BAB 5
POV BINTANG
“Dasar perempuan miskin! Dia pikir aku betah hidup sama dia? Goyang aja nggak becus, nggak bisa ngejepit pula. Emang istri nggak guna. Muka macam daki anoa aja belagu ngatain mulutku bau, gigi palsuku harus diganti. Hah! Hah! Emang bau apa? Engga, ah!” Aku ngomel-ngomel sakit hati di depan teras sambil mencium uap mulutku sendiri. Sialan bocah kemarin sore itu. Bisa-bisanya dia menghina lelaki yang udah bekerja keras banting tulang buat nafkahin dia selama ini. Apa dia bilang? Aku jelek? Bau mulut? Enak saja! Buktinya, Siska yang jauh lebih seksi dan punya jepitan maut seperti pintu masuk kantor kelurahan itu mau sama aku! Dia malah ngebet dan tergila-gila minta dikawini saban hari.
“Emang nggak salah aku lebih memilih Siska ketimbang Lisna! Siska itu cantik, montok, semok, bahenol. Rebutan para lelaki dan idola di karaoke. Siapa yang nggak kenal sama dia? LC tercantik sekecamatan! Kalau Lisna? Pretlah! Tamat SMA aja nilainya pas-pasan. Masa nilai matematika cuma lima? Satu tambah satu aja jangan-jangan dia masih bingung jawabannya!” Masih belum habis jengkelku. Aku terus bersungut-sungut. Geram sekali kalau ingat muka songongnya si Lisna. Umur baru 20 tahun, berani-beraninya dia menghina aku yang sudah 30 tahun. Untung sudah kutalak tiga. Coba kalau tidak? Jangan-jangan, kalau kuteruskan pernikahan ini, dia bisa saja memutilasiku malam-malam. Sangat tidak kusangka, ternyata kelakuan perempuan sok alim itu sangat durjana! Pelawan dan durhaka.
Sambil masuk ke rumah dan menutup pintu, aku memainkan ponselku. Hari ini, sebenarnya aku tidak masuk bekerja. Sudah ambil cuti sebanyak tujuh hari.
Lama sudah kumenunggu datangnya hari ini. Ya, hari yang tepat untuk mengajak gelut si Lisna dan menceraikannya.
Enam bulan yang lalu, aku berkenalan dengan Siska, seorang gadis cantik berusia 18 tahun yang bekerja sebagai LC alias lady companion alias pemandu lagu di karaoke. Jangan pikir aku ini lelaki nakal dan binal. Tidak, aku ini anak soleh! Semua orang juga mengakui. Apalagi kalau tiba hari lebaran. Siapa yang tak mengakui kesolehanku dari pihak keluarga? Coba saja kalau mereka enggan menganggapku lelaki baik-baik dan beriman, bisa nggak kuberi saweran alias salam tempel!
Aku bisa menyambangi karaoke Magenta gara-gara ditraktir oleh temanku yang baru saja promosi jabatan dari supervisor menjadi manager operasional. Namanya Arif. Orangnya yang jelas nggak sama sekali arif seperti nama yang diberikan. Tergolong laki-laki nakal yang hobi celap celup sana-sini. Cuma, herannya kenapa kariernya lebih menanjak daripada aku? Ya, mungkin karena tampangnya ganteng. Eh, bukan berarti mukaku nggak ganteng seperti dia, ya! Aku ini manis dan sopan. Begitu kalau kata Mama, Bapak, adik-adik, dan om maupun tanteku.
Nah, saat kami berkaraoke ria, masuklah si Siska bersama dua temannya yang lain, yaitu Debby dan Kiki. Mataku langsung terpana saat melihat cewek berkulit putih dengan dada montok seperti durian montong tersebut. Coba bandingkan dengan Lisna. Jangankan bentukan kaya durian montong atau pepaya California. Yang ada malah mirip duku. Tahu duku, nggak? Itu, yang bisa ngirim santet. Hehe garing.
Entah kenapa, sejak pertemuan pertama itu, rasanya aku jadi jatuh hati pada Siska. Saat kami berpisah pun, aku memutuskan untuk meminta nomor teleponnya.
Sejak itu, aku pun mulai intens berkomunikasi dengan Siska. Dasar Lisna bodoh, mana tahu dia kalau aku selingkuh. Ya, maklum saja. Namanya juga ibu rumah tangga, kan? Apalagi dia juga kularang untuk bergaul terlalu akrab dengan orang-orang sekitar sini maupun aktif di dunia maya. Akun WhatsAppnya saja hanya boleh menyimpan kontakku dan kontak keluarga saja. Aku benar-benar protektif dan tidak salah juga keputusanku. Perempuan itu jadi dungu kuadrat, ngalahin orang idiot pokoknya.
Tidak hanya sebatas berkirim pesan, tapi aku dan Siska pun mulai keluar untuk berjumpa. Aku kerap mendatanginya di karaoke. Di awal, aku memang takut-takut. Namun, lama kelamaan terbiasa juga. Toh, Lisna juga nggak bakalan tahu. Sampai pada akhirnya, aku dan Siska pun ketagihan booking kamar hotel yang tidak jauh letaknya dari tempat Siska bekerja.
Sekali, dua kali, bahkan belasan kali kami melakukannya. Sampai-sampai, aku muak sendiri dengan Lisna. Sama sekali tidak bergairah kalau melihat mukanya, apalagi pas pakai daster. Menjijikan kalau di otakku. Lebih mirip kaya pembantu rumah tangga, tahu! Apalagi dia itu tidak pandai make up. Pakai bedak saja jarang-jarang. Dasar perempuan tidak tahu diri.
Satu hal juga yang membuatku kecewa sama Lisna. Masalah anak. Sudah dua tahun kami menikah, lho. Masa dia nggak hamil-hamil juga? Mandul pasti. Dia nggak tahu kalau di pabrik aku selalu jadi bahan olok-olok orang. Sudah kepala tiga nggak punya anak juga. Nah, memang pantasnya si Lisna kutendang, kan? Mending aku ngawinin si Siska aja yang jelas-jelas sudah pernah melahirkan. Iya, Siska itu janda satu anak. Tapi anaknya diasuh sama orangtua Siska di kampung sana. Kalau kami jadi kawin nanti, aku udah pesan ke dia nggak akan ngizinin anak itu tinggal di rumahku. Ogah! Cuma jadi beban. Biar aja anak itu diasuh sama nenek-kakeknya di kampung. Apa juga urusannya sama aku, kan?
Aku pun duduk di sofa ruang tamu. Membuka dua kancing kemeja kerjaku dan mulai menelepon si Siska. Aku kangen banget. Pengen lihat mukanya yang cantik aduhai seperti bidadari itu.
“Sis!” seruku saat panggilan videoku diterima oleh Siska. Cewek seksi itu sedang tengkurap dengan pakainnya yang terbuka. Dia tahu aja kesukaanku. Coba bandingkan sama si Lisna. Mau pakai baju seksi kek, nggak ngaruh! Orang dadanya kaya biji tomat. Bikin keki, iya.
“Iya, Kang Mas sayang. Gimana istrimu? Udah kamu usir? Kapan dong, aku bisa nginep di rumahmu, Mas?” Siska yang memiliki bibir tebal dan seksi itu manyun. Rambut pirang lurus sebahunya dia pilin-pilin dengan jemari yang lentik dab berkuku panjang.
“Bentar ya, Sayang. Malam ini deh, aku jemput. Gimana? Kamu pasti udah nggak sabar, kan, mau menikmati mewahnya rumahku?” tanyaku pada Siska dengan suara penuh bangga.
Siska yang memiliki tindikan di hidung mancungnya itu mengangguk kencang. “Iya, Mas. Aku nggak sabar deh, pengen jadi ratu di situ. Kamar kostku kan, sempit banget, Mas. Udah nggak muat buat nyimpen sepatu dan baju-bajuku. Oh, ya, perhiasan istrimu jadi buat aku, kan?” Siska mengerjap-ngerjapkan matanya yang berbulu lentik. Membuatku jadi panas dingin kaya lagi kena malaria aja.
“Iya, dong. Semuanya buat kamu. Baju-baju, perhiasan, make up. Semuanya buat kamu, Siska sayang!”
“Hore! Muah-muah! Makasih ya, Kang Mas. Aku emang nggak salah pilih pacar. Kamu emang laki-laki baik dan bertanggung jawab, Mas.” Siska sibuk mencium-cium layar ponselnya. Membuatku jadi pengen nyiumin tembok juga. Duh, Sis. Coba kamu di sini. Pengen kusmack down rasanya.
“Buka aja pintunya! Mayatnya pasti di dalam itu!” Sebuah suara tiba-tiba membuatku terkejut. Seperti ada ribut-ribut di luar. Aku langsung beranjak dari sofa dan izin mematikan telepon kepada Siska.
“Sis, bentar. Ada tamu,” kataku.
“Iya, Mas.”
Telepon pun terputus. Suara ribut-ribut itu beralih jadi suara gebukan di depan pintu.
“Dobrak aja! Dobrak! Bisa-bisa bau itu mayatnya nanti!”
Aku bergidik. Hah? Mayat? Mayat apaan? Ini apa-apaan?
Cepat kubuka kunci pintu dengan tangan gemetar. Sementara pekik jerit di teras semakin membabi buta.
“Telepon polisi coba. Apa jangan-jangan si Bintang dibunuh!”
“Iya, bener.”
Ceklek. Pintu berhasil kubuka kuncinya. Kuputar kenopnya dan aku pun berteriak dari dalam. “Apa-apaan ini?!”
Saat pintu terbuka, aku kaget. Sekitar enam sampai belasan orang sudah berjubel di depan pintu. Semuanya bapak-bapak tetangga sekitar dan muka mereka seperti melihat hantu.
“H-hantu!” teriak beberapa orang.
Aku kaget. Siapa yang hantu?
“Hei, ini aku! Bintang, yang punya rumah. Hantu apaan? Aku masih hidup! Siapa juga yang mati!” Aku berteriak membabi buta. Geram juga dengan para tetangga yang berbondong-bondong datang, apalagi saat melihat wajahku dan malah diteriaki sebagai hantu. Enak saja! Muka ganteng macam model majalah Hidayah begini bisa-bisanya kalian katai hantu!
“Lho, Mas Bintang? Katanya sudah mati!” Jeritan itu berasal dari tepat arah depan wajahku. Cak Sadikin. Si bakul sate yang mukanya kaya pantat wajan saking gosongnya.
“Lha, ini orangnya, Cak? Gimana sih, sampean! Orang masih hidup kok, dibilang sudah mati!” Pak Imron, tetangga sebelah kanan rumahku mendorong pundak Cak Sadikin dengan muka sebal.
“Iya, nih! Buat gosip kira-kira dong, Cak!” Deny, pemuda yang tinggal di blok B itu juga ikut marah. Dia bersungut-sungut di belakang pundaknya Cak Sadikin.
“Eee, maaf semuanya. Ini yang ngasih tahu istrinya sendiri. Mas Bintang, istrinya sampean tadi bilang ke saya kalau Masnya sudah mati. Makanya saya panggil semua warga buat ngurusin jenazah sampean. Maaf ya, Mas.”
“Innalillahi w* innailaihi rojiun! Telah berpulang ke rahmatullah, tetangga kita Bintang Muklis yang bertempat tinggal di Blok A15. Bagi yang ingin melayat, dipersilakan untuk datang ke rumah almarhum.” Pengumuman di masjid pun terdengar nyaring hingga ke teras rumah. Begitu jelas dan lantang menyebutkan nama beserta alamatku.
Sialan! Biadab memang si Lisna. Bisa-bisanya dia menyumpahi mantan suaminya yang berbakti ini mati! Cak Sadikin juga sama biadabnya. Kenapa dia memberi tahu orang masjid sebelum konfirmasi?
“Pulang kalian semuanya! Dasar tetangga edan!” makiku sambil menunjuk ke arah luar.
“Huu! Semua gara-gara Cak Sadikin ini!”
Awas kau Lisna. Akan kubalas perbuatanmu hari ini!
(Bersambung)
Aku diantar Mak Jubai hingga ke terminal bus yang jaraknya hanya sekitar 2,5 kilometer dari rumah Mas Bintang. Sebenarnya, transportasi yang bisa kugunakan untuk tiba ke rumah orangtuaku tak hanya menggunakan bus saja. Naik taksi pun bisa, tapi tarifnya lebih mahal. Maklum saja, jaraknya sekitar 40 kilometer. Lumayan jauh kalau menurutku. Namun, sebisa mungkin setiap akhir pekan aku meminta pada Mas Bintang untuk mengantarku ke sana dengan mengendarai motor. Jika dia sedang beralasan letih, aku diberi ongkos naik bus pulang pergi sekadar untuk melepas rindu pada kedua orangtuaku. Ya, bisa jadi pas aku pergi ke rumah ortu saat weekend dan Mas Bintang kebetulan tidak ikut, lelaki bermuka tong sampah itu pasti mendatangi lubang WC umum. Dasar aku saja yang bodoh sebab tak pernah mencurigai gerak gerik suamiku. “Lis, salam buat bapak ibumu, ya,” ucap Mak Jubai saat mengantarku ke depan pintu masuk bus
BAB 7 Satu jam naik bus, akhirnya aku tiba juga di terminal daerah tempat orangtuaku tinggal. Aku cepat turun dari bus dan mencari ojek yang mangkal tak jauh dari pintu keluar terminal. Setelah mendapatkan tumpangan, aku pun yakin untuk mendatangi kediaman Ayah dan Ibu. Jantungku berdegup keras sepanjang perjalanan. Dari terminal, tukang ojek harus mengendara sekitar 15-20 menit untuk menuju rumahku yang berada tak jauh dari areal pesawahan. Iya, orangtuaku itu dua-duanya petani. Mereka menggarap lahan sendiri yang luasnya tak seberapa. Hasil panen mereka istilahnya hanya cukup untuk makan. Sedang untuk kebutuhan lain seperti sekolah anak-anak, orangtuaku mengandalkan hasil kebun berupa sayur mayur yang mereka tanami di pekarangan belakang rumah. Kami itu bukan tergolong keluarga yang miskin-miskin amat. Rumah punya, sawah ada walaupun luasnya tidak puluhan hektar. Ya, cukuplah untuk sekadar hidup sederhana. Cuma akunya aja yang
BAB 8 “Korea? Korengan kali maksumu, Min!” umpatku kesal. Jelas-jelas bentukannya Mas Bintang bagai pinang dibelah kapak kalau dibandingin sama jempol cantengannya Lee Min Ho. Bisa-bisanya dia ngatain mantan suamiku itu artis Korea, pula. Memang dasar lambe prengus kamu, Mince! Sama aja kaya si Bintang ternak. “Aih, nggak usah merendah gitulah, Lis. Aku jadi nggak enak. Jadi, gimana? Kalian berantem?” Mince malah semakin mengulik kehidupanku. Kaya dia aja yang ngebiayain tukang foto kawinanku. Ribet amat sih kamu, Min! “Nggak, tuh. Nggak berantem. Dibilangin orang cuma mau main sambil healing. Namanya juga orang kota. Sekali-kali pengen juga kan, menikmati aroma sawah dan bau keringatnya petani. Emang salah?” tanyaku nyolot. Bibirnya si Mince langsung tersungging sinis. “Halah, kaya lahirmu di mana aja, Lis! Orang dari orok sampai gede juga hari-hari nyiumin bau keteknya petani!” Di saat Mince semakin keki, aku pun
BAB 9 “Nggak tahulah, Bu. Dia mungkin selingkuh sama perempuan yang syaraf hidungnya udah putus kali. Ya, mungkin selama ini aku juga udah bego mau sama dia, Bu. Aku minta maaf sekali lagi, Bu. Dulu aku yang minta-minta supaya cepetan dinikahin. Eh, nggak tahunya, hidupku malah nggak jauh lebih makmur pas masih tinggal sama Ayah dan Ibu.” Jawabanku malah membuat Ibu semakin tersedu-sedu. Kasihan beliau. Pasti Ibu bakalan stres berat gara-gara masalah ini. Maafin Lisna ya, Bu. Lisna memang perempuan paling bodoh sedunia. Milih suami dulunya nggak pakai mata, tapi pakai dengkul. “Iya, Lisna. Nggak apa-apa. Ibu akan mencoba buat ikhlas.” Ibu mengeratkan pelukannya. Beliau mengusap-usap pundakku. Aku langsung tenang. Hatiku damai dalam pelukannya Ibu. Saat kami sudah saling melepaskan pelukan, aku pun mulai bercerita pada Ibu. “Bu, Mas Bintang itu jahat. Nggak seperti yang aku bayangkan. Dia selama ini hanya pura-pura
BAB 10 “Manusia itu emang berasal dari tanah, tapi bedanya si rabies satu ini terbuat dari tanah campuran tai kucing sama tai kebo! Gemas bener aku, Mbak. Bisa-bisanya dia ngancam minta viralin segal. Nggak usah takut. Sini, biar aku bikinin viti sekalian!” Seusai makan siang, aku disidang habis-habisan oleh Ita. Gadis 17 tahun yang menguncir rambutnya ke belakang itu membawaku ke kamar dan merebut ponselku buat dia selidiki. Dengan sangat kesal, adik semata wayangku tersebut mulai mengusap-usap layar sentuh ponselku. Entah dia mau melakukan apa. “Viti? Viti itu apaan? Sejenis vitamin buat mata biar nggak katarak pas lihat cowok burik?” tanyaku sambil menempel ke lengan putihnya Ita. Perempuan cantik berbulu mata lentik dan hidung lebih mancung daripada aku itu pun menoleh galak. “Makanya, Mbak! Cari suami tuh, yang waras. Bukan alumnus RSJ! Viti aja nggak tahu, sampean! Video TikTok! Bukan vitamin buat mata katarak.” Santai, Ita menoyor jidat
BAB 11POV BINTANG Buat menghindari para tetangga sedeng kebanyakan makan micin yang pada mengira bahwa aku sudah mati, selesai menelepon si perempuan tidak tahu diri alias Lisna, aku pun memutuskan untuk tancap gas. Ke mana lagi kalau bukan ke kostannya si Siska. Pengen ngecas batre yang sudah mulai lowbat. Harap maklum. Jepitannya si Lisna itu cuma kaya kitik-kitik nggak jelas. Nggak ada enak-enaknya. Enakan juga punya Siksa. Bisa mode getar, mode mutar, dan mode kerlap-kerlip kaya lampu taman. Beda jauhlah sama Lisna yang bodinya sendiri mirip gedebong pisang. Anyep. Diam persis mayat yang baru meninggal tadi pagi. Dengan menaiki motor skuter matik hitam, aku pun keluar dari komplek perumahan. Beberapa orang yang terlihat hendak datang ke rumah, langsung bubar gara-gara kubentak-bentak. Sialan emang kalau salah nikah. Kukira cewek cantik semlehoy, eh ternyata cewek rambo bar-bar yang mulutnya kaya ikan koi. Mangap-mangap nggak jelas. Nyebarin berita hoax
BAB 12POV BINTANG Aku terhenyak. Diam seribu bahasa. Kok, bisa-bisanya Siska setega ini, sih? Dia sayang nggak sama aku sebenarnya? Masa duit aja mau dia kuasai semua? “Mas, jangan diam aja kaya orang sembelit!” Siska membentak. Kakinya yang semlohay itu dia hentakkan ke atas lantai. Aku jelas kaget. Gegas aku terduduk di atas kasur dengan perasaan letoi. “Denger nggak, Mas Bintang? Jangan kaya orang tuli beruang gitu, dong!” Siska berkacak pinggang. Terlihat dengusan di bibirnya yang seksi dan tebal itu. “I-iya, Sis. Siap. Pokoknya, semua gajiku untuk kamu. Cuma untukmu, Sayang,” sahutku semanis tebu. Padahal, perasaanku sudah tongkol banget. Salah, maksudnya dongkol. Teraduk-aduk dan gonjang-gajing. Bagaimana ini? Bisa-bisa Mamah-Papah marah ke aku kalau tahu gaji dikuasai Siska semua. Ah, masa bodohlah. Yang penting aku bahagia. “Nah, gitu dong!” Siska senyum semringah. Seperti habis mendapat lotre
BAB 13POV BINTANG“Cepet Mas kita cari tempat yang lebih terhormat! Banyak anak alay di sini. Kan, udah aku bilang tadi. Aku maunya bakso, bukan makan sarapan tenda begini!” Siska merepet kaya knalpot blong. Membuatku semakin merah muka di depan dua sejoli goodlooking itu. Muda-mudi yang tengah dimabuk asmara itu pun hanya menatap kami berdua dengan muka jijik. Iyalah. Pasti mereka jijik banget sama omongannya si Siska. Jangankan mereka. Aku aja sebenarnya malu banget plus geli. Ya Allah, Sis. Emangnya selama ini kita makan di mana, sih? Di rumahnya presiden? Di pinggir got, Sis! Ingat-ingat itu.“Iya, Sayang,” lirihku pasrah.Tentu saja aku mengalah. Daripada disembur sama Siska habis-habisan. Lekas kumundurkan motor dan menghidupkan mesin kembali. Apes banget. Mana uang di dompet Cuma sisa dua ratus ribu. Itu juga sebenarnya untuk sampai minggu depan. Huhft, nasib.“Lagu ketinggian. Minimal mandi, kek! Muka kaya keset kamar mandi aja laguannya nggak mau makan di tenda.” Celetuk