Cantika masih terbayang juga kejadian tadi. Bulu kuduknya sampai merinding. Mengedarkan pandangan ke sekitarnya, dia lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Memijat layar ponselnya, mencari satu nama pada daftar kontak, dan langsung menekan tombol panggil.
“Lin, Olin!” serunya tak sabar ketika telepon diangkat.
“Hmmm.” Suara serak dan nada malas di seberang sana menunjukkan betapa si empunya suara masih teramat mengantuk.
Jelas saja, ini bahkan belum jam tujuh pagi.
“Gue baru aja liat kejadian super gila, Lin!!” Cantika berseru heboh di telepon.
“Mmm?” gumam Olin, tanda bertanya.
Cantika yakin orang yang diteleponnya ini menjawab masih dalam keadaan mata terpejam. Tapi rasa kalut membuat dia mengabaikan apa pun. Dia hanya ingin curhat, membagi cerita spektakuler yang baru dialaminya. Dia memang sering bertemu orang aneh, tapi peristiwa seperti tadi baru pertama kali dialaminya.
“Lin, masa tadi ... waktu gue lagi jogging, gue liat cowok ... di dalam mobil,” Kalimatnya tersendat-sendat saking malunya bercerita.
“Mm hm?” Olin mengisyaratkan agar Cantika meneruskan ceritanya. Masih mengantuk tapi penasaran karena temannya terdengar panik.
“Di-dia sinting! Cowok itu sinting! Dia masa kayak gitu di mobil!”
“Hm?” Tidak perlu dijelaskan, Cantika sudah tahu kalau Olin sedang menanyakan maksud ucapannya.
“Dia ... ituuuu Linn!! Dia begitu di mobil! Cowok itu pelepasan di dalam mobil!” Gemetar malu mulutnya berbicara. Masih terasa bergidik mengingat kejadian vulgar tadi.
“Mmhh ...” Terdengar erangan Olin yang meregang. Dengan suara serak khas orang baru bangun tidur, dia akhirnya menyahut, “Kok bisa?”
Cantika kemudian menceritakan rentetan kejadian yang baru dialaminya. Dia harus membuang ingatan itu. Dan satu-satunya tempat menampung ceritanya cuma Olin, sahabatnya.
“Terus, lo bantuin nggak?” tanya Olin santai.
“Ya enggaklah! Ngaco!”
“Cakep?”
Cantika terdiam, mengingat kembali sosok laki-laki itu. Bibir merah alami dan iris jernihnya menarik perhatian meski dalam keadaan setengah sadar akibat mabuk. Hidung mancung dan bentuk bibir tipis yang begitu menggoda. Dadanya yang terasa keras berotot serta lengan kokoh. Dari semua itu, kesimpulan darinya adalah pria tadi benar-benar tampan.
“Yaa, lumayan siiih. Ganteng, tapi kayaknya lebih tua, keliatan akhir dua puluhan umurnya.” Sambil memutar bola mata ke atas, melirik langit-langit kamar.
“Kalo gue jadi lo, bakal gue tanya, perlu bantuan apa enggak?” ujar Olin terkekeh.
Satu hal yang dilupakan Cantika. Temannya yang satu ini pasti bakal selalu memberi nasihat luar biasa ekstrem terkait hal-hal vulgar. Olin itu lebih blak-blakan dan berani orangnya. Mungkin kalau dia yang lihat, seperti katanya tadi, dia malah gabung dengan cowok itu!
“Ih ... Olin, mah! Gue kan udah punya cowok!”
“Hilih, tar lagi juga putus lo.” Sudah sangat hapal dengan kebiasaan Cantika yang mudah bosan.
“Jangan gitu dong, baru juga sebulan.” Meski tahu Olin tidak bisa melihatnya, dia mengerucutkan bibir cemberut.
“Ganteng mana Jovino sama cowok tadi?” tanya Olin menggoda. Jovino adalah nama pacar Cantika.
Jujur saja, kalau secara keseluruhan, tentu Jovino kalah. Pria tadi sangat tampan dan aura maskulinnya menguar sempurna, mana bisa dibandingkan dengan remaja yang baru beranjak dewasa? Sangat timpang.
“Ah, udahlah. Jangan bahas lagi yang tadi. Gue harap nggak bakal ketemu orang itu lagi!”
***
Suara dering ponsel yang nyaring memekakan telinga. Pria yang tergeletak tak berdaya tanpa kaus di kasurnya dengan malas menggapai-gapai semua sisi bantal guna mencari benda yang terus berdering itu.
Dia melihat layar ponselnya sekilas dan menghela napas sebelum menjawab panggilan dari kontak bernama ‘Theo’. “Halo.”
“Ternyata masih idup lo, Bro. Gue kira tadi subuh lo nyasar, terus kecebur di kali Ciliwung.” Terdengar kekehan di ujung telepon.
“Sialan! Kenapa nelepon?” Masih berbaring di ranjang besarnya, pria itu mengusap sebelah mata sejenak. Menguap sebentar.
“Lo cuti, Ben?”
“Iya, lagi ngumpet. Capek gue direcokin di rumah, udah kayak dikejar-kejar rentenir,” sahut Ben sembari memijat pelipisnya, berharap dapat meringankan sakit kepala akibat pengar dan kantuk.
“Soal nikah?” Theo mencoba menebak.
“Apalagi memang kalau berurusan sama orang rumah?” Ben memberi jeda sebelum lanjut bertanya. “Lo ada perlu apa?”
“Biasa, buat pembangunan cluster baru. Butuh barangnya Barry, follow up dong. Tahap satu bentar lagi masuk interior.”
“Ya udah, nanti gue hubungin kantor. Gue sakit kepala banget nih, mau tidur dulu. Kalau enggak, nanti korslet lagi gue.” Ben masih memijat pelipisnya. Kepalanya terasa berat seperti habis tertimpa beban satu ton.
“Lagian udah dibilang jangan kebanyakan minum. Susah banget tau, cegah lo semalam. Terus sekarang kenapa lo?” Theo sangat mengenal temannya yang satu ini. Dari genangan suara dan cara bicara Ben barusan, dia bisa merasakan kalau sesuatu baru saja terjadi.
Ben menutup mata dengan sebelah tangan. Teringat kejadian absurd tadi pagi. Kejadian memalukan yang baru dialaminya sekali seumur hidup di depan orang yang tidak dikenalnya. “Udah sinting kayaknya gue tadi. Gila, gilaaa, malu-maluin banget!” Sepertinya dia harus mempertimbangkan untuk menjauhi minuman dengan kadar alkohol tinggi sementara waktu.
“Memangnya kapan sih lo enggak sinting dan enggak malu-maluin? Tiap mabuk juga begitu,” ejek Theo yang sudah hapal kebiasaan buruk Ben saat mabuk.
“Ngomong sekali lagi, gue bikin viral video lo pas mabuk biar jomblo seumur hidup!”
Ancaman Ben sukses membuat temannya tak berkutik. Theo kalah telak. “Ampun, Bang Jago! Ampun!” Tetapi kekehan tetap tidak dapat berhenti dari mulut pria itu. Sedang menerka-nerka, hal gila apa yang kali ini dilakukan Ben.
“Lo ngapain memang?” tanya Theo setelah berhasil mengontrol tawanya.
Perasaan kacau mau tidak mau membawa Ben memuntahkan semua kesialan yang terjadi pagi tadi pada Theo, rekan kerja sekaligus teman sejawatnya. Dia menceriatakan ulang sambil sesekali menyugar rambut ke belakang.
Ben bahkan sedikitnya sudah bisa menebak bagaimana reaksi Theo. Tapi tetap saja tidak siap dengan cemooh yang disemburkan lelaki itu.
“F*ck! Serius lo?! Si sinting, anjirrr!” Theo terbahak di seberang sana. Tertawa di atas nasib buruk temannya. “Nggak heran gue, kalau habis itu lo dianggap orang gila sama tu cewek.”
“Nggak usah ketawa deh, lo! Kalau bukan karena teriakan dia, nggak bakal sober gue, shit!”
Masih dengan sisa tawa, Theo menyahut, “Untung nggak didatangin security komplek lo!”
“Arrghh! Matilah, imej gue langsung ambrol! Nama baik gue dipertaruhkan.”
“Ya elah, nggak kenal ini. Ngapain pusing sih?”
“Tapi kayaknya sekomplek, barangkali ketemu lagi, atau malah jadi klien.” Itu sih, Ben punya harapan.
Andai waktu bisa diputar, dia tidak ingin bertemu gadis itu dalam keadaan kacau. Habislah citra dirinya. Mungkin ia dikira seorang pengidap *eksibisionis. Kalau bisa memilih, Ben ingin pertemuan yang lebih keren, minimal lebih normal.
(*eksibisionis = Gangguan psikoseksual yang memberi dorongan, tindakan, fantasi pada pengidapnya untuk menunjukan kelamin kepada orang lain)
“Bentar, bentar. Ini cuma perasaan gue aja apa kayaknya lo ngarep ketemu itu cewek lagi?” selidik Theo cepat tanggap dengan reaksi dari Ben.
Diamnya Ben membuat Theo kembali berkicau. “Behhh, cakep ni jangan-jangan.”
Ben kemudian meraih earphone putih yang tergeletak di atas laci nakas sebelah ranjangnya. Diamatinya earphone yang kini ada dalam genggamannya. Sudut-sudut bibir pria itu tanpa sadar terangkat. Otaknya sibuk menyusun kembali rangkaian sosok gadis tadi pagi dalam ingatan. Seujujurnya, tubuh mereka yang bersentuhan saat itu memberi sensasi tersendiri baginya.
Dia bahkan tidak dapat melupakan mata cokelat hershey yang menatapnya, serta bibir sensual yang dibekap oleh tangannya. Leher jenjang yang terekspos karena seluruh rambut panjang gadis itu diikat ke belakang, membuat dia mati-matian menahan diri untuk tidak menyesapnya. Pesona gadis itu bahkan tidak dapat diragukan lagi.
“Yeah, she is (Ya, dia cantik). Yang paling nggak bisa dilupain, she’s a sexy type,” gumam Ben dengan wajah sumringah sambil menggigit bibir bawahnya.
Dari nada suaranya saja, Theo paham betul, temannya ini kasmaran tidak pada tempatnya. “Udah, jangan kebanyakan lirik rumput tetangga. Nikahin aja Viona!”
“Astagaa, si Brengsek! Udahlah gue tutup.”
Dua hal yang belakangan ini selalu membuat kepalanya pusing, kata ‘nikah’ dan nama ‘Viona’. Setiap kali mendengar kedua hal itu rasanya nyaris membuat gendang telinganya perih berdarah-darah. Dia sudah terlalu muak akibat seringnya dijejalkan oleh dua hal tersebut. Semakin disuruh, semakin membuatnya ingin membantah.
Dikira pernikahan itu mudah? Tidak, Ben belum ingin kehilangan kebebasannya. Ditambah, selama ini dia sudah cukup bersabar menahan diri menghadapi Viona. Banyak cara dilakukannya agar wanita itu melepaskannya. Namun Viona tetap bergeming.
Ben menunduk, kembali menatap earphone di tangannya. Bagaimana jika dia bertemu dengan gadis itu lagi? Apakah ada kemungkinan bila gadis itu bisa menjadi jalan keluar atas persoalannya?
Terima kasih sudah baca cerita ini. Tambahkan ke perpustakaanmu ya. Jangan lupa tebar bintang untuk Cantika ;)
“Nggak ada. Di sana nggak ada, di sini juga nggak ada.” Cantika berdecak sambil lalu menghela napas. Gadis itu sudah berkali-kali mencari. Di lemari, laci, saku celana, ranjang, tas-tas yang biasa dipakai, tapi benda yang dicari tetap tidak ketemu juga. “Duh, di mana ya itu earphone? Masa iya punya kaki?” desis Cantika menggaruk kepalanya. Dia lalu membungkuk, menarik selimut ke atas, berjongkok memeriksa kolong tempat tidur, namun hasilnya tetap nihil. Cantika tidak menemukan benda berkabel yang dicarinya. “Coba ingat-ingat, terakhir bawa ke mana, ya? Kemarin masih dibawa waktu ....” Tiba-tiba dia teringat hari di mana penglihatannya terkontaminasi oleh pemandangan meresahkan namun menggoda iman. Pagi itu dia memakai earphone-nya. Lalu melepasnya saat melihat seseorang yang tampak dalam keadaan darurat di dalam mobil – yang ternyata hanya lelaki mabuk dengan aktivitas solonya. Setelah itu, apa lagi? Cantika berusaha mengingat lebih jauh, apakah dia masih mengantonginya saat pulan
Sumpah, dia merasa risih! Setelah ikut terseret ke halaman rumahnya, Cantika langsung memasang benteng pertahanan penuh. Mengawasi Bianca dan Byana yang sedang bermain di halaman rumah pria asing dengan ekstra ketat supaya lelaki yang dipanggil Ben itu tidak berbuat macam-macam pada mereka. Setelah apa yang ia lihat pagi itu, bisa saja lelaki bernama Ben ini juga seorang ped*fil. Jangan sampai dia tertipu oleh wajah tampan dan suara merdu lelaki itu. Jangan. Byana dan Bianca betah mengelus makhluk berbulu lebat yang terikat. Tampaknya kedua anjing tersebut memang benar jinak. Mereka hanya duduk, menempel-nempel manja, dan menggoyangkan ekor saat Byana bermain-main dengan telinganya. Tiba-tiba saja Cantika merasakan sesuatu. Sejak menjemput anak-anak tadi, dia sempat ingin ke toilet. Tapi harus menundanya karena takut Brian menunggu lama. Waktu pulang, dia malah lupa ke toilet dulu sebelum jalan-jalan dengan Byana dan Bianca. Akibatnya, sekarang dia malah kebelet! ‘Ya ampun, Cantik
“Kalian kok bisa kenal pemilik doggy tadi?” tanya Cantika pada Byana yang duduk melipat kaki ke belakang di sebelahnya. Mereka ada di kamar Bianca dan Byana, sibuk membereskan buku pelajaran untuk besok. Sore tadi Cantika tidak sempat bertanya karena Byana dan Bianca harus mandi, makan malam bersama maminya, lalu mengerjakan PR. “Kan Byan pernah main sama doggynyaa,” jawab Byan dengan mimik dan nada lucu nan polos. “Kenapa kamu manggil dia ‘Kak'? Dia jauh lebih tua. Kayaknya lebih cocok dipanggil Om sama kamu.” “Katanya panggil Kak Ben aja. Kak Ben itu orangnya baiikk, deh. Udah gitu ganteng kayak artis.” Cantika kontan ternganga. Demi krabby patty, anak sekecil Byana saja bisa bilang dia ganteng?? Tahu dari mana dia? Siapa yang bilang begitu ke Byana yang polos?? “Kata siapa Om itu ganteng?” tanya Cantika memastikan. Dirinya tergelitik untuk mencari tahu. “Emang ganteng kok, Kak!” Tiba-tiba Caca yang sedang memasukkan buku pelajaran ke tas sekolah ikut dalam obrolan. “Mirip pe
“Bannya bocor??” Satu tangan Cantika memindahkan ponsel ke telinga sebelahnya. Dia melirik ketiga bocah yang sedang duduk sambil memerhatikannya yang sedang menelepon. “Lama nggak, Pak? ... Ya udah, deh. Tolong kabarin secepatnya, ya? Sebentar lagi ‘kan udah jamnya anak-anak les. ... Oke, makasih, Pak.” Cantika mengembuskan napas panjang setelah memutus sambungan telepon. Dilihatnya jam yang ada sudut atas ponselnya, hampir jam setengah empat. Hari ini waktu kursus Brian, Bianca, dan Byana sama-sama pukul empat sore. Sengaja memilih waktu bersamaan karena masih satu tempat kursus. Dari mal di mana mereka berada butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke tempat kursus. Itu pun kalau jalanan tidak padat merayap. Kalau ada kendaraan yang geraknya lambat dan bikin macet, bisa lebih lama lagi. Semoga saja Pak supir bisa menjemput mereka kurang dari lima belas menit. “Kenapa Kak? Bannya bocor?” tanya Brian yang sejak tadi menyimak obrolan Cantika di telepon. Cantika memasukka
Ini sudah yang kedua kalinya Cantika berada di dalam mobil milik Ben. Jujur saja yang pertama dia tidak terlalu ingat dengan mobilnya karena aksi mencengangkan lelaki itu. Dia juga tidak terlalu lama di dalam mobil. Namun kali ini berbeda, karena supir mereka tidak bisa datang menjemput, Cantika terpaksa harus menempuh perjalanan beberapa menit dengannya berduaan. Duduk di sebelahnya dan sadar kalau sesekali lelaki itu meliriknya. Iya, berdua. Brian, Bianca, dan Byana sudah diantar ke tempat les. Cantika tidak mungkin menunggu anak-anak sampai selesai kursus selama satu setengah jam. Jadi, lebih baik dia pulang. Niatnya Cantika mau pulang dengan taksi online, tapi dasar nasib, uang cash di dompet sisa selembar dua puluh ribu dan sepuluh ribuan, uang sakunya di ATM juga sangat menipis. Sehingga keberadaan Ben sejujurnya seperti pertolongan untuknya. Kalau Cantika jadi panggil taksi online tadi, dia harus menunggu kucuran dana lebih dulu untuk ongkos anak-anak. Waktu berangkat, Brian
“Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street. Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.” “Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut. Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya. Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.” “Aku mau jus aja kalau gitu.” Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat. Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya ma
Ben pulang dengan suasana hati yang baik dan senyum merekah di wajah. Dia kira waktu cutinya ini hanya akan dihabiskan untuk sendirian, melanjutkan pekerjaan lain di rumah, atau ngalor-ngidul tidak jelas. Tetapi ternyata hal menarik ditemukannya sepanjang ia cuti. Kiara, gadis cantik yang masih kuliah, sepuluh tahun lebih muda darinya. Selama mengobrol, bibir penuh bergaris belah dan leher ramping gadis itu tidak luput dari pandangannya. Benar-benar membuatnya bergairah. Gadis itu memang bukan gadis cantik pertama yang dijumpai Ben. Tetapi daya tariknya amat kuat. Ben menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka aplikasi media sosial dan mengetik nama Kiara pada kolom pencarian. Satu per satu foto profil ditelitinya. Terlalu banyak perempuan bernama Kiara. Sayang sekali dia tidak mendapatkan nama lengkap gadis itu. Ben lalu menghela napas kasar dan melempar pelan ponselnya ke meja sesaat sebelum benda pipih itu berbunyi. Dia sudah
“Lo masih ketemu om-om itu, Lin?” Pertanyaan sensitif dari Cantika mengundang helaan napas lolos dari mulut Olin. Wanita yang pernah tidak naik kelas dua kali akibat daftar kehadirannya di sekolah, mengepalkan sebelah tangan erat. Sangat kontras dengan senyum di wajahnya. “Menurut lo, dari mana gue bisa dapat ini semua kalau bukan dari dia?” ungkap Olin mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. Atmosfir di ruangan Olin seketika berubah pekat. Cantika kira, dengan kesibukan Olin sekarang, dia sudah tidak menemui pria berumur itu lagi. Masalah Olin memang bukan urusan Cantika. Tetapi di lubuk hatinya, dia ingin Olin menjalani hubungan yang normal. Secara fisik, tidak ada yang kurang dari sahabatnya itu. Olin memiliki wajah manis khas Melayu. Kulitnya yang coklat eksotis dan tubuh berisinya membuat gadis itu kelihatan seksi. Meski tidak setinggi Cantika, tetapi Olin tidak tergolong pendek. Secara fisik penampilannya menarik. Secara kepribadian, dia wanita yang menyenangkan