo kita jajan," ucap Arkan dengan penuh hormat.Andri mengulum senyumnya sebentar lalu mengangguk mantap.Ia pun segera meraih lengan sang suami dah berjalan ke luar rumah.Perjalanan
Sekitar lima belas menit kemudian, Arkan bersiap. Ia mengambil kunci motornya lalu segera keluar rumah. Setelah itu, motor pun mulai melaju entah kemana.Dari jendela kamar, Andri melihat semuanya. Melihat bagaimana Arkan pergi dengan langkah yang terburu-buru dah wajahnya yang sedikit lelah.Namun, egonya masih tinggi. Masih menghantui perasaan ingin di mengerti.Arkan melajukan motornya hingga ujung komplek. Menuju warung seblak MaBin yang terpaksa harus buka lebih cepat."Assalamualaikum, MaBin," panggil Arkan dari luar pagar.Seseibu yang tengah berbelanja di warung sayur depan warung seblak nampak memperhatikan Arkan yang sudah pagi-pagi ke sana."Tumben Mas Arkan, pagi-pagi udah manggil Mama Bintang," ucap salah satu ibu-ibu disana."Iya, Bu. Andri pingin banget seblak pagi-pagi gini, makanya aku terpaksa ke sini deh," ucap Arkan lirih dan mendapat anggukan dari para ibu-ibu di sana."Bener-bener suami siaga ya Mas Arkan ini," puji ibu-ibu lain.Arkan hanya tersenyum tanpa berni
Pagi mulai menyapa. Cahaya keemasan masuk ke celah gorden kamar yang tak tertutup sempurna. Hawa kamar masih terasa begitu sejuk karena AC yang menyala.Arkan bangun lebih dahulu. Menggeliat perlahan sambil melirik ke arah samping. Andri masih terlelap di sana, sambil memeluk bantalnya seolah tubuhnya sama sekali tak bergerak semalaman.Arkan bangkit perlahan, menarik selimutnya hingga naik ke bahu sang istri. Lalu, ia melirik ke arah kakinya. Bengkak di kakinya perlahan mulai kempes, semoga ini menjadi pertanda baik bagi sang istri.Ia mulai menjejakkan kakinya di lantai gang terasa dingin. Dengan perlahan, ia keluar dari kamar dan menuju dapur, berniat untuk membuat sarapan untuknya dan juga sang istri.Namun, baru saja ia selesai menyiapkan sarapannya dan baru duduk di kursi ruang keluarga. Suara Andri terdengar menggema dari arah kamar. Setengah berteriak, dan setengah merengek.“Mas…! Adek lapar. Pengen seblak yang super pedes. Sama semangka beku, ya? Yang kemarin kurang dingin.”
Selesai makan malam, satu persatu keluarga mereka mulai berpamitan untuk pulang.Arkan mengantarkan mereka semua sampai garasi rumahnya. Setelah itu, barulah ia merapihkan motor dan juga mobilnya untuk masuk ke garasi."Mas Arkan, di dalem belum rapih semua gimana ya?" tanya Mbok Puji yang ternyata memang belum pulang juga dari sana."Biarin besok aja, Mbok sisanya. Udah malem ini, waktunya istirahat. Mbok juga besok nggak usah dateng terlalu pagi, nggak apa-apa kok. Paling Andri juga bangunnya siang," ucap Arkan."Baik, Mas. Terimakasih pengertiannya," ucap Mbok Puji dan mendapat anggukan dari Arkan.Setelah memastikan Mbok Puji pulang, Arkan pun segera mengunci pintu rumahnya, setelah itu ke kamar mandi sebentar untuk membersihkan dirinya sebelum akhirnya ia masuk ke dalam kamar.Begitu masuk ke dalam kamar, cahaya temaram dari lampu tidur, menyebar ke seluruh ruangan. Aroma harum minyak telon pun, samar tercium di udara. Membawa sejenak aroma ketenangan.Ia mengintip ke arah ranjan