Share

Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat
Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat
Penulis: Lunetha Lu

#1 Orang Sakit

Gadis berusia dua puluh satu tahun itu mondar-mandir di kamar dengan perasaan tak nyaman. Baru akan menggigit kukunya, namun terhenti mendapati jari-jarinya baru dipulas cat kuku berwarna ungu lilac semalam.

Masih dapat dirasakan jantungnya berdetak keras di dalam sana. Dia menggigit bibir bawahnya. Menepuk-nepuk dadanya guna menetralkan debaran jantung dan napasnya yang tersengal.

Kejadian macam apa yang baru saja dialaminya?

“Tenang, Cantika. Tenang ...,” gumamnya pada diri sendiri. “Lupain kejadian memalukan tadi!” Dia mencoba menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kedua tangannya ikut terangkat berayun naik dan turun mengikuti ritme tarikan napasnya. Dia terus mengulangnya beberapa kali untuk menenangkan diri.

Cantika lalu duduk di tepi ranjang, memejamkan mata erat. Namun bayangan akan kejadian tadi pagi malah melintas lagi di kepala.

***

“Byan, Caca, bangunnn .... Kalian jadi ikut nggak?” Cantika menepuk pelan bergantian dua bocah perempuan yang tidur di ranjang berbeda dalam satu kamar serba merah muda dan ungu itu. “Katanya mau jogging pagi?”

Tidak ada satu pun dari nama yang dipanggilnya membuka mata. Mereka masih terlelap pulas bak putri tidur yang tak bisa dibangunkan sebelum waktunya. Ini karena mereka tidak langsung tidur  semalam. Malah lanjut bermain game setelah main salon-salonan. Akibatnya, anak-anak ini jadi sulit dibangunkan.

Cantika akhirnya menyerah, kemudian berpindah ke kamar sebelah, kamar si sulung. “Bri, Brian. Mau ikut jogging nggak?”

Terdengar erangan pelan dari Brian, remaja laki-laki itu mengulat sebentar. Membuat raut Cantika bersemangat sebelum dia melihat Brian kembali tertidur lelap. Sudut bibir Cantika segera melengkung ke bawah ketika upayanya tak berhasil membangunkan satu pun dari anak-anak yang belakangan ini sering dijaganya.

Mereka tidur seperti bangkai.

Sepertinya pagi ini Cantika harus berjogging sendiri.

Akhirnya Cantika hanya bisa menghela napas, keluar dari kamar Brian. Dia sudah rapi, sudah berganti pakaian mengenakan sportwear. Baju atasan dan celana leggings yang dikenakannya begitu pas di badan, membuat setiap lekuk tubuhnya yang sempurna terlihat jelas. Dia lalu mengambil karet hitam di nakas, menguncir seluruh rambut panjangnya ke belakang.

Sebelum mulai berlari, Cantika berpose dan mengambil foto dirinya beberapa kali, mengunduhnya ke media sosial, menyertakan akun sponsor yang memintanya mempromosikan set pakaian olahraga yang dikenakannya. Kemudian dia memasang earphone ke telinga dan memutar lagu di ponselnya agar tidak jenuh lari pagi sendirian.

Kompleks perumahan masih tampak sepi. Udara masih terasa sangat sejuk, bahkan dia dapat mencium bau embun dedaunan di pagi hari.

Senyum Cantika pun mengembang, dia selalu suka aroma basah di pagi hari. Setelah ritualnya selesai, Cantika mulai berlari mengitari kompleks sembari mengamati satu per satu rumah besar yang dilewatinya. Baru satu putaran pendek, ketika gadis itu melihat sebuah mobil dengan jendela setengah terbuka di seberang lapangan.

Keningnya mengenyit heran. Cantika melepas earphone dari telinganya.

“Ada apa ya?” gumamnya pada diri sendiri.

Dari seberang, Cantika melihat seorang pria yang duduk di balik kemudi tampak meringis, mengerjap-ngerjap kepayahan menahan sesuatu. Sesekali kepalanya mendongak naik lalu menunduk seperti kesakitan. Pikiran Cantika langsung membawanya pada beberapa kekhawatiran.

‘Apa orang itu sakit?

Orang itu terluka?

Atau jangan-jangan kena serangan jantung?!

Epilepsi??’

Rasa iba dan jiwa sosialnya yang tinggi membuat gadis muda itu mempercepat larinya, menghampiri sedan berwarna gelap di depan sana.

Suara erangan semakin jelas terdengar ketika dia mendekati mobil tersebut. Dengan panik Cantika mengetuk-ngetuk pintu pengemudi dan menarik handle pintu mobil yang rupanya tidak terkunci.

“Pak, Pak! Permisi, Anda kenapa? Apa Anda saki—aaa ...!” Kalimatnya sontak terganti oleh jeritan kaget.

Semuanya terjadi begitu cepat. Amat cepat, hanya sekejap mata. Dari mulai dirinya yang ditarik masuk ke dalam mobil, jatuh terjerembab, hingga tubuhnya yang kini menimpa pria asing di depannya. Sandaran jok itu merebah lurus ke belakang sehingga posisi mereka sekarang berbaring di atas jok pengemudi.

“Ssstt ... silent, please (tolong diam)?” ujar si pria panik. Dia pun tidak kalah kaget dari Cantika. Satu tangannya mencengkeram pergelangan tangan Cantika, sementara tangan yang lain membungkam mulut gadis itu.

Cantika berusaha berontak, tapi tenaganya kalah kuat oleh lelaki itu. Bola matanya melebar ketika dirinya tidak bisa lepas juga dari cengkeraman pria di depannya.

Pria itu diam sejenak memerhatikannya sebelum berkata lagi, “Iya, saya lepasin. Tapi tolong diam. Saya nggak sengaja.”

Mau tidak mau, Cantika berhenti meronta. Berusaha meneliti sepasang iris cerah di depannya. Dia sempat memandang takjub pada warna mata yang indah seperti batu safir itu, sangat jarang ditemuinya.

Setelah menyadari paras kebarat-baratan lelaki itu, Cantika sedikit penasaan, apakah lelaki ini orang asing? Tapi barusan dia mendengar pria itu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih.

Berikutnya Cantika melihat butiran peluh membanjiri pelipis laki-laki itu. Matanya memerah khas orang mengantuk. Tapi Cantika yakin bukan sekadar mengantuk. Dari bau napasnya saat bicara tadi, ada aroma alkohol yang menyeruak. Kemeja yang dikenakannya bau rokok.

Fix, orang ini habis dugem, pikir Cantika.

“Kamu bisa janji nggak teriak, kan, setelah saya lepas? Saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu, cuma tolong diam,” ujar pria itu tanpa nada mencurigakan.

Berhubung posisi mereka sangat vulgar dan memalukan, Cantika buru-buru mengangguk. Sesuai janji, laki-laki itu melepaskan cengkeraman serta telapak tangan yang menutup mulutnya. Mengisyaratkan Cantika agar berpindah ke jok di sebelah.

Merasa takut terjadi sesuatu jika tidak menurut, dia pun pelan-pelan beranjak duduk ke jok di sebelah. Takut, jika harus bersentuhan lebih banyak dengan laki-laki itu. Cantika lalu mengatur detak jantung yang nyaris meledak.

Sorry, I was drunk (Maaf, saya mabuk). Bisa tolong ambilin botol air mineral di dekat kamu?” pinta pria itu dengan mata terpejam. Kemudian dia membuka mata setelah mengembuskan napas panjang-panjang, mengangkat tuas joknya.

Please?” (Saya mohon) katanya lagi. Menoleh menatap Cantika yang masih tak bergerak di tempat.

Perlahan Cantika menurunkan pandangan mencari benda yang dimaksud. Dengan tangan bergetar, dia menyerahkan botol air mineral yang ditemukannya.

Thanks!” Laki-laki itu menerimanya. Tanpa diduga, dia menjulurkan badan sedikit keluar pintu, mengguyur wajahnya.

Sorry,” ucapnya meminta maaf sekali lagi.

Kali ini pria itu menepuk-nepuk kedua pipi sambil menggelengkan kepala, berupaya mengumpulkan akal sehat yang sempat hilang.

Setelah lebih tenang, Cantika menelisik sosok berkulit bersih itu. Jika diperhatikan lagi, siluetnya dari samping cukup indah. Badannya terasa keras saat Cantika menimpanya tadi, menandakan betapa atletis si pemilik tubuh. Wajah dan penampilan pria itu terlihat lebih dewasa. Sepertinya dia berusia akhir dua puluhan.

Merasa diamati, laki-laki itu balas menatapnya. “Kenapa? Enggak pernah lihat orang ganteng?”

Cantika buru-buru mengalihkan pandangan. Berdecih dalam hati mengejek pria yang terlalu percaya diri itu. Namun tidak dapat dipungkiri, pria blasteran di sebelahnya benar-benar tampan seperti sosok yang baru keluar dari sampul majalah fashion luar negeri.

Garis rahangnya yang tegas membuat dia kelihatan sangat maskulin. Lipatan matanya terlihat jelas dengan alis lebat rapi yang membingkai di atasnya. Bibir bagian atas dan bawahnya tampak simetris, tidak terlalu tipis maupun tebal. Kalau saja dia tidak melakukan hal gila, penampilan dan wajahnya itu benar-benar tipe Cantika sekali.

“Saya mau turun,” sergah Cantika jutek, membuka pintu di sebelahnya.

Baru sebelah kaki yang menginjak tanah, suara laki-laki itu menghentikan gerakan Cantika. “Ya, silakan. Tolong lupain yang tadi. Pretty please,” katanya dengan menekankan kata permohonan. “I was drunk.

Tanpa disuruh pun, Cantika sangat ingin menghapus memorinya yang tercemar itu. Siapa juga yang mau mengingat pemandangan tercela seperti tadi? Matanya benar-benar ternodai oleh pemandangan yang disuguhkan pria ini.

Padahal Cantika sudah cemas setengah mati pada keadaan orang itu. Takut kalau-kalau pria yang berada di dalam mobil menderita penyakit kronis. Nyatanya kecemasan Cantika berujung sia-sia. Sebaliknya, pria itu malah sedang ....

Lunetha Lu

Story by @lunetha_lu

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status