***"Ngomong, Se! Jangan diam saja, ini seperti bukan kamu," gurau Nando tanpa memalingkan wajahnya dari setir di depannya. "Masih kepikiran sama Tirta dan Nayna?"Sea tertawa lirih. Tawa yang mengandung kegetiran jika saja orang lain bisa mengartikan tawanya kali ini. Tentu saja mustahil jika Sea sudah bisa melupakan Tirta dalam waktu yang cukup singkat sekalipun cinta yang datang padanya saat itu benar-benar dalam waktu yang singkat. Tapi ... cinta pertama bukan berarti siapa orang yang pertama kali dicinta bukan? Cinta pertama adalah cinta yang teramat melekat dan teramat sulit dilupakan meskipun mati-matian dia sudah mencoba. "Kenapa kamu belum menikah, Bang?""Mengalihkan pembicaraan?"Sea mengedikkan bahu. "Aku hanya penasaran saja. Pria tampan dan pekerjaan mapan sepertimu belum memiliki pendamping hidup.""Atau mungkin hanya kamu yang melihatku seperti pria tampan dan mapan?" sahut Nando terkekeh. Sea menggeleng tidak percaya. Dia menatap wajah Nando dengan tajam dan berucap
***Plak ....Sebuah tamparan yang sangat keras terdengar dari ruangan Mami Hanin. Beberapa anak dagang wanita yang disebut Mami itu berlari menjauhi ruangan karena takut jika si empunya keluar dan mendapati mereka sedang menguping apa yang terjadi. Mami Hanin menarik rambut Nayna hingga kepala wanita itu mendongak. Sedikit meringis Nayna menahan rasa nyeri di kepalanya juga ... sudut bibirnya yang berdarah."Sudah kubilang jangan bertindak bodoh!" teriak Mami Hanin seraya menghempas kepala anak kesayangannya itu. "Apa yang kamu pikirkan, Nayna? Bagaimana bisa kamu ... argh!"Nayna mengusap darah yang membekas di sudut bibirnya. Wanita cantik itu tidak memperlihatkan rasa takutnya sama sekali. Baginya, hidup dalam kekerasan seperti ini sudah biasa. Nayna bahkan pernah mendapatkan yang lebih dari ini. Masa lalunya ... sangat buruk!"Siapa pria itu?"Nayna bergeming. Lalu menjawab dengan lirih. "Mami tidak perlu tahu. Yang harus Mami lakukan hanyalah mengatakan pada Tirta jika janin in
***Plak ....Plak ....Mami Hanin berkali-kali menampar pipi Brenda yang masih saja mencoba membela diri jika tindakan yang ia lakukan adalah benar. Tidak ada rasa takut pada wanita yang dulu sempat menjadi anak emasnya di rumah bordir. Sebelum ... semua posisinya di geser dengan cepat oleh Nayna.Brenda tertawa di antara bibirnya yang berdarah. Pipinya memerah dan mungkin juga terasa sangat nyeri karena tamparan Mami Hanin lebih mengarah pada sebuah pukulan. Sementara di depan pintu yang tertutup, Nayna bersedekap dada sembari melayangkan senyum yang mengerikan. Sinis. Penuh percaya diri dan ... angkuh!"Berapa kali harus kubilang, jangan pernah mencampuri urusan anak-anak yang lain!" bentak Mami Hanin frustrasi. Jika dengan kekerasan Brenda tidak juga bisa mengerti, lalu apa yang bisa dia lakukan saat ini agar anak-anak yang berada dalam naungannya tidak terlibat pertikaian panas. "Kamu melangkah terlalu jauh! Aku sangat
***"Bang Nando?"Nando menaikkan kedua alisnya sembari tersenyum tipis. Ia meletakkan setangkai mawar merah di depan Sea yang sudah bersimbah air mata."Jangan menyendiri kalau tidak ingin menangis," tegur Nando prihatin. Wajah Sea terlihat berantakan tapi tetap cantik. "Musuh hati yang terluka adalah kesendirian, Se. Sepi akan membuatmu selalu merasa sedih.""Lalu ... aku harus bagaimana, Bang?""Kamu butuh teman. Mau aku temani?"Sea tersenyum getir. Benar apa kata Nando, semakin dia menyendiri, semakin sering bayangan Tirta muncul di depan matanya. Tapi jangan katakan jika dalam keramaian wanita itu bisa sepenuhnya melupakan sosok pria yang sudah berhasil mencuri hatinya. Tidak pernah! Sea tidak pernah bisa membuang bayang-bayang Tirta dalam suasana apapun. "Sudah siang dan kamu masih berkeliaran di sini? Sebegitu menarik kah toko bungaku, Bang?"Nando mengangguk dan tersenyum simpul. "Tepat!" jawabnya singkat. "Toko bunga yang indah," sambungnya seraya menatap pada kedua mata Se
***"Apa Nando dari sini, Se?"Sea mengangguk. Dia berlari kecil dan segera membuka pintu toko ketika melihat mobil Tomi parkir di sebelah toko bunga miliknya."Sejak pagi dia sudah di sini, Yah. Kenapa? Ayah ada urusan dengan Bang Nando?""Panggil Paman, Nak ... bukan Abang," tegur Tomi riskan. "Dia hanya beberapa tahun lebih muda dari Ayah. Paman Nando dan Ayah berteman baik. Kamu tau itu kan?""Kenapa Ayah tiba-tiba mengatakan hal ini?" selidik Sea. "Tidak, Ayah hanya ingin kamu menghormati orang-orang yang usianya berada di atas kamu."Sea mengangguk mengerti meskipun dalam hati ia merasa sedikit heran dengan jawaban yang Tomi berikan. Tidak biasanya pria paruh baya itu mengingatkan tentang dirinya dan Nando. "Apa Ayah sedang menginterogasiku karena melihat Bang Nando baru saja keluar dari toko ini?""Tidak," sahut Tomi cepat. "Tidak, Se. Ayah ... ayah tidak ingin kamu terluka lagi karena memilih pria yang salah.""Jadi Bang Nando adalah pria yang salah menurut Ayah?"Tomi menge
***Tok ... Tok ... Tok ....Bagas dan Anita dibuat terkejut dengan ketukan pintu di pagi hari. Keduanya sudah bersiap di meja makan bersama dengan Haryati yang sejak tadi sudah berkutat di dapur dibantu dengan cucu kesayangannya."Biar Nita yang buka, Nenek duduk saja."Haryati mengangguk dan kembali mendaratkan bokongnya di salah satu kursi yang berada di ruang makan. Sementara Bagas mengiringi kepergian istrinya dengan tatapan yang tidak pernah lepas sampai tubuh Anita menghilang di balik tembok pembatas antara ruang makan dan ruang keluarga.Merasa hatinya tidak tenang, Bagas menyusul Anita yang saat ini ternyata sedang dibuat terkejut oleh kedatangan dua tamu yang tidak diundang."Siapa, Nit? Kenapa tidak dipersilahkan ma ...." Suara Bagas terhenti saat kedua matanya menangkap dua sosok yang tidak asing sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Pun Anita, wanita cantik itu justru terpaku di tempat seolah lupa jika tamu
***Dua hari berlalu sejak Hamka meneleponnya siang itu. Hari ini adalah sabtu malam, hari dimana Hamka menjanjikan akan menjemput Sea di rumahnya. Sudah dua jam yang lalu Sea mengirim alamat rumahnya pada Hamka, tapi pria itu tidak kunjung memberikan balasan dan ... tidak kunjung datang.Sea yang sudah bersiap di ruang tamu kembali masuk ke dalam kamar. Gina dan Tomi menatap putrinya dengan pandangan sendu. Bagaimana tidak, sejam yang lalu Sea mengatakan akan ada temannya yang datang dan mengajaknya makan malam, tapi hingga dua jam berlalu, Sea masih duduk manis di rumah dengan ponsel yang tidak lepas dari genggaman."Harusnya aku tidak berharap lebih. Bukankah takdir memang suka sekali membuatku patah dan terluka?" gumam Sea sedih. "Lagipula apa yang aku harapkan dari pria yang baru kukenal? Astaga, Sea ... sebegitu ingin kah kamu melupakan Tirta dengan adanya pengganti?"Sea merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan ditemani bulir-bulir ai
***"Apa maksudnya, Mas?"Setelah menimpuk Nando dengan sebungkus rokok, kini Tomi beralih melayangkan bantal sofa tepat ke muka Nando."Kira-kira kalau mau buat kejutan!"Nando terkekeh. Dia menyingkirkan bantal sofa dan mulai menyeruput kopinya yang masih mengepulkan asap dari dalam cangkir kecil."Sejak kapan menaruh hati pada Sea?"Gina melotot. Ternyata arah pembicaraan dua pria di depannya adalah putrinya sendiri. Apa yang Nando katakan ternyata ...."Ini se-- serius? Kamu ... eh, Mas Nando suka ... anak kita?" tanya Gina terbata. Bagaimana tidak, usia mereka terpaut cukup jauh. "Tidak! Kalian bercandanya keterlaluan!"Tomi lagi-lagi mengedikkan bahu. "Emaknya enggak setuju, Bro!" sahutnya enteng. "Cari mangsa yang lain. Lagipula Sea terlalu cantik buatmu."Nando tertawa. Penolakan Tomi yang dibalut gurauan cukup membuatnya paham. Lagipula mana ada orang tua yang rela menikahkan putri mereka dengan bujang tua sepertinya?"Kalian ini!" bentak Gina kesal. "Sebenarnya ini bercanda