Share

Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat
Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat
Author: Lunetha Lu

#1 Orang Sakit

Author: Lunetha Lu
last update Last Updated: 2022-05-27 15:00:56

Gadis berusia dua puluh satu tahun itu mondar-mandir di kamar dengan perasaan tak nyaman. Baru akan menggigit kukunya, namun terhenti mendapati jari-jarinya baru dipulas cat kuku berwarna ungu lilac semalam.

Masih dapat dirasakan jantungnya berdetak keras di dalam sana. Dia menggigit bibir bawahnya. Menepuk-nepuk dadanya guna menetralkan debaran jantung dan napasnya yang tersengal.

Kejadian macam apa yang baru saja dialaminya?

“Tenang, Cantika. Tenang ...,” gumamnya pada diri sendiri. “Lupain kejadian memalukan tadi!” Dia mencoba menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kedua tangannya ikut terangkat berayun naik dan turun mengikuti ritme tarikan napasnya. Dia terus mengulangnya beberapa kali untuk menenangkan diri.

Cantika lalu duduk di tepi ranjang, memejamkan mata erat. Namun bayangan akan kejadian tadi pagi malah melintas lagi di kepala.

***

“Byan, Caca, bangunnn .... Kalian jadi ikut nggak?” Cantika menepuk pelan bergantian dua bocah perempuan yang tidur di ranjang berbeda dalam satu kamar serba merah muda dan ungu itu. “Katanya mau jogging pagi?”

Tidak ada satu pun dari nama yang dipanggilnya membuka mata. Mereka masih terlelap pulas bak putri tidur yang tak bisa dibangunkan sebelum waktunya. Ini karena mereka tidak langsung tidur  semalam. Malah lanjut bermain game setelah main salon-salonan. Akibatnya, anak-anak ini jadi sulit dibangunkan.

Cantika akhirnya menyerah, kemudian berpindah ke kamar sebelah, kamar si sulung. “Bri, Brian. Mau ikut jogging nggak?”

Terdengar erangan pelan dari Brian, remaja laki-laki itu mengulat sebentar. Membuat raut Cantika bersemangat sebelum dia melihat Brian kembali tertidur lelap. Sudut bibir Cantika segera melengkung ke bawah ketika upayanya tak berhasil membangunkan satu pun dari anak-anak yang belakangan ini sering dijaganya.

Mereka tidur seperti bangkai.

Sepertinya pagi ini Cantika harus berjogging sendiri.

Akhirnya Cantika hanya bisa menghela napas, keluar dari kamar Brian. Dia sudah rapi, sudah berganti pakaian mengenakan sportwear. Baju atasan dan celana leggings yang dikenakannya begitu pas di badan, membuat setiap lekuk tubuhnya yang sempurna terlihat jelas. Dia lalu mengambil karet hitam di nakas, menguncir seluruh rambut panjangnya ke belakang.

Sebelum mulai berlari, Cantika berpose dan mengambil foto dirinya beberapa kali, mengunduhnya ke media sosial, menyertakan akun sponsor yang memintanya mempromosikan set pakaian olahraga yang dikenakannya. Kemudian dia memasang earphone ke telinga dan memutar lagu di ponselnya agar tidak jenuh lari pagi sendirian.

Kompleks perumahan masih tampak sepi. Udara masih terasa sangat sejuk, bahkan dia dapat mencium bau embun dedaunan di pagi hari.

Senyum Cantika pun mengembang, dia selalu suka aroma basah di pagi hari. Setelah ritualnya selesai, Cantika mulai berlari mengitari kompleks sembari mengamati satu per satu rumah besar yang dilewatinya. Baru satu putaran pendek, ketika gadis itu melihat sebuah mobil dengan jendela setengah terbuka di seberang lapangan.

Keningnya mengenyit heran. Cantika melepas earphone dari telinganya.

“Ada apa ya?” gumamnya pada diri sendiri.

Dari seberang, Cantika melihat seorang pria yang duduk di balik kemudi tampak meringis, mengerjap-ngerjap kepayahan menahan sesuatu. Sesekali kepalanya mendongak naik lalu menunduk seperti kesakitan. Pikiran Cantika langsung membawanya pada beberapa kekhawatiran.

‘Apa orang itu sakit?

Orang itu terluka?

Atau jangan-jangan kena serangan jantung?!

Epilepsi??’

Rasa iba dan jiwa sosialnya yang tinggi membuat gadis muda itu mempercepat larinya, menghampiri sedan berwarna gelap di depan sana.

Suara erangan semakin jelas terdengar ketika dia mendekati mobil tersebut. Dengan panik Cantika mengetuk-ngetuk pintu pengemudi dan menarik handle pintu mobil yang rupanya tidak terkunci.

“Pak, Pak! Permisi, Anda kenapa? Apa Anda saki—aaa ...!” Kalimatnya sontak terganti oleh jeritan kaget.

Semuanya terjadi begitu cepat. Amat cepat, hanya sekejap mata. Dari mulai dirinya yang ditarik masuk ke dalam mobil, jatuh terjerembab, hingga tubuhnya yang kini menimpa pria asing di depannya. Sandaran jok itu merebah lurus ke belakang sehingga posisi mereka sekarang berbaring di atas jok pengemudi.

“Ssstt ... silent, please (tolong diam)?” ujar si pria panik. Dia pun tidak kalah kaget dari Cantika. Satu tangannya mencengkeram pergelangan tangan Cantika, sementara tangan yang lain membungkam mulut gadis itu.

Cantika berusaha berontak, tapi tenaganya kalah kuat oleh lelaki itu. Bola matanya melebar ketika dirinya tidak bisa lepas juga dari cengkeraman pria di depannya.

Pria itu diam sejenak memerhatikannya sebelum berkata lagi, “Iya, saya lepasin. Tapi tolong diam. Saya nggak sengaja.”

Mau tidak mau, Cantika berhenti meronta. Berusaha meneliti sepasang iris cerah di depannya. Dia sempat memandang takjub pada warna mata yang indah seperti batu safir itu, sangat jarang ditemuinya.

Setelah menyadari paras kebarat-baratan lelaki itu, Cantika sedikit penasaan, apakah lelaki ini orang asing? Tapi barusan dia mendengar pria itu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih.

Berikutnya Cantika melihat butiran peluh membanjiri pelipis laki-laki itu. Matanya memerah khas orang mengantuk. Tapi Cantika yakin bukan sekadar mengantuk. Dari bau napasnya saat bicara tadi, ada aroma alkohol yang menyeruak. Kemeja yang dikenakannya bau rokok.

Fix, orang ini habis dugem, pikir Cantika.

“Kamu bisa janji nggak teriak, kan, setelah saya lepas? Saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu, cuma tolong diam,” ujar pria itu tanpa nada mencurigakan.

Berhubung posisi mereka sangat vulgar dan memalukan, Cantika buru-buru mengangguk. Sesuai janji, laki-laki itu melepaskan cengkeraman serta telapak tangan yang menutup mulutnya. Mengisyaratkan Cantika agar berpindah ke jok di sebelah.

Merasa takut terjadi sesuatu jika tidak menurut, dia pun pelan-pelan beranjak duduk ke jok di sebelah. Takut, jika harus bersentuhan lebih banyak dengan laki-laki itu. Cantika lalu mengatur detak jantung yang nyaris meledak.

Sorry, I was drunk (Maaf, saya mabuk). Bisa tolong ambilin botol air mineral di dekat kamu?” pinta pria itu dengan mata terpejam. Kemudian dia membuka mata setelah mengembuskan napas panjang-panjang, mengangkat tuas joknya.

Please?” (Saya mohon) katanya lagi. Menoleh menatap Cantika yang masih tak bergerak di tempat.

Perlahan Cantika menurunkan pandangan mencari benda yang dimaksud. Dengan tangan bergetar, dia menyerahkan botol air mineral yang ditemukannya.

Thanks!” Laki-laki itu menerimanya. Tanpa diduga, dia menjulurkan badan sedikit keluar pintu, mengguyur wajahnya.

Sorry,” ucapnya meminta maaf sekali lagi.

Kali ini pria itu menepuk-nepuk kedua pipi sambil menggelengkan kepala, berupaya mengumpulkan akal sehat yang sempat hilang.

Setelah lebih tenang, Cantika menelisik sosok berkulit bersih itu. Jika diperhatikan lagi, siluetnya dari samping cukup indah. Badannya terasa keras saat Cantika menimpanya tadi, menandakan betapa atletis si pemilik tubuh. Wajah dan penampilan pria itu terlihat lebih dewasa. Sepertinya dia berusia akhir dua puluhan.

Merasa diamati, laki-laki itu balas menatapnya. “Kenapa? Enggak pernah lihat orang ganteng?”

Cantika buru-buru mengalihkan pandangan. Berdecih dalam hati mengejek pria yang terlalu percaya diri itu. Namun tidak dapat dipungkiri, pria blasteran di sebelahnya benar-benar tampan seperti sosok yang baru keluar dari sampul majalah fashion luar negeri.

Garis rahangnya yang tegas membuat dia kelihatan sangat maskulin. Lipatan matanya terlihat jelas dengan alis lebat rapi yang membingkai di atasnya. Bibir bagian atas dan bawahnya tampak simetris, tidak terlalu tipis maupun tebal. Kalau saja dia tidak melakukan hal gila, penampilan dan wajahnya itu benar-benar tipe Cantika sekali.

“Saya mau turun,” sergah Cantika jutek, membuka pintu di sebelahnya.

Baru sebelah kaki yang menginjak tanah, suara laki-laki itu menghentikan gerakan Cantika. “Ya, silakan. Tolong lupain yang tadi. Pretty please,” katanya dengan menekankan kata permohonan. “I was drunk.

Tanpa disuruh pun, Cantika sangat ingin menghapus memorinya yang tercemar itu. Siapa juga yang mau mengingat pemandangan tercela seperti tadi? Matanya benar-benar ternodai oleh pemandangan yang disuguhkan pria ini.

Padahal Cantika sudah cemas setengah mati pada keadaan orang itu. Takut kalau-kalau pria yang berada di dalam mobil menderita penyakit kronis. Nyatanya kecemasan Cantika berujung sia-sia. Sebaliknya, pria itu malah sedang ....

Lunetha Lu

Story by @lunetha_lu

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   139 Komitmen (END)

    “Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   138 Rahasia Terakhir

    “Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   137 Restart

    Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   136 Akhir Penyesalan

    “Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   135 Lima Menit Terakhir

    “Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   134 Too Late

    Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status