Share

2. Balas Dendam

"Lho, Misyka! Kenapa kamu ada di sini?" Mas Zein nampak terkejut melihat wanita yang berdiri agak jauh di sampingku.

"Iya, Pak," sahutnya sopan, dan bergeser sedikit menghadapku dan Mas Zein berada.

"Ada apa? Ini masih jam kerja, kenapa kamu tidak berada di kantor?"

"Anu, Pak. Sa-saya, saya ada perlu penting sama Bapak."

"Perlu penting apa? Kan bisa dibicarakan nanti di kantor."

"Iya, Pak." Wanita itu menunduk. Sesekali terlihat mengelap keringat di keningnya. Padahal ruangan ini ber-AC loh, kok dia seperti kepanasan begitu.

Pasti dia sudah panas dingin takut aku mengadukan tingkahnya barusan.

Sayangnya, aku tidak ingin melakukan hal itu. Aku bukanlah wanita yang suka mengadu. Lagipun, aku ingin bermain-main terlebih dahulu dengannya.

Aku tersenyum miring melihat tingkah lakunya yang seperti kerupuk tersiram air. Berbeda dua ratus derajat ketika berhadapan denganku tadi.

"Siapa, sih, Mas?" tanyaku basa-basi.

"Dia Misyka, sekretaris Mas yang baru."

"Owh, pengganti Santi?"

"Iya. Rekomendasi dari Pak Danu."

"Pak Danu rekan bisnis Mas?"

Mas Zein menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Lalu memperkenalkan aku dan si sekretaris s0ng0ng itu.

"Misyka, kenalkan ini Salsa istri saya."

Wanita yang bernama Misyka itu nampak mengangkat tangan bersiap mengulurkannya padaku. Namun, aku sengaja membiarkan tangannya menggantung tak tersambut di sana.

"Gak usah salaman, ya? Tanganku kotor, belum mandi dari kemarin. Bawaan bayi," ucapku pura-pura terkikik geli sembari mengelus perut yang masih rata.

"Bisa saja kamu. Bilang saja, bundanya yang malas mandi. Jorok ...." Mas Zein menyentil pelan hidung mungilku.

"Apaan sih, Mas. Emang bener begitu, kok." Aku mengusap hidung bekas disentilnya sambil melirik pada wanita yang tangannya masih menggantung di udara.

"Iya ... Iya, Sayang. Percaya deh," ujar Mas Zein terkekeh kecil.

Kulihat Naura mau menyambut uluran tangan si Miska. Namun, aku pun buru-buru mencegahnya. "Naura juga jangan salim dulu, ya, tangannya juga kan kotor habis dari luar."

Ya Allah, maafkanlah hamba-Mu ini yang sudah mengajarkan anak tidak sopan pada orang. Tapi mudah-mudahan tidak berdosa ya Allah, sebab hamba melakukan ini hanya kepada orang seperti Misyka saja. Semoga, aku tidak bertemu dengan manusia model ini lagi sehingga membuat aku terpaksa melakukan dosa. Doaku dalam hati.

Naura mendongak, lalu menempelkan telunjuknya pada dagu seolah-olah tengah berpikir keras. "Tapi ... Kok tadi Naura gak papa salim sama Bunda?" kata Naura akhirnya.

Aku nyengir kuda. "Kalau sama Bunda gak pa-pa, kan tangan Bunda sama-sama kotor, jadi nanti sekalian cuci tangan 'nya," sahutku.

"Oh, gitu ya? Iya deh."

"Nah, sekarang Naura masuk kamar aja ya. Bersih-bersih badan, lalu ganti bajunya. Bisa ganti baju sendiri kan?"

"Bisa dong Bunda, kan Naura udah besar."

"Pintarnya anak Bunda." Kuusap kepalanya lalu mencium gemas pipinya.

"Ya udah, Naura ke kamar duluan ya, Bunda, Ayah," pamitnya, lalu berjalan ke dalam menuju kamarnya.

Setelah memastikan Naura tak terlihat lagi, aku kembali melirik wanita yang masih setia pada mode patungnya.

Sejak kedatangan Mas Zein, dia hanya diam menunduk dengan tangan saling bertautan. Tadi saja, ganasnya minta ampun. Sekarang, udah kaya budak tersakiti. Benar-benar orang aneh.

Aha! Aku punya ide. Bermain-main sebentar dengannya, sepertinya akan menyenangkan.

Aku menyeringai tipis.

"Mas ..." panggilku manja pada suami sambil memegang satu tangannya.

Posisi Mas Zein yang masih berdiri tepat di sampingku, membuatku mudah menyandarkan kepala pada pahanya.

"Kenapa, Sayang?"

"Aku lemes lagi."

"Sebaiknya Ibu istirahat saja di kamar. Mungkin Anda kecapek'an." Bukan Mas Zein yang menimpali, melainkan si Misyka itu.

Selain sombong, rupanya dia juga muka tembok ternyata. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu setelah apa yang dia lakukan padaku.

Baiklah, kamu ingin bermain-main juga denganku? Ayo, aku jabanin.

"Apa yang dikatakan Misyka benar, Sayang. Kamu istirahat saja di kamar ya. Ayo, Mas antar," ucap Mas Zein.

Ada sedikit lengkungan tipis yang tercetak di bibir wanita itu. Tipis sekali. Jika tidak memperhatikan dengan seksama, orang tidak akan tahu kalau dia tengah tersenyum.

"Tapi, Mas Zein temenin aku, ya," pintaku sambil terus memperhatikan Misyka.

Misyka yang menunduk, seketika melirik padaku sekilas. "Tapi, ada hal penting yang harus saya bicarakan pada Pak Zein sekarang. Itulah sebabnya mengapa saya bisa berada di sini."

Owh, jadi itu maksudnya. Menyuruh aku ke kamar supaya dia bisa berduaan dengan suamiku. Tidak semudah itu, Misyka. Kamu salah langkah kali ini.

"Itu bukan urusan saya. Ini rumah saya, berarti urusan saya dengan suami saya. Kalau urusan kantor, ya di urus di kantor, dong. Jangan dibawa-bawa ke sini!" sergahku.

Mas Zein mengelus kepalaku. "Iya, Sayang. Sudah, jangan pakai emosi, ya. Mas temenin kamu, kok."

"Tapi, pekerjaan rumah masih banyak Mas, gimana dong? Kan Mba yang biasa bantuin beberes gak datang hari ini," ucapku.

"Tidak apa-apa, nanti Mas yang kerjakan."

"Jangan. Kan Mas baru pulang, pasti capek habis nemenin Naura."

"Tidak apa-apa, Sayang, dari pada kamu yang capek. Kasihan dede bayinya."

"Gimana kalau minta tolong sama Misyka saja. Dia udah dari tadi loh di sini gak ngapa-ngapain. Hitung-hitung mengganti jam kerjanya yang terbuang sia-sia. Kalau pun mau balik ke kantor sekarang, pasti sampai sana sudah masuk jam istirahat siang. Terus kerja dia ngapain?" Aku mulai melancarkan aksi.

Sekarang sudah pukul 10.55. jarak antara rumah dan kantor Mas Zein menempuh sekitar setengah jam lebih. Itupun kalau tidak macet.

Terhitung sudah hampir satu jam wanita cantik tapi tak beradab ini berada di rumahku.

Mas Zein nampak berpikir sesaat. "Benar juga." Kemudian menengok pada Misyka. "Bagaimana, kamu bersedia 'kan? Urusan kantor, nanti kita bicarakan di kantor saja."

"Tap-tapi, Pak. Saya--," sahut Misyka ragu.

"Nanti saya kasih kamu bonus. Dan saya akan telpon Daniel untuk menghandle urusan kantor," potong Mas Zein, yang membuat Misyka hanya menghembuskan napasnya, tak berkutik.

'Yes! Misiku berhasil.' Aku bersorak dalam hati.

"Nah, gitu, nurut apa kata BOS!" ujarku, menekan kata bos. "Tolong kamu cuci piring dulu ya. Baru setelah itu, nyapu ngepel dan elap-elap semua furniture dan kaca. Semua alat bersih-bersih ada di belakang, dekat dengan dapur."

"Tidak perlu masak, karena saya sudah pesan online. Cucian kotor juga akan diambil laundry nanti. Kalau begitu, selamat bekerja ya. Saya dan suami mau istirahat di kamar," lanjutku, memberi ultimatum.

Baru setelah itu, aku beranjak dibantu oleh Mas Zein, lalu berjalan dirangkul menuju kamar.

Sebelum benar-benar menghilang ke ruang tengah, aku menoleh pada Misyka yang cemberut sambil berkata, "Aku ratu, bukan babu."

Meski pelan dan tanpa suara, tapi bisa aku pastikan Misyka mengerti dengan ucapanku.

Apa aku jahat?

Enggak dong!

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status