Dada Kusaini terasa nyeri. Bagaimana bisa seorang ibu begitu mudah melepaskan anaknya. Kusaini pikir, dengan menahan sang buah hati, itu artinya menahan kepergian Gina dari hidupnya. Tapi salah ... Gina justru senang ketika Kusaini menahan langkah buah hatinya untuk mendekat ke arah dimana dia berdiri.
"Bawa anak itu ke rumah, Kus. Benar-benar wanita gemblung! Sana pergi kamu, jangan balik lagi ke kampung ini!" usir Eni dengan berkacak pinggang.Gina berjalan gontai menyusuri jalanan kampung yang lenggang. Di tengah jalan, dia bertemu Tomi dan keluarganya yang hendak ke balai desa. "Pulang saja ... semuanya sudah selesai," tutur Gina datar tanpa menghentikan langkah. Mereka bungkam. Satu sisi begitu iba dengan takdir Gina, tapi di sisi lain, kelakuannya memang tidak bisa dibenarkan."Oh ya ... Terima kasih karena kamu telah merusak kehidu"Halah ... giliran masalah di kampung kita udah kelar, mereka sekeluarga baru datang! Tetangga apaan model gitu?" seloroh Eni dengan menatap tajam pada keluarga Leha yang baru saja datang ke balai desa."Mending situ diam deh, Bu En. Lagian masalah di kampung kami juga biang keroknya semua keluarga sampean," tutur Diah. Wanita itu sekarang terang-terangan menunjukkan sikap tidak sukanya pada Eni yang selama ini dianggap terlalu pongah pada tetangga yang lain. "Pertama Tarjo yang menculik Halimah, lalu Hesti yang buat keributan jadi pelakor ... eh, sekarang menantunya kumpul kebo. Heran, nggak ada baik-baiknya tuh keluarga."Mendengar penuturan Diah, dada Eni naik turun. Napasnya memburu meskipun diam-diam membenarkan apa yang dia ucapkan. Tapi bukan Eni namanya jika mudah mengalah. Dia menatap mata Diah dengan tajam tanpa berkedip. Bukannya takut, justru Diah bersedekap dada dan balik menatap nyalang ke arah Eni."Kenapa
Pak RT celingukan. Sosok Arini yang mereka cari tidak ada padahal jelas tadi dia datang ke balai desa untuk menyaksikan kejadian Gina."Rin, mau kemana? Ngapain sih lari-lari?" teriak Anya, tetangga dekat Arini. Mereka datang bersama tadi ke balai desa.Semua mata menoleh ke arah dimana Arini berlari. Tomi melihat ke arah Vano, lalu keduanya mengejar Arini yang semakin menjauh. Melihat Arini dalam kepungan Vano dan Tomi, Eni hendak melenggang pergi, namun teriakan Arini terpaksa membuatnya berhenti."Bu En, tolong aku!" teriak Arini lantang.Eni menunduk, dia mengambil cucunya dalam gendongan dan hendak berlalu, namun Kusaini menghentikan langkah Eni dengan cepat."Lepaskan, Kus!" seru Eni marah."Bu Eni ... tolong aku. Aku sedang mengandung anak Kang Tarjo!"Suasana di balai desa mendadak hening. Para warga wanita menutup mulut dengan kedua tangan
Halimah menoleh dan mendapati Nur tengah berlari kecil mendekat ke arahnya. Melihat Nur menghampiri Halimah, Eni menghentikan langkahnya dan ikut mendekati mereka. Eni ingin tau apa yang akan Nur katakan pada keluarga Leha."Ada apa, Mbak Nur?" tanya Halimah."Anu, Hal ... itu ... apa Agung bisa keluar dari penjara, Hal? Dia tidak bersalah bukan?"Mendapat pertanyaan tentang Agung, Halimah menoleh pada Vano."Maaf, Mbak Nur, meskipun Agung tidak ikut menyekap Halimah, tapi dia ikut andil dalam penculikan itu," tutur Vano, "Biar pengadilan yang memutuskan, Mbak. Tapi untuk mencabut tuntutan, maaf, saya tidak bisa dan tidak mau," sambung Vano tegas.Nur meremas ujung bajunya dengan gelisah. Tiba-tiba ...."Tolong, Hal. Lepaskan Agung, aku mohon!" ujar Nur dengan bersimpuh di kaki Halimah.Beberapa warga yang tersisa menatap iba pada tindakan Nur, tapi beberapa lagi justru menyayangkan sika
"Kebebasan gundulmu, Bu En, udah tau anaknya hampir membunuh orang kok minta hak kebebasan. Edan!" cibir Diah sengit."Dia benar-benar menutup mata pada kelakuan anak-anaknya," seloroh warga yang lain.Mendengar para warga mencibir Sang Ibu, Kusaini menarik kasar tangan Eni untuk pergi meninggalkan balai desa."Apa aku salah, Mas, kalau ingin membuat pelaku-pelaku itu jera?" bisik Halimah.Vano menggeleng. Dia menggenggam tangan Halimah dengan erat, "Tidak, Dek. Justru dengan begitu kamu turut membantu mereka menyadari kesalahannya. Yuk, pulang!"Karim dan Leha lebih banyak diam. Mereka berdua benar-benar telah lelah menghadapi semua masalah yang hilang satu tumbuh seribu di keluarganya.__________________________Pasal 328 KUHP berbunyi "Barang siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara me
Hari-hari Eni menjadi hambar. Apalagi saat dirinya mendapat ancaman dari Karim, dia tidak bisa menyudutkan Halimah lagi di depan para tetangga. Dia sakit hati karena pada akhirnya Tarjo harus dipenjara. Kedengkian benar-benar membutakan hatinya.Ki Kusumo datang lagi bersama para anak buahnya untuk menjemput Hesti di rumahnya."Ayo ikut aku. Sudah lebih sehari dari batas waktu yang kau bilang, sekarang kamu harus menebus utang-utang Brian. Dan ... sertifikat sawah ini bisa Ibumu ambil lagi."Eni mendorong tubuh Hesti dengan kasar. Dia merampas sertifikat di tangan Ki Kusumo, tapi sayang ...Sret!"Tidak segampang itu, Bu. Hesti harus masuk ke dalam mobil!" pinta Ki Kusumo sengit.Eni menarik tangan Hesti dengan kasar. Dia kalap melihat sertifikat sawah miliknya. Apalagi kemarin mendapat ancaman dari Karim. Dia ingin membuktikan jika dirinya juga bisa kaya seperti Halimah. Eni benar-benar te
Vano hendak bangkit, namun cekalan tangan Halimah membuat dia kembali duduk. Wanita itu melontarkan senyuman tipis dan menatap jijik ke arah Ki Kusumo yang gemar memuji wanita."Tau, Pak. Memang kenapa?"Ki Kusumo dan anak buahnya tertawa, "Apa kamu yakin? Suamimu itu dulu anak buahku. Kamu tau kan di beberapa bagian tubuhnya yang tersembunyi ada goresan tato?"Halimah mengepalkan tangannya. Lagi-- dia mengulas senyuman mencoba tenang menghadapi Ki Kusumo yang entah tujuannya apa datang kemari."Anak buahku rata-rata pernah merasakan wanita yang bekas kupakai. Kamu mengerti kan maksut dari ucapan ini?"Halimah menyeringai, "Lalu?"Melihat Halimah yang tidak terkecoh dengan pancingan Ki Kusumo, lelaki tua itu semakin ingin membuat nama baik Vano terlihat buruk."Ya ... itu artinya suamimu adalah lelaki brengsek."Tomi mengeraskan rahangnya. Terlihat jelas pula Karim menahan napas m
Ki Kusumo masuk ke dalam mobil tanpa memperdulikan celotehan Eni. Anak buah dan Hesti masuk ke dalam mobil yang lain dan mereka melajukan mobil keluar dari kampung."Saya tidak serendah anak Ibu. Tolong jangan samakan saya dengan Hesti yang jelas-jelas menjual dirinya demi harta. Apalagi Ibunya yang terlihat bahagia sekali ketika anak perempuannya di bawa lelaki lain!"Eni membuang muka. Dia kesal karena Halimah sudah berani melawan ucapannya."Dan ya ... saya nggak haus akan harta, Bu. Insyaallah, rejeki keluarga saya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup."Halimah dan Vano hendak masuk ke dalam rumah. Tapi langkah Vano terhenti, dia menoleh ke arah dimana Eni berada."Jangan mengharap apapun pada Hesti, Bu. Dia bisa tetap hidup saja itu sudah merupakan sebuah keberuntungan," tutur Vano."Brengsek kamu! Tau apa kamu tentang calon suami Hesti, hah? Bisa-bisanya doain anakku mati!" seru Eni marah.
Dua bulan kemudian ...."Hesti ... Ibu-ibu lihat, Hesti pulang!" Eni berteriak dan berlari ke jalanan. Setiap orang yang dia lihat akan diberitahu tentang kepulangan Hesti. Kepulangan yang dia yakini dalam pikirannya sendiri."Mau lihat mobil mewah? Ayo ke rumah, nanti aku ajak kalian keliling kota," seloroh Eni saat para Ibu-ibu mengelilingi gerobak sayur."Lihat ini, Bu Diah, gelang yang Hesti pilihkan. Bagus nggak?" Dengan takut-takut Diah mengangguk lalu berlari kecil menjauhi gerobak sayur. Tujuannya berbelanja seketika buyar, yang ada justru ketakutan karena bertemu dengan Eni."Nur ... Nur! Keluar kamu, ada ponakan datang dari kota malah nggak kamu tengokin. Entar nyesel loh nggak dapat sangu (uang saku) dari Hesti," teriak Eni di depan rumah Nur.Mendengar keributan yang Eni buat, Nur keluar dan membawa kakak sulungnya itu duduk di depan teras. Diambilnya teh hangat yang sudah dia siapkan setiap pagi, k