"Sial! Telepon rumah nggak diangkat, Van!"
Vano memukul stir mobil dan menatap jalanan dengan gusar sementara Halimah meremas sepuluh jemari dengan cemas."Kebut, Van. Aku tidak mau Ibu dan Bapak kenapa-kenapa."Vano mengangguk. Dia menambah kecepatan mobil karena merasakan apa yang sedang Tomi rasakan saat ini. Mereka berdua laki-laki muda, untuk berkelahi kemungkinan menangnya akan tinggi, tapi Bapak dan Ibu ... siapa yang menjamin keselamatan mereka?"Maafkan aku, Mas ...."
Suara Halimah terdengar bergetar. "Gara-gara aku, semuanya jadi kacau. Hidup kita jadi tidak tenang begini. Aku ... hu ... hu ... hu ...."
"Berhenti menangis dan merengek, Dek. Menghadapi orang-orang Ki Kusumo bukan dengan kelemahan!" bentak Vano. "Buang air matamu, Mas janji akan menyelamatkan kalian semua meskipun harus berkorban nyawa sekalipun."
"Apa sebegitu mengerikan l
Setelah memastikan rencana mereka agar berjalan lancar, kedua tim khusus tadi mempersilahkan Tomi, Vano dan Halimah berangkat lebih dulu sementara petugas aparat memulai penyamarannya kali ini."Lebih baik kamu jangan ikut, Hal!"Halimah menggeleng cepat. Dia tidak mau jika suami dan Abangnya berjuang berdua sementara di menunggu ketidakpastian di rumah."Tidak, Mas. Bagaimanapun aku harus ikut, ada Bapak dan Ibu disana, mana mungkin aku berdiam diri menunggu kalian berdua dalam ketidakpastian," tutur Halimah."Halimah benar, Mas. Yang Ki Kusumo incar adalah dia, Ki Kusumo sengaja menculik Bapak dan Ibu itu karena Halimah. Aku tau, sejak dia datang ke kampung untuk menjemput Hesti waktu itu, matanya sudah menatap liar pada istriku," jelas Vano.Tomi seketika bungkam. Ingin menolak keikutsertaan Halimah, tapi dia tidak punya pilihan lain. Vano benar, dengan ikutnya H
"Lari, Hal ... cepat lari! Jangan sampai kamu tertangkap. Halimah ....!"Hesti terbangun dengan napas memburu. Keringatnya bercucuran sebesar biji jagung saat dia sadar jika semua yang dia lihat tadi hanyalah mimpi. Eni kebingungan lantas mengambil segelas air dan mengangsurkannya pada Hesti seraya bertanya, "Kenapa, Hes? Mimpi Halimah?"Hesti mengangguk. Dia memeluk Eni dengan menangis tersedu-sedu. Bayangan dalam mimpi seakan terlihat nyata. Ekor matanya melirik jam yang tertempel di dinding. Jarum pendek tepat bersandar di angka 01.00 dini hari. Gegas dia melepaskan pelukannya dan melangkah gontai menuju kamar mandi."Mau kemana?""Wudhu, Bu. Aku mau sholat malam, hatiku tidak tenang setelah mimpi barusan. Aku merasa Halimah sedang dalam masalah. Tidak ada salahnya aku mendoakan keselamatannya kan, Bu?" Eni mengangguk. Dia mengikuti langkah Hesti menuju kamar mandi. Mendengar putrinya hendak
****"Kamu siap, Mas?" tanya Vano sambil melirik Tomi. Dia mengangguk, lalu membuka pintu mobil dengan cepat."Bawa masuk mobilnya, cepat!"Teriakan dua anak buah Ki Kusumo tidak Tomi indahkan. Dia berjalan tenang mendekati satu laki-laki berparas sangar dan ...Bugh ....Bugh ....Melihat Tomi yang mulai menyerang, Vano dengan sigap mengikuti gerakan Tomi untuk melumpuhkan dua penjaga di pintu pagar. Halimah mengambil alih kemudi, sama seperti apa yang sudah mereka rencanakan. Klakson mobil berkali-kali dia bunyikan sebagai pertanda jika Tomi dan Vano sudah mulai menyerang."Jangan bergerak!" Dua laki-laki b
"Gina ....?" seru Tomi sedikit memekik. Bagaimana Gina bisa berada dalam rumah Ki Kusumo?Suara tawa Ki Kusumo kembali menggelegar. Dia mengusap lembut pipi mulus Gina dengan tatapan penuh hasrat. Hal tersebut sontak saja membuat Tomi naik pitam."Bajingan!"Dia hendak menyerang Ki Kusumo tapi tim khusus segera masuk dan berkata, "Jangan bergerak!""Angkat tangan kalian!"Anak buah Ki Kusumo saling pandang, sampai pada akhirnya mereka menurut dan mengangkat kedua tangan ke atas."Berani sekali kalian datang ke rumahku?" seru Ki Kusumo tenang. Tidak ada ketakutan di wajahnya seolah-olah tim khusus yang datang bersama Tomi dan Vano bukanlah benar-benar polisi yang akan meringkusnya bersama semua anak buah.Tidak ada yang menjawab. Pelan tapi pasti, para tim khusus bergerak cepat ke arah Leha dan Karim, beberapa dari mereka
Mobil Halimah melaju semakin menjauh. Dadanya sesak membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan menimpa suami dan Kakaknya."Jangan terlalu jauh, Hal. Kasihan Tomi dan Vano, lebih baik kita tunggu di jalanan ramai saja," ujar Leha cemas."Tidak bisa! Mas Tomi berpesan agar kalian segera pergi jauh! Resikonya terlalu tinggi kalau kamu dan kedua orang tuamu ada di sekitar sini, Hal!"Halimah menoleh sinis ke arah Gina. Dia menghembuskan napasnya kasar dan berkata, "Jangan ikut campur urusan kelurgaku!""A-- aku hanya mengatakan apa yang Tomi katakan, Hal ....""Cukup!" bentak Halimah menyela, "Katakan kamu akan turun dimana, setelah itu jangan menunjukkan batang hidungmu lagi di depanku!"Bibir Gina mengatup. Dia membuang muka dan menghela napas kasar setelah mendapat balasan menohok dari mulut Halimah."B
"Kamu salah, Halimah! Mas yang sudah memintanya untuk membawa kalian pergi. Bagaimana bisa kamu menyuruhnya turun, hah?""Harusnya dia berpikir, Mas! Ada suami dan Kakakku di dalam sana yang sedang melawan bahaya. Tapi dia bahkan menyuruhku ....""Cukup, Halimah!" bentak Tomi. "Kamu terlalu menyudutkan Gina padahal jelas-jelas dia sudah berusaha membantu kamu pergi. Bagaimana jika Mas dan suamimu tidak selamat, hah?"Leha mencekal lengan Tomi dan menggeleng samar membuat laki-laki itu seketika terdiam. Halimah membuang muka ke jalanan sementara Vano masih bungkam dengan fokusnya menyetir."Tidak baik kalian bertengkar sementara Allah sudah menyelamatkan hidup kita semua," tegur Karim bijak. "Bapak tau Halimah kalut, Tom. Dia tidak bisa meninggalkan kamu dan suaminya pergi, dan Bapak tau apa yang Halimah rasakan. Tapi Gina juga tidak bersalah, Hal. Dia meminta kita pergi untuk meng
"Berhari-hari firasatku berkata buruk, Kus," ujar Hesti di suatu siang. "Andai ada ponsel, Mbak ingin menghubungi Halimah dan keluarganya, bagaimana kabar mereka setelah membantuku kabur dari Ki Kusumo." Suara Hesti terdengar sendu. Berhari-hari dia mendapat mimpi yang sama, apalagi nuansa rumah Ki Kusumo selalu menghiasi mimpi-mimpinya selama ini membuat Hesti berpikir jika keluarga Halimah dengan dalam bahaya."Kamu mau kita bagaimana, Mbak? Sementara untuk memiliki ponsel adalah hal yang seharusnya kita hindari. Bagaimana jika mereka masih mengincar kamu, Mbak?"Hesti terdiam. Perasaannya kalut mengingat betapa bengis Ki Kusumo kepada tawanannya. "Tapi bagaimana jika Halimah dan keluarganya kenapa-kenapa, Kus? Mbak tidak bisa memaafkan diri Mbak sendiri jika sampai itu terjadi."Kusaini menghela napas kasar. Belum genap sebulan dia dan dua wanita yang dia sayangi tinggal di kota ini, tapi nyatanya hidup
"Kamu tidak berhak menghakimi masa lalu, Gina, Hal. Mas tidak suka jika kamu mengungkit-ungkit keburukan orang lain.""Mas ....""Sudah, sudah! Kita bicarakan ini nanti, tidak baik cekcok di tengah jalan," ujar Karim tegas.Suasana mendadak hening. Leha menggenggam tangan Tomi dengan erat membuat hati laki-laki itu seketika menghangat.Sementara di tempat lain ....Kusaini mengemas beberapa helai baju ke dalam tas ransel miliknya. Tekadnya sudah bulat untuk pergi ke kota menemui keluarga Halimah."Kami yakin, Kus?""Tidak ada pilihan lain, Kak. Aku ingin kita hidup tenang dengan memastikan keluarga Bu Leha dan Pak Karim.""Maafkan aku, seharusnya aku tidak merepotkanmu, Kus ....""Mbak, kita ini keluarga sudah sepantasnya saling bahu membahu. Berdoa saja semoga semuanya b