Share

#2 Yang Tampan dan Cantik

Cantika masih terbayang juga kejadian tadi. Bulu kuduknya sampai merinding. Mengedarkan pandangan ke sekitarnya, dia lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Memijat layar ponselnya, mencari satu nama pada daftar kontak, dan langsung menekan tombol panggil.

“Lin, Olin!” serunya tak sabar ketika telepon diangkat.

“Hmmm.” Suara serak dan nada malas di seberang sana menunjukkan betapa si empunya suara masih teramat mengantuk.

Jelas saja, ini bahkan belum jam tujuh pagi.

“Gue baru aja liat kejadian super gila, Lin!!” Cantika berseru heboh di telepon.

“Mmm?” gumam Olin, tanda bertanya.

Cantika yakin orang yang diteleponnya ini menjawab masih dalam keadaan mata terpejam. Tapi rasa kalut membuat dia mengabaikan apa pun. Dia hanya ingin curhat, membagi cerita spektakuler yang baru dialaminya. Dia memang sering bertemu orang aneh, tapi peristiwa seperti tadi baru pertama kali dialaminya.

“Lin, masa tadi ... waktu gue lagi jogging, gue liat cowok ... di dalam mobil,” Kalimatnya tersendat-sendat saking malunya bercerita.

“Mm hm?” Olin mengisyaratkan agar Cantika meneruskan ceritanya. Masih mengantuk tapi penasaran karena temannya terdengar panik.

“Di-dia sinting! Cowok itu sinting! Dia masa kayak gitu di mobil!”

“Hm?” Tidak perlu dijelaskan, Cantika sudah tahu kalau Olin sedang menanyakan maksud ucapannya.

“Dia ... ituuuu Linn!! Dia begitu di mobil! Cowok itu pelepasan di dalam mobil!” Gemetar malu mulutnya berbicara. Masih terasa bergidik mengingat kejadian vulgar tadi.

“Mmhh ...” Terdengar erangan Olin yang meregang. Dengan suara serak khas orang baru bangun tidur, dia akhirnya menyahut, “Kok bisa?”

Cantika kemudian menceritakan rentetan kejadian yang baru dialaminya. Dia harus membuang ingatan itu. Dan satu-satunya tempat menampung ceritanya cuma Olin, sahabatnya.

“Terus, lo bantuin nggak?” tanya Olin santai.

“Ya enggaklah! Ngaco!”

“Cakep?”

Cantika terdiam, mengingat kembali sosok laki-laki itu. Bibir merah alami dan iris jernihnya menarik perhatian meski dalam keadaan setengah sadar akibat mabuk. Hidung mancung dan bentuk bibir tipis yang begitu menggoda. Dadanya yang terasa keras berotot serta lengan kokoh. Dari semua itu, kesimpulan darinya adalah pria tadi benar-benar tampan.

“Yaa, lumayan siiih. Ganteng, tapi kayaknya lebih tua, keliatan akhir dua puluhan umurnya.” Sambil memutar bola mata ke atas, melirik langit-langit kamar.

“Kalo gue jadi lo, bakal gue tanya, perlu bantuan apa enggak?” ujar Olin terkekeh.

Satu hal yang dilupakan Cantika. Temannya yang satu ini pasti bakal selalu memberi nasihat luar biasa ekstrem terkait hal-hal vulgar. Olin itu lebih blak-blakan dan berani orangnya. Mungkin kalau dia yang lihat, seperti katanya tadi, dia malah gabung dengan cowok itu!

“Ih ... Olin, mah! Gue kan udah punya cowok!”

“Hilih, tar lagi juga putus lo.” Sudah sangat hapal dengan kebiasaan Cantika yang mudah bosan.

“Jangan gitu dong, baru juga sebulan.” Meski tahu Olin tidak bisa melihatnya, dia mengerucutkan bibir cemberut.

“Ganteng mana Jovino sama cowok tadi?” tanya Olin menggoda. Jovino adalah nama pacar Cantika.

Jujur saja, kalau secara keseluruhan, tentu Jovino kalah. Pria tadi sangat tampan dan aura maskulinnya menguar sempurna, mana bisa dibandingkan dengan remaja yang baru beranjak dewasa?  Sangat timpang.

“Ah, udahlah. Jangan bahas lagi yang tadi. Gue harap nggak bakal ketemu orang itu lagi!”

***

Suara dering ponsel yang nyaring memekakan telinga. Pria yang tergeletak tak berdaya tanpa kaus di kasurnya dengan malas menggapai-gapai semua sisi bantal guna mencari benda yang terus berdering itu.

Dia melihat layar ponselnya sekilas dan menghela napas sebelum menjawab panggilan dari kontak bernama ‘Theo’. “Halo.”

“Ternyata masih idup lo, Bro. Gue kira tadi subuh lo nyasar, terus kecebur di kali Ciliwung.” Terdengar kekehan di ujung telepon.

“Sialan! Kenapa nelepon?” Masih berbaring di ranjang besarnya, pria itu mengusap sebelah mata sejenak. Menguap sebentar.

“Lo cuti, Ben?”

“Iya, lagi ngumpet. Capek gue direcokin di rumah, udah kayak dikejar-kejar rentenir,” sahut Ben sembari memijat pelipisnya, berharap dapat meringankan sakit kepala akibat pengar dan kantuk.

“Soal nikah?” Theo mencoba menebak.

“Apalagi memang kalau berurusan sama orang rumah?” Ben memberi jeda sebelum lanjut bertanya. “Lo ada perlu apa?”

“Biasa, buat pembangunan cluster baru. Butuh barangnya Barry, follow up dong. Tahap satu bentar lagi masuk interior.”

“Ya udah, nanti gue hubungin kantor. Gue sakit kepala banget nih, mau tidur dulu. Kalau enggak, nanti korslet lagi gue.” Ben masih memijat pelipisnya. Kepalanya terasa berat seperti habis tertimpa beban satu ton.

“Lagian udah dibilang jangan kebanyakan minum. Susah banget tau, cegah lo semalam. Terus sekarang kenapa lo?” Theo sangat mengenal temannya yang satu ini. Dari genangan suara dan cara bicara Ben barusan, dia bisa merasakan kalau sesuatu baru saja terjadi.

Ben menutup mata dengan sebelah tangan. Teringat kejadian absurd tadi pagi. Kejadian memalukan yang baru dialaminya sekali seumur hidup di depan orang yang tidak dikenalnya. “Udah sinting kayaknya gue tadi. Gila, gilaaa, malu-maluin banget!” Sepertinya dia harus mempertimbangkan untuk menjauhi minuman dengan kadar alkohol tinggi sementara waktu.

“Memangnya kapan sih lo enggak sinting dan enggak malu-maluin? Tiap mabuk juga begitu,” ejek Theo yang sudah hapal kebiasaan buruk Ben saat mabuk.

“Ngomong sekali lagi, gue bikin viral video lo pas mabuk biar jomblo seumur hidup!”

Ancaman Ben sukses membuat temannya tak berkutik. Theo kalah telak. “Ampun, Bang Jago! Ampun!” Tetapi kekehan tetap tidak dapat berhenti dari mulut pria itu. Sedang menerka-nerka, hal gila apa yang kali ini dilakukan Ben.

“Lo ngapain memang?” tanya Theo setelah berhasil mengontrol tawanya.

Perasaan kacau mau tidak mau membawa Ben memuntahkan semua kesialan yang terjadi pagi tadi pada Theo, rekan kerja sekaligus teman sejawatnya. Dia menceriatakan ulang sambil sesekali menyugar rambut ke belakang.

Ben bahkan sedikitnya sudah bisa menebak bagaimana reaksi Theo. Tapi tetap saja tidak siap dengan cemooh yang disemburkan lelaki itu.

F*ck! Serius lo?! Si sinting, anjirrr!” Theo terbahak di seberang sana. Tertawa di atas nasib buruk temannya. “Nggak heran gue, kalau habis itu lo dianggap orang gila sama tu cewek.”

“Nggak usah ketawa deh, lo! Kalau bukan karena teriakan dia, nggak bakal sober gue, shit!”

Masih dengan sisa tawa, Theo menyahut, “Untung nggak didatangin security komplek lo!”

“Arrghh! Matilah, imej gue langsung ambrol! Nama baik gue dipertaruhkan.”

“Ya elah, nggak kenal ini. Ngapain pusing sih?”

“Tapi kayaknya sekomplek, barangkali ketemu lagi, atau malah jadi klien.” Itu sih, Ben punya harapan.

Andai waktu bisa diputar, dia tidak ingin bertemu gadis itu dalam keadaan kacau. Habislah citra dirinya. Mungkin ia dikira seorang pengidap *eksibisionis. Kalau bisa memilih, Ben ingin pertemuan yang lebih keren, minimal lebih normal.

(*eksibisionis = Gangguan psikoseksual yang memberi dorongan, tindakan, fantasi pada pengidapnya untuk menunjukan kelamin kepada orang lain)

“Bentar, bentar. Ini cuma perasaan gue aja apa kayaknya lo ngarep ketemu itu cewek lagi?” selidik Theo cepat tanggap dengan reaksi dari Ben.

Diamnya Ben membuat Theo kembali berkicau. “Behhh, cakep ni jangan-jangan.”

Ben kemudian meraih earphone putih yang tergeletak di atas laci nakas sebelah ranjangnya. Diamatinya earphone yang kini ada dalam genggamannya. Sudut-sudut bibir pria itu tanpa sadar terangkat. Otaknya sibuk menyusun kembali rangkaian sosok gadis tadi pagi dalam ingatan. Seujujurnya, tubuh mereka yang bersentuhan saat itu memberi sensasi tersendiri baginya.

Dia bahkan tidak dapat melupakan mata cokelat hershey yang menatapnya, serta bibir sensual yang dibekap oleh tangannya. Leher jenjang yang terekspos karena seluruh rambut panjang gadis itu diikat ke belakang, membuat dia mati-matian menahan diri untuk tidak menyesapnya. Pesona gadis itu bahkan tidak dapat diragukan lagi.

Yeah, she is (Ya, dia cantik). Yang paling nggak bisa dilupain, she’s a sexy type,” gumam Ben dengan wajah sumringah sambil menggigit bibir bawahnya.

Dari nada suaranya saja, Theo paham betul, temannya ini kasmaran tidak pada tempatnya. “Udah, jangan kebanyakan lirik rumput tetangga. Nikahin aja Viona!”

“Astagaa, si Brengsek! Udahlah gue tutup.”

Dua hal yang belakangan ini selalu membuat kepalanya pusing, kata ‘nikah’ dan nama ‘Viona’. Setiap kali mendengar kedua hal itu rasanya nyaris membuat gendang telinganya perih berdarah-darah. Dia sudah terlalu muak akibat seringnya dijejalkan oleh dua hal tersebut. Semakin disuruh, semakin membuatnya ingin membantah.

Dikira pernikahan itu mudah? Tidak, Ben belum ingin kehilangan kebebasannya. Ditambah, selama ini dia sudah cukup bersabar menahan diri menghadapi Viona. Banyak cara dilakukannya agar wanita itu melepaskannya. Namun Viona tetap bergeming.

Ben menunduk, kembali menatap earphone di tangannya. Bagaimana jika dia bertemu dengan gadis itu lagi? Apakah ada kemungkinan bila gadis itu bisa menjadi jalan keluar atas persoalannya?

Lunetha Lu

Terima kasih sudah baca cerita ini. Tambahkan ke perpustakaanmu ya. Jangan lupa tebar bintang untuk Cantika ;)

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status